Ideologi adalah frasa terkenal semenjak Karl Marx menulis karya-karya penentangannya kepada para kapitalis, para borjuis, para kaya yang menjadi kaya karena mengeksploatasi para pakerjanya, para buruh. The Communist Manifesto tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels, terbut di tahun 1888, dan yang ada di rak buku saya terbitan ulang dari Simon dan Schuster tahun 1964, menyerukan kepada para buruh untuk bersatu memerangi para “Kapitalis” yang “mengeksploatasi kaum Pekerja”, meruntuhkan kelas penguasa, untuk menuju “Dunia Baru” di mana semua orang sama dan sederajad.
Mati Ketawa Cara Rusia, yang juga ada di rak buku saya yang lain, menjelaskan dunia yang dijanjikan oleh “Revolusi Kelas” tersebut, yaitu dunia sosialisme. “Apa perbedaan antara Kapitalisme dan Sosialisme?”. Jawabannya: “Kapitalisme adalah sistem di mana terjadi eksploatasi manusia atas manusia yang lain”. “Kalau Sosialisme, apa bedanya?”. “Sangat jelas. Sosialisme adalah kebalikan dari Kapitalisme”. Sama saja, bukan. Tapi ini bukan tentang sosialisme berbasis komunisme yang didirikan Vladimir Ilyich Ulyanov, atau Lenin, di Uni Soviet, melalui Revolusi Kaum Bolshevik 6-7 November 1917. Ini tentang teori Marx yang meyakini bahwa sebuah “Revolusi” hanya berhasil jika ada “gagasan yang mengkristal” yang mampu menyatukan pikiran sangat banyak orang, kemudian bergerak bersama melakukan aksi kekerasan frontal. Gagasan seperti itu disebut sebagai “ideologi”. Untuk dapat menyatukan dengan kuat, maka harus ada “gagasan lain” yang dikristalkan agar mudah dijadikan “musuh bersama”.
Jadi, frasa ideologi yang dikenalkan oleh Marx bermakna “kesatuan pikiran penguasa”, dan di “tempat lain” bermakna “kesatuan pikiran para elit”. The ideas of the ruling class, disebut dalam Political Ideology-nya Andrew Heywood (2017) sebagai salah satu definisi ideologi. Konsep ideologi juga digunakan oleh komunitas “Partai” Rakyat Demokratik yang didirikan 22 Juli 1996 untuk melawan kekuasaan Pemerintahan Presiden Soeharto. Atau, ketika PDI Perjuangan menjadikan sebagai kekuatan untuk melawan kekuasaan yang melancarkan serangan Kudatuli, kerusuhan 27 Juli 1996, penyerbuan ke “Markas” PDIP di Diponegoro 58 Jakarta. Caranya: melabeli “lawan” dengan ideologi yang menjadi sasaran tembak, dan menembaki sasaran tersebut. Meski, sayangnya, saat itu kekuasaan (Orde Baru) menyebut dirinya sebagai The Pancasilaist, sehingga setelah mereka lengser, Pancasila termasuk yang ikut terlengser, dan menjadi masalah bersama hingga kini. Bahkan upaya mengembalikannya dengan mendirikan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) masih belum kunjung berhasil. “Ideologisasi” juga dipergunakan Ir Soekarno pada saat menggalang kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan yang belum seumur jagung (60 hari), dengan meng-imperialiskan Belanda dan konco-konco-nya (yang saat itu memang imperialis-kolonialis).
Pada buku Political Ideology, yang diperuntukkan bagi undergraduate, Heywood mengklasifikasikan ideologi menjadi lima, yaitu di ujung “paling kiri” adalah komunisme, disusul sosialisme, di tengah ada liberalisme, di kanannya ada konservatisme, dan di paling kanan adalah fasisme. Visualisasinya seperti ini –meskipun juga digambarkan melengkung seperti ladam kuda.
komunisme | sosialisme | liberalisme | konservatisme | fasisme |
Kita menggunakan klusternya, beberapa argumentasi, meski dengan penyempurnaan –dan pembedaan yang dinilai perlu, bahkan sangat perlu. Ada enam ideologi lain yang dibahas Heywood, yaitu Anarchisme, Nationalisme, Feminisme, Green Ideology, Multiculturalisme, dan Islamisme. Tapi, lima saja, cukuplah.
