Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah “kebijakan publik” dan “realitas sosial”. Namun, banyak orang masih bingung dengan hubungan antara keduanya. Apakah kebijakan dibuat hanya karena ada masalah sosial? Atau apakah kebijakan justru ikut menciptakan atau mengubah kondisi sosial? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita telusuri sebuah model yang menggambarkan hubungan dua arah antara kebijakan publik dan realitas sosial.
Apa Itu Kebijakan Publik?
Secara sederhana, kebijakan publik adalah keputusan atau tindakan yang diambil oleh pemerintah atau lembaga terkait untuk mengatur atau menyelesaikan masalah dalam masyarakat. Misalnya, kebijakan pendidikan gratis, subsidi listrik, atau aturan lalu lintas adalah contoh nyata dari kebijakan publik.
Namun, di balik setiap kebijakan ada banyak faktor yang memengaruhi. Kebijakan tidak muncul begitu saja, melainkan terbentuk dari berbagai kondisi seperti:
- Politik: Siapa yang berkuasa, siapa yang memiliki kepentingan, dan bagaimana dinamika kekuasaan berjalan.
- Kelembagaan: Peran institusi seperti kementerian, dinas, atau lembaga lainnya yang memiliki tugas dan fungsi tertentu.
- Ekonomi: Apakah keuangan negara cukup? Apakah kebijakan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi?
- Nilai dan Sosial: Apakah kebijakan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat? Apakah diterima secara sosial?
- Lingkungan dan Ekosistem: Bagaimana dampaknya terhadap alam, lingkungan hidup, dan kelestariannya?
- Kepemimpinan: Siapa pemimpinnya dan bagaimana gaya kepemimpinannya?
Semua elemen ini saling berinteraksi dan memengaruhi arah serta isi kebijakan yang dibuat.
Apa Itu Realitas Sosial?
Realitas sosial adalah kondisi nyata yang terjadi dalam masyarakat. Ini mencakup segala sesuatu yang kita lihat, alami, dan pahami dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, tingkat kemiskinan, ketimpangan pendidikan, budaya digital, cara kita berkomunikasi, hingga cara berpikir dan merasakan sesuatu.
Uniknya, realitas sosial sebenarnya bukan hanya sesuatu yang “terjadi”, tapi juga sesuatu yang kita “bangun” bersama. Para ahli seperti Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menyebut ini sebagai “konstruksi sosial”, artinya kenyataan itu dibentuk oleh manusia melalui:
- Eksternalisasi: Kita menciptakan suatu makna atau aturan, misalnya “anak harus sekolah”.
- Objektivasi: Makna itu diterima oleh masyarakat luas dan menjadi kenyataan bersama, misalnya semua orang sepakat bahwa sekolah itu penting.
- Internalisasi: Orang-orang mulai meyakini dan mengikuti aturan tersebut sebagai bagian dari hidupnya.
Dengan kata lain, realitas sosial bukanlah sesuatu yang kaku. Ia bisa berubah, berkembang, dan bahkan dibentuk kembali.
Kebijakan Publik ↔ Realitas Sosial
Gambar yang Anda lihat menunjukkan dua lingkaran besar: satu mewakili kebijakan publik, satu lagi mewakili realitas sosial. Di antara keduanya ada dua panah yang menggambarkan proses berkelanjutan: konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara kebijakan dan realitas sosial tidak bersifat satu arah, melainkan saling memengaruhi.
1. Konstruksi: Membentuk Kebijakan dari Realitas
Tahap ini menggambarkan bagaimana kebijakan publik dibentuk berdasarkan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Misalnya, jika banyak anak yang tidak bisa mengakses pendidikan karena biaya mahal, maka pemerintah bisa membuat kebijakan sekolah gratis. Dalam hal ini, realitas sosial membentuk kebijakan.
2. Dekonstruksi: Mengkritisi dan Membongkar Kebijakan
Namun, tidak semua kebijakan selalu benar atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada proses dekonstruksi, yaitu menelaah ulang kebijakan yang ada. Kita bisa bertanya: Apakah kebijakan ini adil? Siapa yang diuntungkan? Apakah kebijakan ini benar-benar menyelesaikan masalah?
Sebagai contoh, jika sekolah gratis ternyata hanya berlaku di kota dan belum merata ke desa, maka kita perlu mengkaji ulang dan membongkar asumsi yang melatarbelakangi kebijakan tersebut.
3. Rekonstruksi: Membangun Ulang Kebijakan
Setelah dikaji dan dibongkar, kebijakan bisa dibentuk ulang agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Proses ini disebut rekonstruksi. Misalnya, kebijakan sekolah gratis bisa diperluas cakupannya ke desa-desa, atau diberikan fasilitas tambahan seperti buku dan seragam gratis.
