POLICY BRIEF
Konsep Turut Serta dalam Tindak Pidana Berbasis Teknologi Informasi: Analisis Empiris Kesenjangan antara Norma Hukum dan Praktik Penegakan terhadap Kejahatan Digital
Deddi Fasmadhy
Pascasarjana – UIN Syekh Wasil Kediri – East Java – Indonesia
Executive Summary
Perkembangan tindak pidana berbasis teknologi informasi di Indonesia menunjukkan pola kejahatan yang semakin kompleks, terorganisir, dan berbasis peran. Kejahatan siber tidak lagi dilakukan oleh pelaku tunggal, melainkan melibatkan jaringan aktor dengan fungsi yang terdistribusi, seperti perancang sistem, pengendali teknis, penyedia infrastruktur digital, fasilitator profesional, hingga pihak yang menikmati hasil kejahatan. Literatur kriminologi siber global menunjukkan bahwa jaringan kejahatan ini umumnya berbentuk loose networks dengan pembagian kerja fleksibel, bukan struktur hierarkis klasik sebagaimana kejahatan terorganisir konvensional (Leukfeldt et al., 2017; Paquet-Clouston et al., 2023).
Penelitian empiris terhadap jaringan cybercrime lintas negara memperlihatkan adanya kategori aktor inti (core members), fasilitator profesional (enablers), pekerja periferal (workforce at the periphery), dan money mules yang masing-masing memberikan kontribusi fungsional terhadap terjadinya tindak pidana, meskipun tidak selalu terlibat langsung dalam perbuatan utama (Maimon et al., 2019; Bekkers et al., 2024). Dalam ekosistem kejahatan digital, aktor-aktor tidak langsung seperti penyedia layanan teknis, pengembang malware, atau pengelola sistem pembayaran ilegal sering kali menjadi elemen krusial bagi keberhasilan kejahatan, meskipun perannya bersifat tidak kasat mata (Dupont et al., 2019; Lazarus, 2024).
Kondisi tersebut menuntut penerapan konsep pertanggungjawaban pidana yang tidak semata-mata berfokus pada pelaku fisik, tetapi juga pada kontribusi fungsional setiap aktor. Secara normatif, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) telah merespons tantangan ini dengan merekonstruksi konsep turut serta melalui pengaturan mengenai pelaku, penganjur, dan pembantu sebagaimana diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 23 KUHP. Pengaturan ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak mensyaratkan kehadiran fisik pelaku, melainkan dapat didasarkan pada peran dan kontribusi dalam terjadinya tindak pidana.
Namun demikian, temuan empiris menunjukkan bahwa praktik penegakan hukum di Indonesia masih cenderung berorientasi pada pelaku langsung dan perbuatan fisik. Pola pembuktian yang konvensional menyebabkan peran aktor tidak langsung dalam kejahatan digital sering kali luput dari konstruksi dakwaan maupun pertimbangan hakim. Fenomena serupa juga ditemukan di berbagai yurisdiksi lain, khususnya dalam penanganan kejahatan berbasis kripto, platform terdesentralisasi, dan kejahatan lintas batas, di mana anonimitas, pembagian kerja, dan kompleksitas bukti digital menjadi tantangan utama (Ivanova, 2023; Shi, 2025; Pambudi et al., 2025).
Kesenjangan antara norma hukum (das sollen) dan praktik penegakan (das sein) ini berpotensi melemahkan efektivitas pembaruan hukum pidana nasional. Tanpa dukungan hukum acara pidana yang adaptif dan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam memahami ekosistem kejahatan digital, pembaruan KUHP berisiko menjadi sekadar law in the books. Oleh karena itu, policy brief ini menawarkan rekomendasi kebijakan untuk menjembatani kesenjangan tersebut melalui harmonisasi regulasi, penguatan hukum acara pidana—termasuk optimalisasi alat bukti elektronik sebagaimana dirumuskan dalam RKUHAP—serta peningkatan kapasitas aparat penegak hukum berbasis pemahaman jaringan dan peran fungsional dalam kejahatan siber.
