Machiavelli mungkin dihujat sebagai pengajar yang jahat, tetapi terbukti ia paling banyak pengikutnya.
Pada sebuah kampanye, seorang calon kepala daerah yang akan berlaga di pemilihan kepala daerah 27 November 2024 ini berjanji memberikan uang sekitar Rp 100 juta ke setiap rukun warga jika terpilih di Pilkada 2024.
Ia pun dengan gagah mengatakan sudah pernah memberikan uang itu di tempat lain di mana ia menjadi kepala daerahnya. Ia juga berjanji akan menaikkan gaji pengurus rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT) di wilayah ia ingin menjadi kepala daerahnya. Tak tanggung-tanggung, ia menjanjikan dana renovasi rumah untuk sejumlah penduduk yang berkekurangan.
Ia tak sendirian. Di tempat lain, jauh dari tempatnya berada, ada juga calon kepala daerah yang berkampanye dengan berjanji memberikan Rp 100 juta untuk setiap desa jika terpilih. Di tempat yang lain lagi, di pulau yang berbeda, ada calon kepala daerah yang juga akan memberikan dana infrastruktur Rp 100 juta per lingkungan. Lingkungan dimaksud bisa kelurahan, RW, atau RT, atau ketiganya dalam satu paket.
Bahkan, ada lagi yang lebih ”meriah”, calon kepala daerah berjanji memberikan bantuan Rp 2 juta per keluarga menjelang hari raya keagamaan jika menang di pilkada.
Ini adalah jenis kampanye yang tampaknya dapat dikategorikan jahat karena berbuat jahat kepada sistem politik, rakyat, dan sistem nilai yang melandasi kehidupan bersama. Satu hal yang secara ekstrem dilakukan adalah menyuap dan artinya membawa korupsi sejak awal kekuasaan diperjuangkan.
Politik ideal
Dalam demokrasi, termasuk demokrasi di daerah, pemilihan umum kepala pemerintahan/negara dan kepala daerah adalah hal yang wajar, bahkan dipersyaratkan. Apalagi, di Indonesia, yang sejak reformasi memilih demokrasi liberal, terutama dengan model pilpres dan pilkada langsung.
Pilkada langsung, yang tahun ini dilaksanakan secara serentak pada 27 November 2024 adalah praktik demokrasi terbaik di Indonesia. Namun, tetap saja, hal yang baik, termasuk tujuan yang baik, harus dicapai dengan cara yang baik pula.
Prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tak saja dianggap jahat, tetapi juga melanggar profesionalisme. Karena itu, dalam manajemen organisasi dikenal ISO sebagai standar proses yang baik, bermutu, dan bisa dipercaya.
Memang, tidak dikenal ISO dalam kampanye, tetapi prinsip-prinsip kampanye yang baik tetap dapat dirumuskan. Pertama, secara umum, harus dalam arti politik yang wajar. Kedua, secara undang-undang, ada kebijakan yang mengaturnya. Ketiga, secara konstitusional, konstitusi sebagai dasar dan filosofi yang memberikan kriteria baik dan juga benar. Di luar itu, yang ada adalah kejahatan. Bahkan, yang keempat, kampanye yang membangkrutkan keuangan negara.
Machiavelli mungkin dihujat sebagai pengajar yang jahat, tetapi terbukti ia paling banyak pengikutnya.
Meski tidak diajarkan di kelas dan di buku teks, politik selalu dibagi jadi dua pemahaman. Pertama, sebagai gagasan menciptakan kehidupan bersama yang baik dan membaikkan, seperti diajarkan Socrates, Plato (murid Socrates), dan terutama Aristoteles (murid Plato), seperti ditulis di bukunya, Politik (sekitar 340 SM).
Jika Socrates dan para muridnya mengajarkan etis, berbeda dengan kelompok yang disebut Sofis, yang dikenal bahkan sebelum Socrates.