Dalam tahap ini, kebijakan tidak hanya menanggapi realitas sosial, tapi juga membentuk realitas sosial baru.
Mengapa Ini Penting?
Memahami bahwa kebijakan publik dan realitas sosial saling memengaruhi memiliki beberapa manfaat besar:
1. Kebijakan Tidak Berdiri di Ruang Hampa
Seringkali kita berpikir bahwa kebijakan adalah hal teknis yang dibuat oleh ahli di kantor. Padahal, kebijakan selalu berakar pada kondisi sosial yang nyata. Oleh karena itu, masukan dari masyarakat sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan.
2. Masyarakat Bisa Berperan Aktif
Dengan memahami proses ini, masyarakat tidak hanya menjadi penerima kebijakan, tetapi juga bisa menjadi pihak yang mengusulkan perubahan. Ketika masyarakat menyuarakan pendapatnya berdasarkan kenyataan yang mereka alami, maka kebijakan yang dihasilkan bisa lebih adil dan tepat sasaran.
3. Pemimpin Harus Peka Terhadap Dinamika Sosial
Pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak hanya melihat angka dan data, tetapi juga memahami konteks sosial di lapangan. Mereka harus bisa mendengar, membaca situasi, dan merespons perubahan sosial dengan kebijakan yang adaptif.
Contoh Nyata dalam Kehidupan Sehari-Hari
Mari kita ambil contoh sederhana: penggunaan teknologi digital di sekolah.
Tahap Konstruksi
Di masa pandemi, banyak sekolah yang beralih ke pembelajaran online karena realitas sosial menuntut pembatasan tatap muka. Pemerintah merespons dengan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Ini adalah contoh konstruksi: kebijakan lahir dari realitas.
Tahap Dekonstruksi
Namun, setelah beberapa waktu, muncul masalah: banyak siswa tidak punya akses internet, atau tidak memiliki gawai. Maka muncullah kritik terhadap kebijakan ini. Ini adalah proses dekonstruksi: masyarakat dan pengamat mengkritisi dan menilai kembali efektivitas kebijakan tersebut.
Tahap Rekonstruksi
Sebagai respons terhadap kritik tersebut, pemerintah mulai memberikan kuota internet gratis, bantuan tablet, atau membuka kelas tatap muka terbatas di daerah yang aman. Ini adalah proses rekonstruksi: kebijakan dibentuk ulang berdasarkan umpan balik dari masyarakat.
Dimensi-Dimensi yang Terlibat
Dalam gambar, kita juga melihat beberapa dimensi yang menjadi penghubung antara kebijakan dan realitas sosial. Di sisi kebijakan publik, ada:
- Politik dan Kelembagaan: bagaimana kebijakan dibuat dan siapa saja aktornya.
- Ekonomi dan Kepemimpinan: bagaimana sumber daya digunakan dan siapa yang memimpinnya.
- Nilai dan Sosial: apa nilai-nilai yang dipegang masyarakat dan bagaimana kondisi sosialnya.
- Lingkungan dan Ekosistem: bagaimana pengaruhnya terhadap alam dan keseimbangan ekosistem.
Sementara di sisi realitas sosial, kita melihat:
- Digital dan Kultural: bagaimana budaya dan teknologi membentuk cara hidup.
- Psikologis dan Mediasional: bagaimana perasaan, persepsi, dan media memengaruhi masyarakat.
- Politikal Konvensional: bagaimana sistem politik lama atau tradisional masih memainkan peran.
- Ekonomikal dan Analog: bagaimana kondisi ekonomi dan teknologi konvensional (non-digital) tetap relevan.
Setiap dimensi ini saling berkaitan dan bisa menjadi jembatan antara kenyataan di masyarakat dan kebijakan yang dibuat pemerintah.
Menuju Kebijakan yang Lebih Manusiawi
Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hubungan antara kebijakan publik dan realitas sosial adalah hubungan dua arah yang dinamis. Kebijakan tidak hanya dibuat untuk menanggapi kondisi masyarakat, tetapi juga memiliki kekuatan untuk mengubah realitas sosial itu sendiri.
Proses ini tidak terjadi sekali, tetapi terus berulang: membentuk (konstruksi), mengkaji ulang (dekonstruksi), dan membangun kembali (rekonstruksi). Dengan memahami hal ini, kita bisa mendorong terbentuknya kebijakan yang lebih adil, partisipatif, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sebagai masyarakat, kita punya peran penting: menyuarakan kenyataan yang kita alami, mengkritisi kebijakan yang tidak adil, dan mendorong perubahan yang lebih baik. Di sisi lain, pembuat kebijakan juga dituntut untuk terus belajar, mendengarkan, dan beradaptasi agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kehidupan nyata masyarakat.