Ilmu Kebijakan Publik dalam Bingkai Ilmu Sosial yang Terintegrasi
Pada kamis 21 September 2023, Indonesia serta komunitas pembelajar ilmu kebijakan publik di Indonesia patut senang dan berbangga karena telah bertambah satu lagi Guru Besar dalam bidang ilmu kebijakan publik, Profesor Doktor Antun Mardiyanta. Beliau merupakan Guru Besar kebijakan publik yang berasal dari Universitas Airlangga. Dalam acara pengukuhannya sebagai Guru Besar di Gedung Garuda Mukti, Universitas Airlangga, Prof. Antun menyampaikan pidato Guru Besarnya yang berjudul “Tata Kelola Masalah Publik: Suatu Ancangan bagi Praktik Analis Kebijakan di Indonesia”.
Sekilas, tidak ada yang istimewa dengan pengukuhan Guru Besar di bidang kebijakan publik kali ini. Sebelumnya telah ada beberapa Guru Besar dikukuhkan dalam bidang yang sama di berbagai Universitas di Indonesia. Namun, ada satu hal yang istimewa dan patut mendapat perhatian dari komunitas pembelajar kebijakan publik dan pemerintah Indonesia. Guru Besar kebijakan publik yang dilantik pada kamis itu ialah seorang sosok yang bukan saja menguasai secara mendalam dan sepanjang karirnya memperjuangkan ide tentang ilmu kebijakan publik sebagaimana yang diperkenalkan Harold D. Lasswell sekitar 70 tahun silam, tetapi juga seorang ilmuwan yang mempunyai komitmen memperjuangkan dan meneruskan ide ilmu sosial yang terintegrasi (integrated social-sciences) untuk dimasukan dalam ilmu kebijakan publik di Indonesia. Dua kombinasi ini, tidak ditemukan pada sosok ilmuwan kebijakan publik lain di Indonesia. Meskipun berasal dan lulus dari program administrasi publik yang secara umum cenderung mengabaikan teori-teori sosial, berbekal pengalaman dan bacaan yang luas, beliau mampu meramu suatu pemikiran yang matang tentang ilmu kebijakan yang terintegrasi dengan teori-teori sosial.
Dalam bingkai pemikiran itu, topik yang diangkat dalam pidato Guru Besar beliau pada kamis 21 September itu menjadi sangat istimewa. Meskipun sekilas topik itu cukup umum, apalagi bagi para pembelajar di lingkup ilmu politik dan kebijakan. Namun, di tangan Prof Antun, topik itu menjadi sangat istimewa tidak saja karena alasan relevansinya dengan kebutuhan pemerintah dan analis kebijakan secara umum tetapi juga karena diperbincangkan dari sudut pandang epistimologis sehingga problem tata kelola masalah publik menjadi sangat jelas bagaimana cara mendekatinya.
Ilmu Kebijakan Publik dalam Bingkai Ilmu Sosial yang Terintegrasi
Ilmu kebijakan (policy science) merupakan disiplin ilmu baru yang diperkenalkan oleh Harold D. Lasswell di pertengahan abad kedua puluh. Dalam sejumlah publikasinya dari tahun 1940an sampai dengan 1970an, terutama dalam bukunya bersama Daniel Lerner “The Policy Sciences: Recent Development in Scope and Method”, Laswell memperkenalkan dan memperjuangkan lahirnya suatu ilmu yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented) yang kemudian disebutnya sebagai policy science (Lerner & Lasswell, 1951).
Latar belakang dari ide lahirnya suatu ilmu yang berorientasi pada kebijakan itu sangat kompleks. Namun, dari segi tujuan, ilmu baru itu diharapkan dapat menjembatani pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh ilmuwan sosial dengan masalah praktis yang dihadapi oleh pembuat kebijakan pemerintah dan publik secara umum. Harapannya bahwa ilmu kebijakan mampu menyediakan pemerintah, aktor-aktor kebijakan luar pemerintah, dan publik secara umum suatu pengetahuan yang relevan dalam menghadapi masalah publik dan meningkatkan kepentingan publik. Karena itu, ilmu kebijakan menurut Lasswell tidak hanya bertujuan untuk kepentingan ilmu itu sendiri tetapi yang lebih penting ialah untuk menyediakan pengetahuan yang relevan untuk kebijakan publik dalam misi dan tujuan mengatasi masalah publik.
Yang menjadi penekanan Lasswell bahwa dalam tujuan itu seharusya ilmuwan kebijakan tidak saja mendasarkan pada pengetahuan empiris (empirical oriented) tetapi juga mendasarkan pada prinsip demokrasi (value oriented). Dalam konteks pemikiran itu, ilmu kebijakan tidak bertujuan menghasilkan teknokrat atau penyaran kebijakan publik (policy advisor) teknokratis tetapi menghasilakan policy advisor yang sekaligus juga berfungsi sebagai fasilitator kebijakan publik. Sejak awal Lasswell telah mengantisipasi bahwa ilmu kebijakan tidak hadir untuk melepaskan beberapa aspek demokrasi dan mengagungkan penalaran dan analisis empiris teknokratis, sebaliknya ilmu kebijakan itu hadir untuk memperkuat demokrasi (policy science for democracy).
