Bangsa yang Tersandera

Sidang Putusan Sengketa Pilpres 2024 dinyatakan selesai pada hari Selasa tanggal 16 April 2024 dan jadwal putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) dijadwalkan hari Senin 24 April 2024. Sidang perdana dimulai 27 Maret 2024. Artinya, diperlukan waktu kurang dari satu (1) bulan untuk menyelesaikan PHPU. Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengadili perkara tersebut sudah diketahui bersama didasarkan UUD 1945 Pasal 24C (1) yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk (…) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Masalahnya adalah, proses pengadilan itu sendiri telah menjadi drama yang menyandera pikiran bangsa. Ada dua penyanderaan pikiran bangsa kita, pertama bagi yang menyokong pemenang Pilpres adalah bagaimana kalau keputusan mengakui pengaju/pemohon PHPU. Mereka yang sudah “berdarah-darah” menjadi bagian pemenangan merasa perlu berfikir bagaimana “ikut” memenangkan perkara dengan mengalahkan pengaju/pemohon PHPU. Secara sistematis dan terstruktur dilakukan berbagai “lobi” dan “transaksi” mulai dari yang biasa, wajar, hingga benar-benar transaksional, yang kadang berpotensi disebut “menggadaikan kepentingan bersama/bangsa”.

Ke dua, bagi penyokong pengaju/pemohon PHPU. Mereka juga yang sudah “berdarah-darah” menjadi bagian pemenangan pemohon merasa perlu berfikir bagaimana “ikut” memenangkan perkara yang dimohonkan. Sama juga, secara sistematis dan terstruktur menjadikannya sebagai ruang “lobi” dan “transaksi”, termasuk “meminta bagian” dari kekuasaan yang baru. Melupakan gagasan dasar bahwa pemilu adalah dasar demokrasi, di mana pemenang memegang kekuasaan sah, si kalah (harus bersedia) berdiri di pinggir. Pemilu yang menghasilkan kekuasan sah yang terdiri dari si menang dan si kalah, sebenarnya adalah humor yang tidak lucu di negara demokrasi yang baik dan sehat.

Cendekiawan

Para akademisi dari Universitas Gadjah Mada menjadi pelopor mengkritisi bahkan sebelum PHPU dimulai dalam bentuk “Petisi Bulaksumur” pada Jumat 2 Februari 2024. Dilanjutkan Universitas Islam Indonesia, Universitas Indonesia, sehingga total ada 30 perguruan tinggi yang menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas proses pemilu (presiden). Indonesia adalah negara hukum, dan bukan negara selain hukum, termasuk mungkin bukan negara etika, sehingga apa pun atau setiap sengketa atau perbedaan yang konfliktual, harus diselesaikan secara final melalui lembaga hukum dan cara hukum. Tidak ada yang lain.

Perdebatan di dalam sidang MK pun sebenarnya bukan sekedar perdebatan para praktisi hukum terbaik Indonesia, namun perdebatan dari para cendekiawan hukum terbaik Indonesia. Apa yang dihadirkan yang nampak “haru-biru” adalah peta kualitas cendekiawan hukum dan ilmu terbaik Indonesia secara “apa adanya”. Termasuk perdebatan “kata-kata” untuk menginterpretasikan pasal-pasal yang relatif non substansial secara filosofikal –kecuali pemenangan.

Ada dua gambaran dari dua realitas tersebut. Pertama, keprihatinan para cendekiawan kampus sudah tidak mempunyai tempat di dalam sistem politik Indonesia kontemporer. Bahkan, dengan cara mudah, kehadirannya dapat “dilipat” dengan beberapa pernyataan enteng yang “mematikan”. Tiga di antaranya adalah: pasti ada yang mendalangi, dinamika demokrasi, dan serahkan kepada proses hukum. Ke dua, diskusi dan perdebatan pada cendekiawan hukum yang terjadi pada persidangan PHPU di MK menjadi gambaran bahwa keilmuan pada akhirnya tunduk kepada kekuasaan yang kepadanya para pelaku memberikan pemihakannya, dan pemihakan itu sudah wajar berbentuk non-voluntari. Tidak salah secara profesi, karena untuk itu didapatkan nilai tertentu.

Waktu

Realitas ini memberi gambaran bahwa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang relatif gagal mendayagunakan waktu, sumberdaya paling langka bagi kehidupan bersama hari ini dan ke masa depan. Padahal, premisnya adalah bahwa bangsa yang kalah kehilangan waktu, bangsa yang bodoh kehabisan waktu, namun bangsa yang cerdas, dan karenanya menang, adalah bangsa yang “menciptakan waktu”.

