Pendahuluan
Keunggulan setiap bangsa dan negara semakin ditentukan oleh keunggulan kebijakan-kebijakan publiknya. Faktor-faktor lain, terutama faktor tradisional, yaitu kekayaan alam, luas tanah, ataupun jumlah penduduk, tetap penting, namun faktor kebijakan publik lebih menentukan. Kebijakan publik secara sifat, setidaknya dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kebijakan publik yang relatif statis, biasanya berkenaan kondisi geografis dan kekayaan alam; kebijakan publik yang relatif dinamis, biasanya berkenaan dengan manusia dengan interaksinya sehingga menyangkut isu politik, ekonomi, dan sosial; dan kebijakan publik penggerak atau dinamisator yaitu teknologi.
Kemajuan dan keunggulan Eropa, sehingga dapat melakukan ekspansi dan kolonialisasi ke seluruh dunia sejak abad 17 disebabkan keunggulan teknologinya. Demikian pula Majapahit mendominasi Nusantara pada abad 13. Sumpah Palapa diikrarkan oleh Gajah Mada pada tahun 1336 Masehi di hadapan raja Majapahit, Hayam Wuruk, menjadi “sumpah yang berisi” (vs “sumpah kosong”) karena pada saat itu Majapahit menguasai teknologi perang paling maju.
Hari ini, keunggulan Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Korea, Rusia, hingga Tiongkok, ditopang oleh keunggulan teknologi mereka. India dengan penduduk 1,44 milyar, Indonesia 282 juta, Pakistan 243 juta, Nigeria 226 juta, Bangladesh 173 jiwa, masih berjalan, bahkan tertatih, di belakang, karena tidak memiliki keunggulan teknologi. Jika pun ada, keunggulan teknologi minus penguasaan.
Pada hari ini, teknologi yang paling kuat menarik sekaligus mendorong keunggulan bangsa dan negara adalah teknologi digital. Teknologi yang dimulai dari kesadaran manusia, bahwa manusia perlu dibantu oleh “mesin yang mampu berfikir”, dan ditemukan bahwa mesin seperti itu “tidak mampu” berfikir atau memproses pikirannya dengan sistem bilangan desimal, melainkan dengan sistem yang jauh lebih sederhana, sistem biner: 0 dan 1. George Boole (1815 – 1864), seorang ahli matematika, ahli logika, dan pendidik bahasa Inggris, mengawali teknologi digital tersebut di tahun 1930an dengan memperkenalkan logika Boolean, sistem bilangan biner memiliki ada dua kondisi, yaitu benar atau salah. Meski, kabarnya, sekitar 200 SM, Pingala, seorang penulis India, memperkenalkan konsep sistem bilangan biner untuk pertama kalinya. Adalah matematikus Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz pada pada 1701 memperkenalkan aritmatika biner.
Namun, perlu 100 tahun untuk dibuatnya komputer pertama kali, oleh Charles Babbage pada tahun 1822, matematikus Inggris. Ia menciptakan mesin hitung bertenaga uap yang dapat menghitung tabel angka. Memerlukan 100 tahun lagi, ketika komputer generasi pertama dibuat insinyur Jerman Konrad Zuse pada tahun 1940an untuk memenangkan Jerman dalam Perang Dunia II; komputer untuk mengendalikan peluru kendali milik Nazi. Tapi tidak butuh waktu lama untuk memperkenalkan komputer elektronik pertama ENIAC (Electronic Numerical Integrator And Computer) di tahun 1946. Lahirnya internet dengan nama ARPANET(Advanced Research Projects Agency Network) di tahun 1969 dan www (World Wide Web) dibuat oleh Tim Beners Lee pada tahun 1989, maka teknologi digital tak terbendung.
Google membangun search engine di tahun 1989, Philips memperkenalkan “ponsel pintar” digital atau smartphone tahun 1997. Jaringan seluler 1G yang dikembangkan tahun 1979 di Jepang berkembang menjadi 5G di tahun 2012, dan 6G di tahun 2019, dengan percobaan pertama di tahun 2024 dengan kecepatan internet hingga 100 Gbps, transmisi data nirkabel real-time pertama pada tingkat frekuensi terahertz.
