Dalam diskursus politik, impian tentang sebuah sistem yang bersih, adil, dan transparan selalu menjadi harapan banyak orang. Konsep-konsep seperti demokrasi yang ideal, pemerintahan yang jujur, serta keadilan sosial yang merata sering menjadi tujuan utama dari berbagai gerakan politik dan sosial di seluruh dunia. Namun, sejarah panjang umat manusia, dari masa kekhalifahan hingga era modern, menunjukkan bahwa politik yang bersih sering kali kalah dari politik yang kotor dan pragmatis. Seiring berjalannya waktu, banyak pemimpin yang memilih pragmatisme dan metode kontroversial untuk mempertahankan kekuasaan, mencapai tujuan, dan menciptakan stabilitas.
Politik pada Masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan
Ketika kita menelusuri kembali sejarah awal Islam, masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan memberikan contoh yang jelas mengenai perbedaan antara politik ideal dan pragmatisme politik. Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai seorang pemimpin yang teguh pada prinsip-prinsip keadilan, moralitas, dan integritas. Namun, pendekatan ini sering kali menempatkannya pada posisi yang sulit di tengah kondisi politik yang penuh dengan konflik dan ketidakstabilan. Akibatnya, ia menghadapi tantangan dari berbagai kelompok, termasuk Khawarij dan Muawiyah, yang akhirnya memunculkan perang saudara yang melemahkan kekhalifahan.
Sebaliknya, Muawiyah bin Abi Sufyan memilih pendekatan yang lebih pragmatis. Dengan kecerdikannya dalam berpolitik, ia tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang dianggap kotor, seperti propaganda, manipulasi, dan bahkan pembunuhan politik, untuk mencapai tujuannya. Muawiyah berhasil memusatkan kekuasaan, mendirikan Dinasti Umayyah, dan menciptakan stabilitas yang relatif di dunia Islam. Meskipun caranya sering kali dipandang kontroversial dan bertentangan dengan nilai-nilai moralitas, hasil akhirnya adalah sebuah pemerintahan yang lebih kuat dan tahan lama.
Pragmatisme Politik: Antara Efisiensi dan Moralitas
Muawiyah bukan satu-satunya pemimpin dalam sejarah yang memilih pragmatisme daripada moralitas. Seiring berjalannya waktu, banyak pemimpin yang menghadapi dilema serupa. Dalam dunia politik, realitas sering kali memaksa pemimpin untuk mengambil keputusan yang mungkin tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai ideal, namun diperlukan untuk menjaga stabilitas, keamanan, dan kelangsungan kekuasaan.
Contoh-contoh modern dari politik pragmatis ini dapat ditemukan di hampir setiap negara. Di banyak tempat, politik yang bersih dan ideal sering kali menjadi korban dari intrik, korupsi, dan manipulasi. Pemilu yang seharusnya menjadi wujud dari demokrasi yang murni sering kali dipenuhi dengan kecurangan, kampanye hitam, dan uang politik. Di sisi lain, pemimpin yang mampu bermain dalam ‘politik kotor’ sering kali lebih berhasil dalam mempertahankan kekuasaan dan menjalankan agenda mereka.
Politik Kotor dan Stabilitas
Salah satu alasan utama mengapa politik yang kotor dan pragmatis tampaknya lebih efektif adalah karena sifat dasar dari kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan, oleh banyak analis politik, dianggap sebagai sesuatu yang cenderung korup dan membutuhkan kontrol yang ketat. Pemimpin yang terlalu idealis dan tidak pragmatis sering kali gagal mengantisipasi tantangan-tantangan praktis di lapangan, yang akhirnya membuat mereka kehilangan kendali atau dikalahkan oleh lawan-lawan mereka yang lebih licik dan tidak terikat oleh moralitas.
Politik kotor, meskipun tampak tidak etis, sering kali membawa stabilitas. Di banyak negara, terutama yang mengalami konflik berkepanjangan atau transisi dari otoritarianisme ke demokrasi, pemimpin yang mengandalkan kekerasan, intimidasi, dan manipulasi sering kali lebih berhasil dalam menciptakan ketertiban dibandingkan dengan mereka yang mencoba untuk tetap berada dalam batas-batas moralitas yang ketat. Stabilitas ini, pada gilirannya, memberikan ruang bagi pembangunan ekonomi, konsolidasi kekuasaan, dan pengembangan infrastruktur.
Refleksi Zaman Modern
Saat ini, sistem politik di banyak negara menunjukkan bahwa pragmatisme masih menjadi alat yang ampuh bagi mereka yang berkuasa. Dalam sistem demokrasi sekalipun, pemimpin yang memahami cara bermain dalam sistem yang kompleks dan sering kali korup, lebih mungkin untuk bertahan dan berhasil dibandingkan dengan mereka yang mencoba untuk sepenuhnya bersih dan idealis. Dalam politik internasional, negara-negara yang menggunakan strategi pragmatis, seperti kompromi dalam diplomasi atau penindasan oposisi internal, sering kali lebih sukses dalam mencapai tujuan-tujuan nasional mereka.
Meskipun demikian, ini bukan berarti bahwa politik yang bersih sepenuhnya tidak mungkin atau tidak diinginkan. Tantangannya adalah bagaimana menggabungkan idealisme dengan pragmatisme, menciptakan sistem yang efektif namun tetap berlandaskan pada nilai-nilai moral yang kuat. Sejarah memberikan kita pelajaran bahwa politik adalah seni yang rumit dan sering kali tidak hitam-putih. Keseimbangan antara pragmatisme dan idealisme adalah kunci untuk mencapai tujuan yang lebih besar tanpa kehilangan esensi dari nilai-nilai moral dan etika.
Jadi Bagaimana Kesimpulannya?
Sejarah dan realitas politik mengajarkan kita bahwa sistem politik yang bersih sering kali tidak cukup untuk menghadapi tantangan praktis dari kekuasaan. Pragmatisme, bahkan dalam bentuknya yang paling kontroversial, sering kali lebih berhasil dalam mencapai stabilitas, kekuatan, dan kelangsungan pemerintahan. Namun, penting bagi kita untuk terus berusaha mencari keseimbangan, di mana idealisme moral dan pragmatisme politik dapat bersatu untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan stabil. Dalam konteks ini, politik kotor mungkin tampak lebih cocok untuk mempertahankan kekuasaan, namun politik bersih tetap menjadi tujuan yang harus diperjuangkan demi masa depan yang lebih baik.
Walaupun saya bukan ahli yang berkecimpung di bidang politik, akhirnya gatel juga ingin membahas masalah politik karena kondisi politik indonesia sekarang ini yang sudah keterlaluan. Namun jika melihat realitas sejarah ke belakang, saya menjadi maklum karena agar sukses berpolitik itu memang harus kotor. Sukses dalam arti bisa mempertahankan kekuasaan, bukan membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik.
Oleh: Sahrul Saleh
IT Analis & Web Desainer Profesional.
Anggota Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI)
[email protected]