PHPU dengan segala drama pada pra, pada saat, dan nanti pascanya, yaitu setelah pengumuman MK, akan tetap menyandera bangsa ini, setidaknya pikirannya, secara mendalam. Sandera ini membuat bangsa Indonesia –dan para pemimpinnya—kehilangan waktu, atau setidaknya kehabisan waktu untuk berfikir, bekerja, dan mendeliver kebaikan. Hasil dari pikiran yang letih adalah solusi transaksi atau “wani piro”, dan politik transaksional cenderung menguntungkan pemegang kekuasaan alih-alih kepentingan bangsa. Mereka yang kelak memimpin akhirnya mencari setiap sumberdaya untuk menjadi bahan transaksi untuk mengamankan kekuasaan yang sah, dan mereka yang lain mencari setiap sumberdaya untuk diminta ditransaksikan sebagai trade off-nya. Politik mengalami proses pendangkalan yang melembaga atau menjadi bagian dari sistem itu sendiri. Politik yang dangkal sudah wajar menghasilkan kehidupan bersama yang dangkal, karena kebijakan-kebijakan publiknya pun relatif dangkal, dan produknya bangsa yang dangkal dan mudah dikalahkan bangsa-bangsa “pemangsa”.

Ada kesan yang kuat, politik penyanderaan ini menjadi budaya dari elit politik Indonesia pasca reformasi. Karena memberi jaminan bahwa siapa pun yang kalah, akan tetap dapat meminta dan mendapatkan bagian kekuasaan dari pemenang. Politik yang dihadirkan adalah “politik integralis”, yang saya tulis lima tahun yang lalu (Kompas, 29 Oktober 2019). Realitas ini sudah diwadahi oleh kebijakan publik kita, terikut di dalamnya undang-undang pemilu, mulai dari UU 7/2017 tentang Pemilu hingga UU No. 7/2023 tentang Penetapan PERPU No. 11/2022 tentang Perubahan UU 7/2017 tentang Pemilu Menjadi Undang-Undang, terutama hal-ikhwal peserta, pencalonan, dan penyelenggaraan pemilu.

Nampaknya, kebijakan publik kita membiarkan ruang itu terbuka lebar, menjadi “penyandera”, dan akhirnya “penghabis dan pencuri waktu”. Kebijakan kepemiluan yang baik “menciptakan waktu” (dalam tanda petik, karena hanya Tuhan-lah pencipta waktu tanpa tanda petik). Artinya, kebijakan yang sejak awal memastikan konflik yang haru biru yang membuat pemilu Pilpres menjadi terkendala untuk dikatakan tidak ada cemar, sehingga setelah pemilu semua bisa move on dengan ringan hati.

Pelajaran

Adalah Jared Diamond, biolog, yang menulis Collapse: How Society Choose to Fail or Survive (2005). Setiap bangsa, termasuk Indonesia, adalah bangsa yang tidak hadir sekedar mengikuti nasib. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang diberi kesempatan untuk memilih nasibnya. Dan, penentunya adalah pemimpin-pemimpin bangsa itu. Pada tahun 1945 Soekarno, Hatta, dan para pemimpin bangsa memilih nasib bangsanya untuk merdeka. Pada 13 Desember 1957, Perdana Menteri Djuanda memilih nasib bangsanya untuk menjadi bangsa dengan Negara Kepulauan yang menjadikan Indonesia kini memiliki 1,9 juta kilometer daratan dan 3,1 juta kilometer perairan laut, sepanjang London-Kairo. Soeharto yang memastikan jumlah penduduk tidak meledak dengan kebijakan KB-nya. Soeharto juga memastikan manusia Indonesia menjadi pelaku pembangunan di masa dengan dengan kebijakan SD Inpres yang mendapat nobel ekonomi 2019 –meski pemenangnya bukan orang Indonesia, Esther Duflo dari Prancis, dan dua koleganya Abhijit Banerjee dan Michael Kremer.

Pemimpin kita di masa lalu berhasil membawa bangsa untuk “menciptakan waktu”, menciptakan ruang untuk berkembang dan menang di masa depan jauh-jauh hari. Kebijakan Pilpres hari ini mengarahkan bangsa untuk berkubang di self-hostaging yang bermuara pada habis dan bahkan hilangnya waktu. “Penyanderaan” akan terus berlanjut sepanjang lima tahun pemerintahan, dan begitu seterusnya. Kita makin kehilangan dan kehabisan waktu, terutama untuk keluar dari middle income trap. Akibat kebijakan yang memberi ruang yang teramat besar untuk mentransaksikan sumberdaya bangsa di antara sesama elit dan bangsa lain. Tersandung menjadi bangsa yang “menciptakan waktu”.

Lagi-lagi, ini adalah pilihan. Sama seperti pengajar Collapse dari Diamond, untuk menjadi bangsa yang kehabisan, kehilangan, ataupun menciptakan “waktu” itu adalah masalah pilihan. Apakah kita memilih atau tidak, terpulang kepada para pemimpin bangsa yang ada di Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan Edukatif –mereka yang mengajar para pemimpin untuk membuat pilihan. Ini adalah tantangan bagi pemegang tampuk kekuasaan politik bangsa 2024-2029. Tidak mudah, tapi bukannya tidak mungkin.

Oleh: Riant Nugroho
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia
Pengajar Program Pasca Sarjana FISIP Unjani

Avatar photo

Riant Nugroho

Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia

Articles: 11