Dalam konteks pemikiran itu, Prof. Antun meramu bagaimana pemikiran ilmu kebijakan itu dapat dielaborasi dengan pemikiran ilmu-ilmu sosial terintegrasi yang dikonsepsikan oleh Maha Guru FISIP Unair, Profesor Soetandyo Wignjosoebroto. Salah satu yang menjadi perhatian Prof. Antun ialah ilmuwan dan analis kebijakan harus peka terhadap perspektif teoritis dari beragam aktor kebijakan atas suatu masalah atau ketika ingin menyelesaikan suatu masalah. Ketika melakukan pembacaan atas suatu isu atau masalah, ilmuwan atau analis kebijakan pantang hanya mendasarkan pandangannya pada satu perspektif teoritis semata. Secara umum, ada tiga perspektif teoritis yang selalu ditekankan oleh Prof. Antun yaitu perspektif analitis-teknis, perspektif interpretatif-politis, dan perspektif diskursif-kritis. Dalam bingkai pemikiran itu, Prof. Antun secara terus menerus menekankan bahwa peran analis kebijakan bukan menawarkan rekomendasi kebijkan terbaik tetapi lebih sebagai fasilitator kebijakan publik.
Tata Kelola Masalah Publik: Suatu Ancangan bagi Praktik Analis Kebijakan di Indonesia
Menurut Prof. Antun, tata kelola masalah publik seharusnya tidak dilihat dalam perspektif tunggal positivistik yang objektif dan rasional semata. Tetapi nilai (value) perlu menjadi perhatian utama. Karena itu, tata kelola masalah publik harus dilihat dari beragam perspektif. Prof Antun mengutip Prof. Soetandyo Wignjosoebroto bahwa “semua pendekatan, perspektif dan tradisi intelektual perlu diajarkan di ruang-ruang kelas. Dengan melakukan hal tersebut Universitas dan lembaga pembina dapat menjadi wadah bagi analis kebijakan untuk menumbuhkembangkan kepekaan mereka dalam meramu masalah-masalah kebijakan yang ada dalam rangka memberi pertimbangan bagi pembuat keputusan”.
Menurut Prof. Antun, konsep kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) bukanlah suatu solusi sebagaimana menjadi mantra dan didewakan oleh para analis kebijakan muda dewasa ini. Menurutnya, “analisis kebijakan yang demikian, suka atau tidak suka sesungguhnya telah berperan dalam dehumanisasi proses kebijakan publik, sebab objektivitas telah menggantikan subjektivitas normatif manusia dalam pertimbangan utama pengambilan keputusan”. Beliau melanjutkan bahwa “konsep ‘bukti’ dalam kebijakan publik pun sangat bersifat politis, di mana satu kelompok memaknai ‘bukti’ secara berbeda dengan kelompokk lain di dalam suatu komunitas kebijakan. Artinya, konsep ‘bukti’ pun sangat berkait erat dengan nilai yang dianut oleh individu atau kelompok (value-laden). Sehingga berdasarkan pada bukti saja tidak cukup. Diperlukan nilai (value) yang memberikan pertimbangan-pertimbangan moral, diperlukan pula wacana (discourse) yang menjadi instrumen penyampaian aspirasi kebjakan. Dengan mempertimbangkan nilai dan wacana, proses kebijkan publik menjadi inklusif, secara khusus bagi mereka yang selama ini termarjinalkan dalam suatu arena kebijakan”.
Dalam konteks pemikiran itu, Prof Antun menekankan peran analis kebijakan lebih pada fasilitator sekaligus penggerak (enabler) bagi mereka yang menjadi korban konten maupun proses kebijakan dengan mengingatkan yang berkuasa atau penguasa. Untuk itu, analis kebijkan perlu memainkan peran yang berorientasi pada klien demi tujuan pragmatis sekaligus peran kritisnya menantang ketidaksetaraan dan marjinalisasi. Dalam peran itu, ia menambahkan bahwa seorang analis kebijakan harus mampu menyesuaikan pilihan kosakata, narasi dan retorika yang dibangun dalam mengadvokasi kebijakan dengan bahasa birokrasi sehingga dapat dipahami dan diterima oleh mereka.
Praktik kebijakan publik yang demikian akan hadir hanya jika ilmu kebijakan publik yang diajarkan di kampus-kampus dan di tempat pelatihan-pelatihan para birokrat tidak membatasi diri pada pengetahuan tunggal positivistik empiris yang mengagungkan konsep evidence-based policy semata. Sebaliknya, praktik itu hanya dapat hadir dalam bingkai pengetahuan keberagaman epistimologis atas ilmu kebijakan. Sementara itu, pengetahuan ini hanya dapat diperoleh dalam konteks Ilmu kebijakan publik dalam bingkai ilmu sosial terintegrasi.