Prinsipnya adalah pragmatis; bahwa kebenaran selalu relatif. Namun, kemenangan tidak. Karena itu, yang diperjuangkan dan diajarkannya adalah kemenangan. Mereka dikenal sebagai orator ulung yang memukau khalayak. Mereka dikenal sebagai ”guru orator keliling”.
Padahal, sebelumnya, istilah sofis merujuk pada ”para bijaksana”, salah satunya Phytagoras. Sofis ”baru” dipimpin antara lain oleh Protagoras.
Kelompok pertama meyakini bahwa politik adalah kebaikan, serta diajarkan para filsuf dan rohaniwan di abad pertengahan, termasuk Thomas Aquinas (1225-1275).
Kelompok kedua meyakini bahwa politik adalah kemenangan dalam mendapatkan kekuasaan dan mempertahankannya. Ini diajarkan antara lain oleh Niccolò di Bernardo dei Machiavelli (1469-1527), terutama pada karyanya, Il Principe (ditulis tahun 1513, diterbitkan tahun 1532).
Machiavelli mungkin dihujat sebagai pengajar yang jahat, tetapi terbukti ia paling banyak pengikutnya. Literatur politik terkini pun tetap mengajarkan bahwa politik pertama-tama adalah perebutan kekuasaan. Demokrasi pun dilahirkan untuk mengatur agar perebutan kekuasaan berjalan dengan damai, tidak berdarah-darah. Masalah kehidupan yang baik nomor dua setelah itu.
Politik yang ideal adalah untuk membaikkan kehidupan bersama. Namun, dalam kenyataan adalah untuk merebut, mendapatkan kekuasaan, termasuk mati-matian mempertahankannya. Tidak ada yang salah, kecuali satu: caranya.
Kampanye yang menyuap, kehilangan jati diri politik untuk membangun kebaikan, melainkan hanya untuk mendapatkan kekuasaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Pasal 73 Ayat (1) disebutkan, calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.
Pasal 73 Ayat (2) menegaskan, calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), berdasarkan putusan Bawaslu provinsi, dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.
Secara formal dan material, substansi kampanye yang jahat itu menyalahi UU tersebut. Namun, tidak tampak tindakan dari KPU di daerah-daerah di mana kampanye dilakukan. KPU tingkat nasional, serta Bawaslu di daerah dan nasional sebagai pengawas, juga tidak mengambil aksi penegakan UU. Tanpa mencurigai pimpinan dan anggotanya, perlu kesadaran bahwa pembiaran tersebut juga termasuk pelanggaran UU.
Para pengampu UU yang membiarkan dirinya tak mengampu UU dapat dikenai dalil: ”mereka yang mengetahui kejadian suatu kejahatan, tetapi membiarkannya, maka mereka adalah bagian dari kejahatan itu sendiri”.
Memang tidak mudah karena pimpinan puncak KPU nasional sebelumnya diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 3 Juli 2024 karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Kampanye yang menjanjikan uang adalah penyuapan. ”Saudara kembar”-nya korupsi.
Pembukaan UUD 1945 paragraf 4 menyebutkan: ”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Para pemimpin bangsa, sejak dari calon, harus berkomitmen melindungi bangsa, termasuk melindungi pikiran warga bangsa, seorang demi seorang, untuk tak dicekoki dengan pikiran yang korup. Para pemimpin bangsa, sejak dari calon, harus berkomitmen untuk menyejahterakan rakyat, tetapi dengan cara memandirikan, tidak dengan menyuapi.
Para pemimpin bangsa, sejak dari calon, harus berkomitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan bukan membodohkan dengan mengajar berpikir, ”tidak usah usaha pasti dapat uang”.
Pembelajaran kita adalah bahwa dimensi yang kita simak di depan mata hari ini yang harus dikoreksi karena punya potensi membusukkan demokrasi Indonesia.
Para pemimpin bangsa, sejak dari calon, sudah harus berkomitmen untuk mengelasduniakan rakyat. Bukannya menjadikan bangsa kelas peminta-minta, mencari yang gratisan, kalau perlu dengan cara jahat.