Liberalisme yang berasal dari kata liber yang berarti kelompok orang bebas –bukan budak—adalah keyakinan bahwa semua orang bebas, sejak berfikir, berbicara, hingga bertindak. Namun demikian, ada dua hal yang sering tidak diterima oleh penganut liberalis, yaitu, pertama, bahwa batas kebebasan itu adalah kebebasan orang lain. Para libertarian lebih senang tidak membatasi kebebasan, karena dengan membatasi artinya kebebasan itu kehilangan makna kebebasannya. Dengan kebebasan tanpa batas, maka individu dapat mencapai keunggulannya yang ultima. Jika dengan hal itu, individu yang lain terkurangi kebebasannya, itu adalah kebodohan individu tersebut. Kebebasan bersaing menjadikan dunia terbagi dua: pemenang dan pecundang. Ke dua, tanggung-jawab. Kebebasan adalah mutlak, tanggung-jawab hanya menjadi pembatas. Jadi, jika sebuah pabrik menjadi besar dan menghasilkan polusi dalam jumlah besar, itu bukan masalah dia, tapi masalah “orang lain”, termasuk negara. Mereka hanya wajib membayar pajak –itupun akan dituntut serendah-rendahnya. Salah? Tidak. Namanya juga keyakinan yang selalu benar di kalangan para penganutnya.
Hemat saya, liberalisme itulah yang membuat Karl Marx marah –karena ia juga menjadi bagian dari kelompok yang “kalah” dan hidup keluarganya penuh penderitaan. Hidup dalam kemiskinan, empat dari tujuh anaknya meninggal di usia dini, kemudian ditinggal mati Jenny Caroline, istrinya. Ia hidup berpenyakitan hingga meninggalnya (1883, usia 64). Saat dikebumikan, hanya sebelas orang yang melayat: Friedrich Engels, Eleanor Marx, Edward Aveling, Paul Lafargue, Charles Longuet, Helene Demuth, Wilhelm Liebknecht, Gottlieb Lemke, Frederick Lessner, G Lochner, Sir Ray Lankester, Carl Schorlemmer dan Ernest Radford. Marx membawa ajarannya dan kemudian menjadi ideologi: Marxisme. Intinya: perangi kelas yang jahat, kelas borjuis, mereka yang kaya raya karena menginjak-injak dan mengeksploitasi kaum pekerja yang miskin. Perang harus dilakukan untuk menghapuskan “kasta ekonomi” yang kemudian menjadi “kasta politik, sosial, dan budaya”. Musuh dari Marxisme adalah kapitalisme –yaitu kapitalisme kuno yang dimulai di era pabrik-pabrik tekstil dan metal di Inggris. Negara harus berubah dari negara “dengan kelas” menjadi negara “tanpa kelas”.
Lenin adalah “murid” jenius Marx. Tahun 1917 dengan ideologi tersebut ia menghancurkan “kelaliman” Tsar melalui Revolusi Bolshevik dan mendirikan Negara Uni Soviet yang kemudian luluh lantak, karena lupa bahwa sistem politik tanpa kelas melahirkan kelas-kelas baru yang tak terbayangkan jahatnya –termasuk dengan keberadaan ‘Gulag’ (Kulak) akronim dari Glavnoe Upravlenie Lagerei atau Administrasi Kamp Utama. 9 November 1989 Tembok Berlin runtuh. Revolusi peruntuhan komunisme dimulai di Polandia tahun 1988, kemudian berlanjut di Hungaria, Jerman Timur, Bulgaria, Cekoslowakia, dan Rumania. Pada tanggal 21 Desember 1991, sebelas republik (dengan republik keduabelas, Georgia, hadir sebagai pengamat) mendeklarasikan pembentukan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) di Almaty, Kazakhstan, yang mengakhiri keberadaan Uni Soviet. Marxisme sering disamakan dengan Sosialisme –sampai Soviet pun mengatakan sistem politik mereka adalah Negara Sosialis — The Union of Soviet Socialist Republics (USSR). Namun, sebenarnya mereka berbeda.
Sosialis berasal dari kata Latin sociare artinya berbagi atau “to share”. Memang, awal datangnya sejaman dengan Marx, yaitu di tahun 1827 di Inggris saat didirikan majalah Koperasi (Co-operative) dan oleh filsuf Prancis Henri de Saint-Simon. Sejak tahun 1840an sejumlah negara menyatakan diri sebagai negara sosialis, yaitu France, Belgium and the German –anehnya, Inggris tidak. Mungkin, karena ada kedekatan ide dengan Marxisme, yaitu anti kapitalisme, maka keduanya sering disamakan. Sosialisme adalah penentangan kepada kapitalisme (kuno) dengan menyediakan diri sebagai ekosistem yang manusiawi dan memberikan alternatif sosial yang lebih luas.
