Pasca-Pemilu 2024, apakah Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis atau sebaliknya.
Reformasi 1998 merupakan petaka bagi kekuasaan bertangan besi Orde Baru, sekaligus berkah bagi kelahiran demokrasi di Indonesia.
Dua kekuasaan sebelum Reformasi tidak menyukai demokrasi karena demokrasi dianggap memperlambat upaya menuju kemakmuran ekonomi. Soekarno membangun Demokrasi Terpimpin sejak mendeklarasikan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Indonesia pun terjungkal.
Sepuluh tahun sejak memegang tampuk kekuasaan, Soeharto membangun Demokrasi Etatistik, suatu pemikiran politik bahwa negara (baca: pemerintah) adalah satu-satunya pusat kekuasaan.
Setelah menjadi salah satu dari keajaiban ekonomi Asia Timur/The East Asian Miracle (Bank Dunia, 1993), Indonesia kemudian terjungkal pula.
Jatuhnya rezim antidemokrasi ini sejalan dengan koreksi Samuel Huntington atas nasihatnya sendiri, yakni agar negara berkembang meninggalkan demokrasi dan memilih tertib politik dengan cara apa pun (Political Order in Changing Societies, 1968).
Ia mengoreksi nasihat ini menjadi ”seharusnya negara berkembang menjadi demokratis karena gelombang ketiga adalah gelombang demokratisasi, dan hanya itu yang menjanjikan ufuk kemakmuran” (The Third Wave, 1991).
Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merasakan betapa tidak mudahnya menjadikan negara menjadi hanya salah satu dari banyak pusat kekuasaan dalam politik pluralis.
Pemerintah tampak keletihan bergulat dengan pusat kekuasaan yang lain, seperti kekuasaan ekonomi, sosial, dan bahkan pusat kekuasaan politik lain di luar negara, yaitu partai-partai politik, tepatnya para ketua partai.
Pasca-Pemilu 2024, apakah Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis atau sebaliknya.
Reformasi berubah menjadi hiruk-pikuk yang menjadikan Indonesia kehilangan kesempatan untuk pulih dan lari dengan cepat mengatasi ketertinggalannya. Bahkan, politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bambang ”Pacul” Wuryanto mengatakan, reformasi (”hanya”) membawa ”Korea-Korea” menjadi elite politik baru dan berkuasa dengan cara ”Korea”-nya, yang membuat demokrasi Indonesia terasa semrawut. Transisi menuju demokrasi tampaknya mulai tersesat ke arah mobokrasi.
Rasanya, hal ini bukan menjadi pikiran atau agenda bagi kekuasaan untuk diperbaiki arahnya. Memang, Joko Widodo (Jokowi) terpilih dengan cara sangat demokratis. Seorang warga biasa yang berhasil menjadi wali kota yang dicintai rakyat, menjadi gubernur yang membawa semangat baru, dan kemudian menjadi presiden—bahkan dengan modal yang dapat dikatakan ”nol”, terutama utang kepada sponsor.
Memang, sejak memimpin Indonesia, Jokowi ditengarai menjalankan sistem politik yang relatif tak teramat memuja demokrasi, terutama demokrasi liberal sebagaimana yang cenderung dibawa pendahulunya. Tak heran, pada Juni 2020, YLBHI menyebut ada 27 kebijakan pemerintah yang nondemokratis selama 2014-2020.
Bahkan, di Yogyakarta, pada Desember 2023, para akademisi mengundang Bilveer Singh, dosen dari negara dengan demokrasi yang dikoreksi, yaitu Singapura, untuk menegaskan potensi defisit demokrasi di Indonesia. Namun, faktanya Jokowi tetap dipercaya masyarakat.
Pada Desember 2023, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi dengan hasil approval rating terhadap Jokowi meningkat menjadi 76 persen, dari sebelumnya 70 persen.
Tidak jauh berbeda, survei Litbang Kompas pada Desember 2023 memperlihatkan kepuasan publik terhadap pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebesar 73,5 persen.