Membangkrutkan
Lee Kuan Yew dalam tulisannya yang dikumpulkan Graham Allison dkk, The Grand Master (2013), menelaah aktor-aktor politik teratas di Indonesia yang mengedepankan politik popularisme, bukan populisme, dengan cara menjanjikan bantuan-bantuan secara berterusan daripada membangun kekuatan rakyat secara mandiri.
Pada 2005, pemerintah, dibantu Bank Dunia dan didukung Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Jepang, mengeksekusi kebijakan cash transfers dengan pertimbangan untuk mengatasi kebutuhan jangka pendek, program jaringan sosial seperti pangan untuk kerja.
Program yang baik, tetapi harus sementara, paling lama enam bulan. Indonesia meniru persis kebijakan Brasil tahun 1990, Bolsa Escola, yang kemudian berganti nama menjadi Bolsa Familia, yang terus berlanjut hingga saat ini dan diklaim menolong sekitar 26 persen penduduk miskin.
Pada intinya, program ini tak mungkin dihentikan karena tidak ada satu presiden pun di Brasil berani menghentikannya. Ancamannya adalah dijatuhkan melalui demonstrasi oleh mereka yang sebelumnya menerima cash transfer itu. Tak terkecuali di Indonesia. Ujungnya adalah ”tsunami fiskal”.
Cara yang ampuh di tingkat nasional ini ditiru di tingkat daerah dengan cara dan inovasinya sendiri. Tak salah karena sesuatu yang berhasil ”sebaiknya” ditiru. Ada satu efek yang sama. Setiap waktu negara harus menggenjot pendapatan. Jika lewat pajak, pendapatan rakyat secara efektif turun dan menurunkan daya beli.
Di sisi lain, kenaikan pajak meningkatkan biaya ekonomi yang sifatnya disinsentif terhadap pertumbuhan ekonomi yang wajar atau alami. Jika lewat utang, melemahkan, bahkan meruntuhkan mata uang nasional, dengan efek kemerosotan ekonomi, apalagi jika sebagian besar barang modal dari impor dan masyarakat pun sudah tergantung impor.
Di Jakarta, ada wakil rakyat yang menjelaskan: ”Tidak apa, uang kita banyak, kok.” Itu uang rakyat, bukan uang pemda, apalagi uang calon kepala pemda. Daya saing Jakarta diketahui di bawah Singapura dan Kuala Lumpur, tak perlu ditambah dengan tambahan pungutan pajak dan sejenisnya karena secara efektif kian mendesak ke atas biaya ekonomi. Kebijakan perpajakan makin eksesif dan mendapat pembenarannya pula.
Pembelajaran
Politik Indonesia sudah memasuki era kedewasaan. Ada tiga indikator penting. Pertama, setiap pemilu berjalan dengan damai, tidak diwarnai kekerasan, dan tak terjadi kegaduhan.
Kedua, aktor-aktor politiknya rerata berpendidikan tinggi, setidaknya sarjana, bahkan ada yang PhD. Ketiga, teknologi modern membuat demokrasi yang berkualitas kian terfasilitasi.
Di Jakarta, ada wakil rakyat yang menjelaskan: ’Tidak apa, uang kita banyak, kok.’ Itu uang rakyat, bukan uang pemda, apalagi uang calon kepala pemda.
Pembelajaran kita adalah bahwa dimensi yang kita simak di depan mata hari ini yang harus dikoreksi karena punya potensi membusukkan demokrasi Indonesia. Kampanye yang menyuap publik, ”membeli di depan”, boleh dikata kampanye yang jahat.
Alasannya, menisbikan politik sebagai upaya menomorsatukan membangun kebaikan bersama daripada mendapatkan kemenangan dengan apa pun cara, melanggar UU, meremehkan konstitusi, dan membangkrutkan negara dengan penyuapan yang legal dan melembaga, dan di sisi lain secara efektif merusak nilai-nilai kerja keras, kemandirian, dan antikorupsi/antisuap.
Riant Nugroho
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia