Mengkritisi Wacana Anggaran Pendidikan Mengacu Pendapatan Negara

WACANA mengalihkan anggaran pendidikan dari belanja negara ke pendapatan negara merupakan langkah yang dapat menimbulkan sejumlah risiko signifikan bagi keberlanjutan dan kualitas sistem pendidikan. Wacana ini patut mendapatkan perhatian serius.

Kementerian Keuangan melempar wacana ketentuan alokasi wajib anggaran pendidikan yang mengacu pada belanja negara diubah menjadi mengacu pada pendapatan negara (koran.tempo.co).

Dalam beberapa tahun terakhir, upaya mencari sumber-sumber pendanaan alternatif guna mendukung sektor pendidikan memang semakin gencar disuarakan, seiring tekanan anggaran yang dihadapi pemerintah.

Namun, wacana ini juga memunculkan sejumlah pertanyaan krusial tentang implikasi jangka panjangnya terhadap keberlanjutan pendidikan di Indonesia.

Di Indonesia, alokasi anggaran pendidikan saat ini telah diatur melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan ketentuan minimal 20 persen dari total belanja negara, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.

Ini memberikan jaminan bahwa sektor pendidikan mendapat prioritas dalam perencanaan keuangan negara.

Namun, jika anggaran pendidikan mulai bergantung pada pendapatan negara di luar APBN, seperti dari pendapatan perusahaan milik negara (BUMN) atau royalti sumber daya alam, maka bisa menimbulkan sejumlah tantangan.

Salah satu risiko utama adalah ketidakstabilan sumber pendanaan. Pendapatan negara, terutama yang berasal dari sektor komoditas dan hasil usaha BUMN, sangat bergantung pada kondisi pasar global yang cenderung fluktuatif.

Ketika harga komoditas menurun atau performa BUMN merosot, pendapatan negara bisa turun drastis.

Hal ini akan berdampak pada sektor pendidikan, yang membutuhkan pendanaan stabil dan berkesinambungan untuk jangka panjang.

Ketidakpastian dalam pendanaan bisa menyebabkan pendidikan menjadi rentan terhadap krisis ekonomi, yang pada akhirnya memengaruhi kualitas pendidikan serta keberlanjutan program-program pendidikan di seluruh negeri.

Selain itu, dengan mengalihkan sumber anggaran pendidikan dari belanja negara ke pendapatan negara, ada risiko bahwa prioritas pembiayaan pendidikan bisa tersisih oleh sektor lain yang dianggap lebih mendesak.

Pendapatan negara dari sumber seperti BUMN dan royalti sumber daya alam biasanya juga dialokasikan untuk membiayai sektor-sektor penting lainnya, seperti infrastruktur dan kesehatan.

Dalam situasi di mana pendapatan negara tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan semua sektor, pendidikan bisa saja terpinggirkan.

Hal ini berbeda dengan alokasi dana pendidikan melalui APBN, yang memiliki jaminan alokasi minimum sesuai konstitusi.

Ketergantungan pada pendapatan negara juga berpotensi memperbesar kesenjangan pembiayaan pendidikan antarwilayah.

Daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam mungkin akan mendapatkan porsi lebih besar dalam hal pendanaan pendidikan, sedangkan daerah yang minim sumber daya akan kesulitan mendapatkan pendanaan memadai.

Kondisi ini bisa memperparah ketidaksetaraan akses dan kualitas pendidikan di Indonesia, terutama di daerah terpencil yang sering kali membutuhkan perhatian lebih besar.

Risiko lain yang muncul adalah minimnya kontrol pemerintah atas alokasi dana pendidikan jika sumbernya berasal dari pendapatan sektor non-APBN, seperti Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan swasta.

Perusahaan sering kali memiliki agenda tertentu dalam mendistribusikan dana CSR mereka, yang tidak selalu sesuai dengan kebutuhan pendidikan nasional secara menyeluruh.

Misalnya, perusahaan teknologi mungkin lebih memilih mendanai program-program pendidikan yang terkait dengan pengembangan teknis, sementara kebutuhan pendidikan dasar dan pengembangan guru mungkin terabaikan.

Jika perusahaan mulai mendominasi alokasi dana pendidikan, independensi sektor pendidikan bisa terancam.

Terakhir, penggunaan pendapatan dari sektor bisnis untuk membiayai pendidikan juga bisa menimbulkan potensi konflik kepentingan.

Perusahaan yang mendanai pendidikan mungkin akan berupaya memengaruhi kebijakan pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Misalnya, mereka bisa mendorong kurikulum yang mendukung kepentingan bisnis mereka, yang pada akhirnya membatasi otonomi institusi pendidikan dalam menyusun kebijakan yang terbaik bagi peserta didik.

Dengan berbagai risiko ini, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang jika anggaran pendidikan dialihkan dari belanja negara ke pendapatan negara.

Sumber pendanaan dari APBN memberikan stabilitas dan jaminan bahwa pendidikan tetap menjadi prioritas nasional, dengan alokasi dana yang konsisten dan merata.

Meskipun mencari sumber pendanaan alternatif adalah hal yang wajar dalam menghadapi tantangan ekonomi global, pendidikan sebaiknya tetap menjadi bagian inti dari anggaran negara yang mendapatkan perhatian penuh.

Dengan demikian, kualitas pendidikan dapat terus ditingkatkan tanpa mengorbankan stabilitas dan pemerataan akses bagi seluruh masyarakat.

Penulis: Waode Nurmuhaemin
Praktisi pendidikan, penulis buku dan novel pendidikan

Sumber

Kompas

Makpi Support
Makpi Support
Articles: 304