Demokrasi dalam tantangan
Jakob Oetama punya premis yang bijak tak terperi: demokrasi adalah second best sistem politik di dunia. Nomor satunya? ”Tidak ada”. Demikian jawab beliau, suatu ketika.
Menjadi semakin nyata, ketika negara di bagian utara Indonesia, Singapura, negara yang tetap menjaga agar tidak terlalu demokratis, terus kuat. Bahkan cenderung makin mantap mengendalikan ekonomi Indonesia. China, yang notabene bukan negara demokrasi, bahkan menjadi adidaya baru yang menggetarkan bukan saja AS, melainkan seluruh dunia.
Sebelumnya, negara asal demokrasi, Inggris, dipimpin Margaret Hilda Roberts atau Margareth Thatcher, tiga periode berturut-turut (1979-1990) dengan ”tangan besi”. Hasilnya, membuat Inggris digdaya.
Jerman berturut-turut dipimpin Kanselir Angela Dorothea Kasner atau Andrea Merkel selama 16 tahun (2005-2021), dengan kepemimpinan yang ”keras”. Hasilnya, Jerman mantap jadi sentrum Uni Eropa.
Ada fakta yang tidak kalah fenomenal. Mata uang terkuat di dunia justru tidak ditemukan di negara demokrasi, tetapi di negara nondemokrasi di Timur Tengah, yakni dinar Kuwait, dinar Bahrain, rial Oman, dan dinar Jordania.
Bagaimana dengan demokrasi di Indonesia? Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) mengalami kenaikan tiga tahun beruntun sejak 2020. Pada 2022, IDI berada di titik tertinggi di level 80,41 poin. Sebagai catatan, semakin tinggi tingkat IDI, berarti tingkat perkembangan demokrasi Indonesia semakin baik, begitu pula sebaliknya. Level IDI berada di atas 80 berarti ”baik”, 60-80 ”sedang”, kurang dari 60 artinya ”buruk”. Indonesia pertama kali menyentuh level tingkat demokrasi baik pertama kali pada 2022.
Reformasi berubah menjadi hiruk-pikuk yang menjadikan Indonesia kehilangan kesempatan untuk pulih dan lari dengan cepat mengatasi ketertinggalannya.
Sementara itu, Indeks Demokrasi versi Economist Intelligence Unit (EIU) menyebutkan bawa indeks demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy) dengan skor 6,71 (2022), setelah mencapai 7,03 (2015)—meski masih mengalahkan skor di era SBY 6,41 (2006) dan 6,95 (2014).
Defisit demokrasi yang terjadi dengan terkendalanya mekanisme check and balance yang efektif dari lembaga legislatif ke eksekutif—karena adanya ”kolaborasi” antara eksekutif dan legislatif—tak menurunkan kinerja perekonomian Indonesia.
Laporan resmi menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang memiliki pertumbuhan terkuat dan persisten tinggi.
Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan di atas 5 persen dalam enam kuartal terakhir, di tengah situasi perekonomian global yang masih mendapatkan tekanan akibat eskalasi geopolitik dan debt distress atau kesulitan karena masalah utang di banyak negara berkembang dan maju.
Inflasi Indonesia pada Mei 2023 sebesar 4,0 persen (yoy), lebih baik dibandingkan dengan negara-negara maju, seperti Italia, Australia, Jerman, dan Singapura. Neraca perdagangan per Mei 2023 menunjukkan surplus tipis, 0,44 miliar dollar AS.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengasumsikan pertumbuhan 2024 sebesar 5,2 persen, sementara Center of Reform on Economic (CORE) mengoreksi di kisaran 4,9-5 persen pada 2024.
Prediksi pemilu
Tanggal 14 Februari 2024 dihelat pemilu presiden (pilpres) dan parlemen. Tentu saja, yang paling menentukan adalah pilpres. Pada kondisi seperti ini, pertanyaan pentingnya: siapa yang akan terpilih menjadi presiden? Pengusung demokrasi penuh, atau yang tak terlalu mengedepankan demokrasi?