Paralel dengan itu, tahun 1950-an Marvin Minsky, dan para ilmuwan lainnya di Massachuassets Institute of Technology (MIT) membentuk kelompok penelitian untuk mempelajari tentang kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Hari ini sudah lazim digunakan Artificial Narrow Intelligence (ANI), AI yang reaktif terhadap perintah, dan sedang memasuki Artificial General Intelligence (AGI) mesin dengan tingkat intelegensi tinggi yang dapat meniru kecerdasan manusia serta perilaku, memiliki kemampuan beajar dan mengaplikasikan kecerdasan untuk memecahkan beragam persoalan, berpikir, memahami, dan bertindak. Sejenis Jarvis di film Ironman. AGI mengenal deep learning sistem yang mampu memahami teks, audio, gambar, video, dan jenis informasi lainnya, dan AI generative, bagian dari deep learning untuk menghasilkan konten yang unik dan realistis dari pengetahuan yang dipelajari. AGI sudah dimulai hari ini dengan kehadiran teknologi 4.0 dan robotika awal. Diperkirakan, pada tahun 2050 AGI akan dipakai secara luas, sebelum kemudian memasuki lebih jauh ke era Artificial Super Intelligence (ASI), yang tidak bisa lagi dikatakan “kecerdasan tiruan dari kecerdasan manusia”, karena kompetensinya dapat melampaui kecerdasan manusia, karena mempunyai kemampuan rasional, bahkan mungkin saja sampai ke imajinasional. Spekulasi menyebutkan, ini bisa jadi menjadi awal dari peradaban manusia dan robotika yang hidup bersama dengan dua pilihan: saling menyokong, atau saling memusnahkan. Dan kotak pandora sudah dibuka lebar.
Bagaimana Indonesia?
Sejak 2021, Kementerian Kominfo mengganti slogannya menjadi “Semakin Digital, Semakin Maju”. Slogan yang digital determinism ini menjadi gambaran kesadaran bahwa teknologi digital menjadi penentu keberhasilan Indonesia.
Pemerintah meyakini Indonesia memiliki potensi yang besar dalam ekonomi digital. Ekonomi digital Indonesia diproyeksikan tumbuh 20 persen dari tahun 2021 menjadi USD146 miliar pada tahun 2025 dan diprediksi akan terus meningkat. Berdasarkan Laporan Google, Temasek, dan Bain & Company Tahun 2023, sekitar 40% dari nilai total transaksi ekonomi digital di ASEAN pada tahun 2023 berasal dari Indonesia. Secara nominal, nilai ekonomi digital Indonesia mencapai USD 82 miliar atau tumbuh 8% dari tahun sebelumnya dan diproyeksi akan terus mengalami peningkatan, sehingga Indonesia dinilai sebagai big and potential market dalam lingkup ekonomi digital.
Potensi ekonomi digital Indonesia juga didukung dengan potensi kawasan ASEAN yang diperkirakan memiliki nilai ekonomi digital yang meningkat menjadi US$ 330 miliar pada tahun 2025, dan kemudian melejit hingga US$ 1 triliun pada tahun 2030, di mana sepertiganya berasal dari Indonesia. Angka tersebut bahkan akan meningkat dengan adanya Digital Economic Agreement Framework (DEFA) yang secara resmi akan diluncurkan September 2023. Dus, Pemerintah mengandalkan digitalisasi sebagai salah satu mesin pertumbuhan ekonomi baru yang dapat mendorong ketahanan ekonomi di masa mendatang untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Pasar digital Indonesia memang “luar biasa”. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengumumkan jumlah pengguna internet Indonesia tahun 2024 mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia tahun 2023. Dari hasil survei penetrasi internet Indonesia 2024 yang dirilis APJII, maka tingkat penetrasi internet Indonesia menyentuh angka 79,5%. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, maka ada peningkatan 1,4%. Sejak 2018, penetrasi internet Indonesia mencapai 64,8%. Kemudian secara berurutan, 73,7% di 2020, 77,01% di 2022, dan 78,19% di 2023. Berdasarkan gender, kontribusi penetrasi internet Indonesia banyak bersumber dari laki-laki 50,7% dan perempuan 49,1%. Sementara dari segi umur, orang yang berselancar di dunia maya ini mayoritas adalah Gen Z (kelahiran 1997-2012) sebanyak 34,40%. Lalu, berusia generasi milenial (kelahiran 1981-1996) sebanyak 30,62%. Kemudian berikutnya, Gen X (kelahiran 1965-1980) sebanyak 18,98%, Post Gen Z (kelahiran kurang dari 2023) sebanyak 9,17%, baby boomers (kelahiran 1946-1964) sebanyak 6,58% dan pre boomer (kelahiran 1945 sebanyak 0,24%. Sedangkan tingkat penetrasi pengguna internet berdasarkan wilayahnya, APJII menemukan daerah urban masih paling besar dengan kontribusi 69,5% dan daerah rural kontribusi 30,5%. Bank Indonesia (BI) mencatat realisasi nilai transaksi perdagangan elektronik atau e-commerce mencapai Rp 453,75 triliun sepanjang 2023 dari 3,71 miliar transaksi — meningkat dibandingkan dengan realisasi pada 2022 yang tercatat mencapai 3,49 miliar. Pasar e-commerce Indonesia diperkirakan akan melampaui $53 miliar pada tahun 2025, hal ini menunjukkan peningkatan kepercayaan konsumen dalam belanja online dan sistem pembayaran digital yang semakin membaik. Indonesia telah menjadi pasar e-commerce terbesar ketiga di dunia, di bawah Tiongkok dan Amerika Serikat, karena pendapatan per kapita yang lebih tinggi, akses internet yang lebih luas, dan urbanisasi.
Namun, sekali lagi, itu adalah kalkulasi keunggulan tradisional, jumlah manusia yang menggunakan internet dan jumlah transaksi yang dilakukan manusia Indonesia. Jumlah yang sama mencemaskannya jika melihat transaksi atau perputaran uang dalam judi online di Indonesia mencapai Rp327 triliun sepanjang tahun 2023. Atau merujuk kegalauan Presiden Jokowi yang menyebutkan perangkat teknologi dan alat komunikasi yang digunakan di Tanah Air, masih didominasi barang impor. Defisit perdagangan dari sektor perangkat teknologi dan informasi mencapai 2,1 miliar dolar AS atau setara lebih dari Rp30 triliun. Impor juga masih mendominasi di permohonan uji perangkat, di mana 3.046 perangkat dari RRT, sedangkan yang dari Indonesia hanya 632 perangkat. Dalam buku Visi Indonesia Digital, Kominfo menyadari bahwa Indonesia masih tergolong sebagai konsumen teknologi digital. Maturitas adopsi digital pada sebagian besar sektor industri pun masih berada pada tahap mulai berkembang. Sepanjang tahun 2016–2021, defisit transaksi berjalan pada sektor teknologi informasi komunikasi (TIK) terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2016–2021, persentase impor barang TIK berkisar di antara 7,70-9,43 persen terhadap total volume barang ekspor-impor, sedangkan persentase ekspor barang TIK paling tinggi hanya 3,3 persen terhadap total volume barang ekspor-impor. Bukan saja sebagai konsumen teknologi digital, Indonesia juga relatif berada di luar jaringan supply chain industri digital dunia. Presiden Jokowi sendiri yang menyampaikan data bahwa dari 320 komponen perangkat yang diproduksi Apple, Indonesia hanya memiliki dua pemasok komponen yang bisa diproduksi di dalam negeri. Sementara itu, negara tetangga lainnya, seperti Filipina memiliki 17 pemasok komponen; Malaysia memiliki 19 pemasok komponen, Thailand memiliki 24 pemasok komponen, serta Vietnam yang memiliki 72 pemasok.
Indonesia memerlukan variabel yang mampu mengungkit kapabilitas digital nasional, yaitu kebijakan (pembangunan) digital nasional yang andal, yang membuat Indonesia kuat sebagai negara digital karena menjadi industri, atau setidaknya bagian industri, teknologi digital dan turunannya.
Kebijakan Digital Indonesia
Kebijakan publik, seperti nasihat Thomas R. Dye (2015 (1976)) adalah what government choose to do or not to do, why they do it, and what different it makes. Bagi Indonesia, kebijakan publik adalah keputusan politik pemerintah yang melembaha sebagai strategi dan manajemen untuk merealisasikan janji kemerdekaan yang dicatat di dalam konstitusi. Janji kemerdekaan itu adalah:
“…. membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dus, kebijakan digital Indonesia harus pada awal, tengah, dan akhirnya melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, dan mengkelas-duniakan bangsa Indonesia. Menjadi bangsa yang “sekedar” pasar teknologi digital dan turunannya jelas tidak masuk pada kerangka pikir dan tindak kebijakan digital nasional tersebut.
Pada saat ini setidaknya ada kebijakan digital, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang diubah dengan Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, dan UU No. 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Kedua kebijakan makro tersebut sudah baik, namun belum cukup memberikan strategi dan manajemen untuk membangun keandalan Indonesia di bidang digital.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membuat Buku Putih Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Digital Indonesia 2030 yang dinyatakan akan menjadi pedoman bagi K/L dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan pengembangan ekonomi digital serta menjadi rujukan dalam menentukan posisi Indonesia di dunia internasional. Buku putih in dinyakatan sejalan dengan Digital Economy Framework Agreement (DEFA) yang didorong Indonesia untuk menjadi satu-satunya ekosistem perjanjian perdagangan dunia yang ada di sektor digital. Pemerintah menyiapkan tiga fase pengembangan ekonomi digital hingga tahun 2045. Fase pertama, prepare yang dimulai dengan perbaikan pondasi digital dasar guna memastikan masyarakat siap bertransformasi, Kedua, fase Transforms sebagai upaya percepatan transformasi guna menciptakan masyarakat dan bisnis yang cerdas. Dan ketiga, fase Lead dengan mulai menetapkan standar dalam teknologi inovasi di masa mendatang.
Kementerian Kominfo, sebagaimana disebutkan di depan, juga telah menerbitkan buku Visi Indonesia Digital (VID) 2045 sebagai bagian dari upaya mendukung pencapaian Visi Indonesia Emas 2045 dengan menyatakan lima kebijakan strategis dalam adalah untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, progresif, adil, dan makmur, yaitu:
- Mendorong aktivitas riset dan pengembangan untuk menghasilkan teknologi yang efektif dan efisien bagi pelaku ekonomi digital.
- Mengoptimalkan riset dan inovasi sebagai solusi bagi perusahaan rintisan (startup) lokal serta sebagai akses informasi strategis untuk mendukung pembangunan.
- Meningkatkan perlindungan merek terhadap produk yang dihasilkan dan perlindungan paten terhadap invensi teknologi.
- Mengadopsi teknologi digital di sektor-sektor prioritas seperti manufaktur, pertanian, logistik, dan keuangan.
- Menggalakkan pendanaan dan investasi pada ekonomi digital.
Kedua buah buku ini adalah intellectual exercise yang sangat penting dan dapat disebut sebagai arah kebijakan bagi pengembangan kebijakan publik digital Indonesia. Namun harus dilanjutkan dan diturunkan menjadi kebijakan digital nasional yang andal (excellence). Kebijakan digital Indonesia ditujukan untuk membangun ekosistem digital nasional yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Disadari, adalah sebuah “kemewahan” bagi Indonesia untuk menjadi negara pengembang atau produsen teknologi digital, bahkan telekomunikasi, sebagai basis jaringan digital, terutama pada perangkat keras teknologi dan infrastrukturnya. Pertama tidak terdapat industri dasar yang kuat, apalagi pendalaman industrinya. Satu-satunya cara adalah menarik industri komputer global untuk membangun industri di Indonesia bersama mitra setempat, seperti yang dilakukan Tiongkok. Pilhannya adalah dengan swasta yang sudah memulai, atau dengan BUMN strategis.
