Evolusi Entrepreneur Indonesia: Dari Pelobi Kebijakan Menjadi Pembuat Kebijakan

Pada pertengahan tahun 1990an, di Indonesia muncul istilah manajemen lobi. Istilah itu menunjuk kepada para pengusaha yang pekerjaannya melobi pejaba tinggi pemerintah untuk mendapatkan proyek dari APBN atau APBD. Tanri Abeng memulai sebagai sebuah otokritik kepada para pemilik dan pengelola bisnis Indonesia, khususnya yang kelas komglomerat atau pengusaha raksasa, bahwa meski mereka sudah bergelar MBA dari perguruan tinggi di luar negeri, belajar tentang manajemen profesional dan bercakap kepada pers tentang pentingnya memanajemeni pasar, tetap saja pekerjaannya hanya melobi kekuasaan. Itulah sebabnya, pada tahun 1998 ekonomi kita ambrol, karena pelaku bisnisnya lebih mengembangkan manajemen lobi daripada manajemen profesional.

Limabelas tahun setelah reformasi, yang sebenarnya lebih bemakna penggulingan Presiden Soeharto dari kekuasaannya, ekonomi kita rasanya tetap jalan di tempat. Volume ekspor produk primer tetap mendominasi.

Daya saing atau kekompetitivan, kita dengan negara tetangga di ASEAN, seperti Singapura dan Malaysia, tetap sama seperti dahulu. Bahkan, kita sekarang menganggap Vietnam sebagai pesaing, dari negara yang sebelumnya perlu kita bantu.

Ada banyak penjelasan, apalagi penjelasan dari pemerintah dari setiap era pemerintahan pasca reformasi. Kesemuanya berujung kepada kesalahan sistem dunia dengan globalisasinya atau perilaku negara lain yang merugikan kita. Khas alasan kanak-kanak.

Keunggulan ekonomi setiap negara ditentukan oleh pelaku-pelaku ekonominya. Semakin hebat pelaku bisnis, semakin hebat pula produknya, dan semakin meningkat pula ukuran dan kualitas ekonomi negara tersebut. Mencermati fenomena 15 tahun yang lalu, ekonomi Indonesia memang tumbuh dalam ukuran, tetapi mengkerut dalam kualitas.

Bukannya mengembangkan pasar nasional dan internasional melalui manajemen profesional, namun justru semakin menempel kekuasaan untuk mendapatkan fasilitas khusus, lisensi, konsesi, hingga monopoli. Karena relatif rendahnya kualitas perilaku bisnisnya, maka ekonomi Indonesia menuai badai krisis keuangan yang bukan saja menjatuhkan Presiden Soeharto, tetapi menghempaskan ekonomi rakyat, baik sebagai industri maupun sebagai ikutan industri.

Mencermati kondisi hari ini, rasanya ada yang sama. Ekonomi Indonesia memang tidak jatuh, tetapi tetap “konsisten”, alias cenderung involutif, secara relatif jalan ditempat.

Tidak banyak yang berubah karakter dan masalah dasarnya, meski dengan perubahan kebijakan dan pelaku ekonomi; meskipun kue ekonominya menggelembung besar. Jika diamati secara mikro, nampak ada kesamaan penyebab penyakitnya: perilaku pelaku bisnis yang relatif jalan di tempat kualitasnya.

Namun, bukan berarti mereka melakukan hal yang sama dengan 15 tahun lalu. Mereka justru melakukan pencanggihan cara. Sebelumnya, mereka menggunakan cara manajemen lobi. Jadi, pekerjaan utama dari pelaku bisnis adalah melobi Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, Presiden. Mereka juga melobi DPRD dan DPR, meski tidak seintensif melobi eksekutif.

Sejak reformasi, para pengusaha tidak lagi mampu melobi kekuasaan, karena muncul dan berkembang prinsip tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance, dengan ukuran utama adalah anti-suap dan ati-korupsi.

Namun, bukan pengusaha namanya, jika tidak kreatif. Sejak pasca reformasi, para pengusaha tersebut tidak lagi melakukan manajemen lobi kekuasaan pemerintah, melainkan langsung masuk sebagai bagian pemerintahan.

Sejak pasca reformasi semakin banyak kita melihat pengusaha masuk ke politik dan kemudian memegang kekuasaan pemerintahan. Tidak ada jabatan esekutif puncak di Indonesia yang tidak ada pengusahanya. Partai-partai politik raksasa mulai dipimpin oleh pengusaha.