Tampaknya, pemenangnya—baik dengan satu kali putaran maupun dua putaran—adalah yang kedua. Ada dua alasan.
Pertama, masyarakat kebanyakan tidak melihat demokrasi sebagai solusi. Reformasi melahirkan sistem demokrasi berkecacatan, termasuk ”Koreanisasi” elite dari sistem politik, yang mendangkalkan demokrasi itu sendiri. Penguasaan aset ekonomi oleh kelompok tertentu terus berlanjut, bahkan dengan aktor yang sama.
Korupsi tidak kunjung berhenti. Dan, para cendekiawan yang baik terus diletakkan di pinggiran. Bahkan elite politik dan partai pengusung demokrasi pun memilih untuk tidak lagi mengibarkan panji kedemokrasiannya. Sebab, berdiri di luar kekuasaan ibarat berdiri menggigil di tengah padang berhujan tidak boleh masuk rumah, sementara yang lain boleh berada di dalam rumah.
Kedua, masyarakat awam, sekitar 78,3 persen dari pemilih, tidak menjadikan demokrasi sebagai pertaruhan penting.
Menggunakan Laporan Bank Dunia, Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class (2016), komposisi masyarakat Indonesia adalah 1,2 persen kelas atas, dan 20,5 persen kelas menengah. Sisanya, 78,3 persen, kelompok ”menuju kelas menengah” atau ”kelas menengah bawah”, rentan, dan miskin.
Laporan Bank Indonesia (9/1/2024) menyebutkan bahwa kondisi ekonomi pada saat ini menyebabkan tingkat tabungan kelompok pengeluaran yang tergolong kelas menengah bawah itu ikut merosot.
Pada November 2023, kelompok masyarakat ini masih bisa menyisihkan 15,7 persen dari pendapatannya untuk ditabung. Namun, Desember 2024, tingkat tabungan mereka merosot menjadi 14,6 persen dari pendapatan.
Ini adalah kelompok yang hidup ”dari hari ke hari”; kelompok ”mantab”, makan tabungan; kelompok yang belum menjadikan demokrasi sebagai agenda. Demokrasi belum menjadi ufuk harapan. Terkecuali terjadi krisis yang luar biasa, seperti di tahun 1998.
Bahkan elite politik dan partai pengusung demokrasi pun memilih untuk tidak lagi mengibarkan panji kedemokrasiannya.
Agenda Pasca-Pemilu 2024
Pasca-Pemilu 2024, apakah Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis atau sebaliknya. Arah jawaban mungkin membuat kering kerongkongan: yang kedua. Karena itu, yang penting apa agendanya.
Agendanya adalah apakah realitas tersebut menjadi harga yang pantas dibayar dalam bentuk hadirnya Indonesia dengan janji kemerdekaan yang terpenuhi, seperti yang dicatat pada Pembukaan UUD 1945 paragraf keempat, atau tidak.
Janji tentang Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Indonesia dengan kesejahteraan umum yang maju; Indonesia yang cerdas; Indonesia yang kelas dunia. Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Indonesia yang berkeadilan sosial.
Inilah agenda bagi yang terpilih menjadi presiden Indonesia 2024-2029. Jika itu dapat dicapai, demokrasi tampaknya secara pragmatis tidak perlu menjadi barang yang dicemaskan, akan hadir penuh, dan itu artinya pilihan yang jauh lebih baik, atau hadir dalam defisit.
Tentu saja, pertukaran yang diharapkan tidak seperti di masa lalu; pertukaran ”Menunggu Godot”-nya Samuel Beckett. Tak kunjung datang.
Penulis
Riant Nugroho, Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia, Pengajar Pascasarjana Ilmu Pemerintahan FISIP Unjani
Artikel ini telah tayang di harian Kompas.id