“Kemewahan” lain adalah membangun industri jasa dan produk Internet sejenis Google (AS), Baidu (Tiongkok), atau Yandex (Rusia), dengan produk utama teknologi pencarian, komputasi web, perangkat lunak, dan periklanan daring. Termasuk di dalamnya produk yang populer saat ini, Generative Pre-training Transformer atau ChatGPT, teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang terbuka pemakaiannya. Amerika mempunyai kebijakan keuangan dan investasi yang memudahkan dan mendukung investornya masuk ke industri seperti ini. Termasuk insentif perpajakan bagi investornya. Kebijakan keuangan negara terhadap BUMN yang sangat ketat membuat BUMN pun tidak mampu menjadi pendorong pemajuan industri jasa dan internet seperti ini, bahkan untuk e-commerce sekalipun. Karena kegagalan investasi dinilai sebagai korupsi, sehingga mudah terjadi kriminalisasi korporasi.
Industri yang terbuka bagi Indonesia adalah startup dengan pasar lokal. Tercatat terdapat 2.300 startup –terbanyak di Asia Tenggara—dengan 15 startup unicorn (valuasi lebih dari US$ 1 miliar) dan decacorn (valuasi lebih dari US$ 10 miliar) Unicorn merupakan sebutan bagi startup dengan. Sementara itu, decacorn di atas US$ 10 miliar. Gojek, Tokopedia –kemudian menjadi GoTo—Traveloka, Bukalapak, OVO, Blibli, Tiket.com, Xendit, J&T Express, Ajaib, Kopi Kenangan, Kredivo, DANA, Akulaku, dan eFishery. Namun karakter industri di digital adalah predatorik, yang besar kuat dan lincah memangsa si kecil, si menengah, dan juga besar. Tidak satupun dari start-up tersebut yang tidak diakuisisi raksasa digital dunia dari Amerika Serikat dan China. Penerima manfaat terbesar adalah pendiri/pemilik, karena tetap saja yang “dijual” adalah pasar domestik Indonesia. Dus, peluang yan tersisa adalah system developer, dan Indonesia menjadi bagian kecil dari rantai besar pengembang sistim digital dunia di pelbagai sektor, mulai dagang hingga kesehatan. Selain itu, industri start-up belakangan semakin tertekan, baik karena investor semakin faham “trik” valuasi dari pemiliknya, juga nampak terjadi tech winter yang umumnya melanda startup di Indonesia maupun dunia.
Ini hanya menggambarkan Indonesia belum memiliki kebijakan digital pada sisi teknologi. Lima tahun ke depan, nampaknya belum ada yang dapat dilakukan, karena ruang-ruangnya semakin sempit. Kebijakan digital adalah salah satu kebijakan yang sejak dibuat langsung berada pada kontestasi dunia. Kebijakan digital “kelas nasional” akan digilas kebijakan publik pada ranah global, sehingga hanya akan menjadi “ekor” dari kebijakan digital global, khususnya kebijakan digital negara-negara maju, terutama Amerika Serikat. Kunjungan di Seattle, pusat industri digital Amerika, dan Moskow, memberikan perspektif bahwa Indonesia perlu “mengadu” industri dari kedua negara di Indonesia, sehingga membuat produk layanan keduanya menjadi lebih efisien –misalnya dengan memastikan Google dan Yandex bersaing terbuka di pasar nasional sehingga keduanya bersaing dalam menawarkan layanan algoritmarik mereka.
Pembangunan manusia merupakan ruang yang lebih lebar. Diperlukan kebijakan yang menjadikan Indonesia menjadi penyuplai sumberdaya digital dunia. Hasil penelitian Bank Dunia dan McKinsey menyebut, dalam kurun waktu 2015-2030, Indonesia membutuhkan 9 juta digital talent atau sekitar 600 ribu orang setiap tahun. Untuk memenuhi kebutuhan itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika mulai tahun lalu meluncurkan program Digital Talent Scholarship. Program ini diikuti oleh 1.000 orang dari pendaftar mencapai 46.000 orang. Setelah mengikuti masa pendidikan selama dua bulan, 980 orang mendapat sertifikat. Tak hanya gratis, pemerintah menyediakan uang transport bagi peserta program ini. Fokusnya untuk menghasilkan tenaga terampil, dengan 78 bidang yang diajarkan, antara lain Artificial Intelligent (AI), Internet of Things (IoT), cloud computing, coding, programming, cyber security, dan lain sebagainya. Gagasan dalam kebijakan untuk membangun digital talents adalah baik. Namun perlu gagasan yang lebih kuat lagi.
Mari kita lihat India. Dalam menjadikan dirinya sebagai bagian penting dari global supply chain industri digital, maka India melihat peluangnya dari sumberadaya manusia. Bukan sekedar menjadi pekerja berlatar belakang vokasi, namun keilmuan berskala tinggi. India membangun kebijakan SDM digital atau SDM-nya menjadi bagian penting industri digital global, sejak dari keilmuan, pengembangan teknologi, hingga manajemen. Hari ini, setidaknya ada sepuluh (10) CEO perusahaan multinasional digital terkemuka dunia yang dipimpin SDM dari India. Sundar Pichai CEO dari perusahaan Alphabet Inc. dan Google; Satya Narayana Nadella adalah Ketua Eksekutif dan CEO Microsoft. Parag Agrawal CEO Twitter; Amrapali Gan adalah CEO OnlyFans, perusahaan layanan berlangganan konten internet yang berbasis di London. Shantanu Narayen CEO Adobe Inc. Arvind Krishna CEO International Business Machines Corporation (IBM). Sanjay Mehrotra CEO Micron Technology; Jayashree Ullal Presiden dan CEO Arista Networks, sebuah bisnis jaringan cloud yang berbasis di Santa Clara; Nikesh Arora adalah CEO dan Ketua Palo Alto Networks, perusahaan keamanan siber dari Santa Clara; George Kurian CEO dan Presiden Netapps, perusahaan penyimpanan komputer dan manajemen data di Sunnyvale, California. Artinya, kebijakan digital Indonesia akan merambah sektor pendidikan tinggi khususnya sekolah teknologi.
Mungkin, baiknya melihat India sebagai pemodelan, di mana arah pengembangan SDM digital tidak diutamakan ke vokasi sebagai “pembantu komputer” untuk menjadi penginput data atau sebagai koder dan sejenisnya, melainkan kreator produk digital, teknologi, hingga manajer-manajer puncak industri berbasis digital. Indonesia mulai meletakkan SDM-SDM-nya di korporasi digital di seluruh dunia, tanpa misi harus “kembali pulang” suatu ketika. Namun menjadikan mereka sebagai global network di industri digital dan membawa industri nasional masuk jejaring global. Setidaknya, untuk menjadikan Indonesia bagian dari global supply chain industri digital di bidang SDM, meski diakui kita relatif tertinggal jauh dari India, apalagi Tiongkok, apalagi Amerika.
Pada akhirnya, ruang terbesar kebijakan ekonomi digital adalah meletakkan pasar domestik sebagai kebanggaan, karena pasar kreator relatif terbatas, terdesak oleh Tingkok dan Korea (Selatan). Artinya, daya saing ekonomi digital Indonesia terdorong berada ranah yang rentan, atau cenderung tidak berdaya saing.
Apa yang dapat dilakukan?
Realitas kebijakan digital Indonesia ke depan relatif terbatas dan terkendala karena tidak pernah digagas semenjak awal strategi going digital Indonesia, kecuali mengedepankan penggelaran infrastruktur untuk meningkatkan kecepatan akses dan pemerataannya ke seluruh negeri, dan membuka pasar domestik industri global yang banyak disebut sebagai The OTT –Over the Top. Industri yang muskil untuk dilawan, karena mereka bukan saja besar, kuat, dan gesit, namun mereka adalah industri yang di negaranya –Amerika—masuk kategori too big to fail, atau tidak mungkin dibiarkan jatuh oleh pemerintahnya, dan sekaligus menjadi salah satu ujung tombak persaingan negaranya di dunia.
Secara umum, perlu diakui, kebijakan pembangunan digital Indonesia masih cenderung membawa Indonesia menjadi “ekor” industri digital global dengan segala kemajuan. Kesadaran kekritisan ini membawa kita untuk lebih sungguh-sungguh membangun kebijakan publik digital yang unggul. Disadari pula, membangun kebijakan yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu center of gravity dari industri dan kemajuan digital global memang sangat tidak mudah. Karena itu, yang diperlukan adalah “gagasan yang cerdik, cerdas, bahkan culas” dalam berhadapan dengan persaingan industri dan kemajuan digital dunia. Amerika melakukan hal tersebut terhadap Rusia dan negara-negara lain dengan menarik best digital talent mereka menjadi warganegara Amerika dan mendirikan “Kerajaan-Kerajaan Bisnis” terbesar dan terkuat di dunia dan organisasi tersebut “berkewarganegaraan” Amerika. Inilah yang dimaksud dengan The Entrepreneurial State: Debunking Public vs. Private Sector Myths (2013) –nya Profesor Mariana Mazzucato, yang kemudian diperkuatnya dengan gagasannya di Mission economics (2021), ekonomi dengan misi, tidak sekedar dengan target-target. Digital perlu target, namun yang perlu dikedepankan adalah misi.