Mulai dari Golkar, PPP, Gerindra, dan ditambah Perindo. Secara kasat mata dapat digeneralisasi prinsip baru dari pelaku bisnis: daripada melakukan lobi kepada kekuasaan, lebih praktis kuasai kekuasaan itu sendiri. Tidak mengherankan jika kemudian semakin marak korupsi dan ketidakefisienan penyelenggaraan pemerintahan.

Tidak semua pelaku usaha tidak dapat menjadi pemegang kekuasaan pemerintahan. Tidak ada pula larangan pengusaha menjadi politisi dan pejabat tinggi pemerintahan. Masalahnya adalah pilihan moral.

Ada semacam konvensi antara dunia politik, pemerintahan, dan bisnis, bahwa masing-masing akan berjalan di rel yang berbeda, namun tetap seiring dan sejalan. “Pembajakan” dalam arti masuk ke rel yang lain, memang tidak melanggar HAM, tetapi hanya melanggar moral. Menjadi sulit untuk melaksanakan nasihat pendiri Kompas, Jakob Oetama, bahwa pemimpin harus jujur.

Bukannya tidak percaya dengan pelaku usaha jika masuk pemerintahan, namun masalahnya adalah bagaimana pengusaha dapat melepaskan diri dari jati dirinya yang sudah dibangun berpuluh tahun dan menjadi urat-ulin di dalam darah, daging, syaraf, bahkan tulangnya. Proses pembelajaran seperti itu tidak dapat dihilangkan sehari-dua hari, termasuk dengan pernyataan komitmen yang paling keras sekali pun.

Adalah tidak masuk akal, jika seorang pengusaha kemudian menjual bisnisnya agar dapat menjadi pimpinan birokrasi yang baik. Tidak mungkin seorang pengusaha yang sudah menjadi pejabat tinggai negara, pemegang kekuasaan eksekutif, menolak didatangi temannya yang pelaku usaha, atau mentah-mentah menolak bicara bisnis.

Apalagi di jaman sekarang, di mana pemerintah dalam wicara dan wacana maka ekonomi dan bisnis adalah segala-galanya. Karena itu, menjadi tidak aneh jika kantor-kantor pemerintahan yang dulu didatangi oleh pengusaha pelobi, maka kini ada kantor pemerintah yang ditinggali oleh pengusaha.

Bukan saja karena menterinya pengusaha, tetapi yang bukan pengusaha pun menarik pengusaha-pengusaha sebagai penasihat-penasihatnya.

Mulai dari Presiden, Menteri, Panglima, dan seterunya. Fenomena regulatory captured, yaitu ketika pembuat kebijakan diatur oleh yang diatur, menjadi hal lumrah.

Seorang pejabat Menteri pernah sangat marah ketika disampaikan kemungkinan tersebut, dan untuk menjadi perhatian. Marah, karena ia pun berperilaku demikian.

Dus, ada yang sama dan ada yang berubah selama limabelas tahun pasca reformasi. Kesamaan pertama, struktur dan kinerja ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara sahabat di ASEAN tetap sama, dalam kondisi yang kalah kompetitif. Termasuk trajektori ekonominya.

Jika Singapura sudah melaju jauh ke depan menguasai perekonomian kawasan, Malaysia menjadi hub Asia Tenggara, sementara Thailand dan Vietnam semakin menjadi pesaing berat Indonesia. Kesamaan ke dua, ukuran dan kualitas ekonomi Indonesia secara relatif tetap sama, dan dengan variabel kunci yang sama, yaitu kualitas perilaku dari pelaku bisnisnya.

Perbedaannya adalah di metode yang dipergunakan oleh pelaku bisnis raksasa, yang menjadi sais atau pengendali ekonomi. Jika sebelumnya mereka menggunakan cara manajemen lobi terhadap pemegang kekuasaan birokrasi, sebagai pengampu anggaran negara, APBN dan APBD. Hari ini, cara itu sudah kuno, usang, dan tidak praktis.

Dengan kedercasannya, cara baru yang lebih praktis, efsisien, dan efektif sudah ditemukan: kuasai langsung kekuasaanya. Hasilnya, sama, ekonomi Indonesia tetap konsisten baik secara struktur maupun kualitasnya. Involusi pembangunan ekonomi terjadi karena terjadi evolusi pelaku bisnis Indonesa, yang melakukan pencanggihan perilaku dalam limabelas tahun terakhir dan akan terus ke depan. Entah sampai kapan.

(pernah dimuat di kolom Bisnis Indonesia, tapi saya sudah lupa, kapan. ditayangkan lagi sebagai pembelajaran)

Avatar photo

Riant Nugroho

Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia

Articles: 32