Pada perkembangannya, terjadi konsolidasi antara sosialisme dan demokrasi. Sejumlah negara di Eropa Barat memilih arus utama ideologi ini dalam bentuk intervensi yang intensif dari negara untuk menata keadilan sosial dalam negara tersebut. Setidaknya, yang dapat disebut langsung adalah Jerman, Belanda, Belgia, Prancis, dan negara-negara Skandinavia. Peter Drucker pada karyanya The Unseen Revolution: How Pension Fund Socialism Came to America (1976) menyatakan bahwa Amerika sebenarnya sosialis. Jika Marx menyatakan bahwa pekerja harus punya kepemilikan di perusahaan, maka saat dana pensiun pekerja menguasai saham-saham perusahaan blue chip di pasar modal New York, sosialisme itu sebenarnya sudah hadir.
Bahkan, ketika Presiden Amerika, Franklin Delano Roosevelt (30 Januari 1882 – 12 April 1945) membuat kebijakan The New Deal untuk mengatasi krisis the Great Depression di Amerika tahun 1930an, dengan membuat Pemerintah melakukan intervensi intensif ke dalam perekonomian –yang kemudian dibukukan oleh JM Keynes sehingga konsep tersebut disebut sebagai teori Keynesian—maka AS sudah menjadi negara sosialis yang terbesar yang pertama di dunia.
Jika dilacak ke belakang, sosialisme, dalam arti hidup dalam kesatuan dan kebersamaan, senantiasa saling berbagi, dilahirkan dari gagasan Yesus dari Nazaret, yang ajarannya dikenal sebagai Kristen –baik Katolik maupun Protestan. Sebuah prinsip yang menjadi pegangan murid-murid Yesus sejak awal hingga era kekinian –terutama yang memilih hidup dalam asketisme. Sosialisme Kristiani berubah ketika Negara mengambil alih posisi tertingginya.
Ideologi keempat adalah konservatisme. Intinya adalah “tetap” atau “tidak (perlu) berubah” –sekalipun perlu. Ideologi ini muncul di abad 19 untuk melihat suramnya perubahan, pesimisme kepada pembaharuan. Inggris, yang memiliki Partai Konservatif, adalah ideologi konservatif. Keluar dari Uni Eropa adalah salah satu faktanya. Semua negara –tanpa mengklaim—mempunyai ideologi konservatif, meski tanpa nama “konservatif”, termasuk Golkar (terutama di era Orba), LDP di Jepang, PAP di Singapura, UMNO di Malaysia, hingga Republik di Amerika.
Ideologi kelima adalah fasisme, ideologi yang menghilang sejak kejatuhan Hitler di Jerman dan Mussolini di Italia, setelah kalah pada Perang Dunia II. Istilah ‘fasisme’ berasal dari kata Italia fasces, yang berarti seikat tongkat dengan bilah kapak menonjol yang menandakan otoritas hakim di Kekaisaran Roma. Kata fasia digunakan untuk merujuk pada kelompok revolusioner. Mussolini menggunakan ini untuk Pemerintahannya. Tema utama fasisme adalah gagasan tentang komunitas nasional yang bersatu secara organik, yang diwujudkan dalam keyakinan akan ‘kekuatan melalui persatuan’. Individu tidak ada. Yang ada hanya “kelompok”, “Negara”. Fasis melahirkan ‘manusia baru’, seorang pahlawan, yang termotivasi oleh tugas, kehormatan, dan pengorbanan diri, siap mengabdikan hidupnya demi kejayaan bangsa atau rasnya, dan memberikan kepatuhan yang tidak perlu dipertanyakan lagi kepada pemimpin tertinggi. Fasisme adalah ideologi yang “serba-anti”: anti-rasional, anti-liberal, anti-konservatif, anti-kapitalis, anti-borjuis, anti komunis, dan bahkan “anti-lainnya”.
Kebijakan publik lahir dari rahim ideologi. Pancasila adalah ideologi yang dekat dengan sosialisme. Namun, tidak semua kebijakan kita berpola ke sana. Dengan demikian, bisa dicermati, apa ideologi dari kebijakan-kebijakan publik Indonesia pada hari ini. Jangan-jangan ada kebijakan kita yang liberalis –atau ultra liberalis—atau bahkan ada yang fasis.