Tantangan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam lima tahun –dan mungkin 10 tahun—ke depan dalam membangun Indonesia ber-digital memang besar. Tidak cukup hanya dengan membentuk Kementerian Digital, sebagaimana banyak nasihat. Karena digital bukanlah sektor, sebagaimana kesehatan, keuangan, atau pendidikan. Digital hadir di semua sektor. Karena itu, yang lebih diperlukan adalah sebuah strategi of going digital, dan bukan becoming digital, sebagaimana nasihat Malcolm
Frank, Paul Roehrig and Ben Pring dalam What to Do When Machines Do Everything (2017). Indonesia perlu masuk ke peradaban digital dengan digital readiness, daripada digital addiction.
Keberhasilan memajukan ekosistem industri digital di Indonesia secara signifikan memajukan ekosistem digital Indonesia, mulai dari pengembangan pelayanan publik berbasis digital dari setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, hingga pelayanan yang dilakukan sektor korporasi dan lembaga nirlaba, mulai rumah sakit, sekolah, hingga perpustakaan. Kata kuncinya tetap sama: membangun kebijakan digital Indonesia yang unggul, yang dapat menjadi andalan. Basisnya bukan berapa banyak belanja digital, melainkan berapa luas dan mendalam ekosistem industri digital Indonesia berkembang, termasuk di dalamnya sebagai bagian dari jaringan global supply chain industri digital dunia dan turunannya.
Catatan Akhir
Keunggulan negara bangsa semakin ditentukan kemampuan Pemerintah dan negara-bangsa tersebut untuk membangun dan mendeliver kebijakan-kebijakan yang unggul. Demikian juga upaya untuk membangun Indonesia digital yang unggul. Model berfikir –dan karenanya model kerja– yang pada saat ini disepakati dan digunakan oleh Kementerian Kominfo sebagai berikut:

Model ini diajukan oleh konsultan kenamaan yang digunakan Kominfo dan disepakati oleh Kominfo. Ada beberapa kritisi pada model ini, namun ada sat yang mendasar, bahwa ini adalah model yang deterministik teknologi, sehingga diasumsikan, jika infrastruktur digital digelar di seluruh Indonesia, maka (secara otomatis) akan terbangun ekosistem digital yang terdiri dari keamanan data, riset dan inovasi digital, SDM digital, dan kebijakan digital. Berkenaan dengan hal yang terakhir saja, dengan demikian kebijakan digital dihela oleh penggelaran infrastruktur. Artinya, sangat mudah terjadi salah satu bentuk korusi kebijakan yang dikenali sebagai “vendor driven policy”.

Padahal, eksistensi digital lahir dari kolaborasi yang total. Artinya, punya konsekuensi, model berfikirnya juga kolaboratif antar sektor, tidak deterministik teknologi. Demikian pula seharusnya pemahaman dan substansi kebijakannya.

Dengan demikian, benang merah yang disarankan sebagai catatan akhir adalah, bahwa kebijakan digital yang menentukan arah kemajuan digital, bukan teknologi digital. Ini juga menjadi model berfikir dan model kerja Pemerintahan di pelbagai kawasan maju di sektor digital di dunia, termasuk di dalamnya China dan Korea (Selatan). Sehingga model berfikir kementerian Kominfo ke depan direkomendasikan disempurnakan menjadi berikut:

Dengan harapan, bahwa masyarakat digital yang dimiliki Indonesia, adalah masyarakat digital yang nyata, bukan yang asal ada sebagai konsekuensi logis pengadaan barang dan jasa digital yang dilakukan pemerintah dan industri secara massif.