Pendahuluan
Tindak pidana berbasis teknologi informasi memiliki karakteristik yang berbeda secara fundamental dari kejahatan konvensional. Kejahatan digital bersifat non-fisik, lintas batas yurisdiksi, terdesentralisasi, dan bergantung pada sistem teknologi informasi yang kompleks. Relasi antara pelaku dan korban tidak lagi menuntut kedekatan ruang dan waktu, karena kejahatan dapat dilakukan secara simultan dari berbagai lokasi dengan memanfaatkan infrastruktur digital global (Maimon et al., 2019; Stratton et al., 2017). Dalam konteks ini, kejahatan siber berkembang sebagai bagian dari ekosistem kejahatan digital yang melibatkan beragam aktor dengan fungsi yang berbeda, mulai dari pelaku inti, fasilitator teknis (enablers), penyedia infrastruktur, hingga pihak yang memperoleh manfaat ekonomi dari kejahatan tersebut (Leukfeldt et al., 2017; Dupont et al., 2019).
Karakteristik tersebut menyebabkan konsep pertanggungjawaban pidana konvensional yang menekankan pelaku langsung dan perbuatan fisik menjadi semakin tidak memadai. Literatur hukum pidana dan kriminologi kontemporer menegaskan bahwa kejahatan siber harus dipahami sebagai crime of cooperation, yakni bentuk kriminalitas kolaboratif yang lahir dari kontribusi kolektif berbagai aktor dengan tingkat keterlibatan dan spesialisasi peran yang berbeda-beda (Wright & McMahan, 2011; Ali et al., 2023). Dalam kejahatan digital, pembagian kerja, anonimitas, serta penggunaan platform dan teknologi tertentu mengaburkan batas klasik antara pelaku utama, penganjur, dan pembantu, sehingga menuntut perluasan doktrin turut serta yang lebih berbasis kontribusi fungsional (Paquet-Clouston et al., 2023; Lusthaus, 2024).
Merespons perkembangan tersebut, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) merekonstruksi konsep turut serta secara lebih sistematis dengan mengatur kategori pelaku, penganjur, dan pembantu dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 23 KUHP. Pengaturan ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak hanya ditentukan oleh pelaksanaan langsung suatu perbuatan, tetapi juga oleh peran dan kontribusi seseorang dalam terwujudnya tindak pidana. Secara normatif, pendekatan ini sejalan dengan kecenderungan global untuk menyesuaikan konsep actus reus dan mens rea dalam menghadapi kejahatan berbasis teknologi informasi yang kompleks dan tidak selalu menampilkan pelaku fisik di garis depan (Ivanova, 2023; Shi, 2025).
Namun demikian, berbagai kajian menunjukkan bahwa pembaruan normatif dalam hukum pidana substantif sering kali tidak diikuti oleh adaptasi hukum acara pidana dan praktik penegakan hukum. Tantangan pembuktian digital, kesulitan atribusi pelaku, serta keterbatasan kapasitas forensik digital menyebabkan penegakan hukum masih berfokus pada pelaku langsung, sementara aktor tidak langsung—seperti penyedia infrastruktur, pengembang malware, atau pengelola platform—sering luput dari pertanggungjawaban pidana (Amoo et al., 2024; Horgan et al., 2021). Kondisi ini juga tercermin dalam diskursus internasional mengenai perlunya kerja sama lintas negara dan harmonisasi prosedur pembuktian untuk menanggulangi kejahatan siber yang bersifat transnasional (Spiezia, 2022; Aldoghmi, 2024).
Oleh karena itu, penguatan konsep turut serta dalam kejahatan digital tidak dapat berhenti pada tataran perumusan norma dalam KUHP. Diperlukan dukungan hukum acara pidana yang adaptif, standar pembuktian yang mampu menjangkau peran fungsional pelaku, serta kebijakan penegakan hukum yang progresif dan berbasis pemahaman ekosistem kejahatan digital. Urgensi ini bersifat akademik sekaligus praktis, karena keberhasilan penanggulangan kejahatan digital sangat ditentukan oleh kemampuan sistem hukum untuk menjangkau seluruh spektrum kontribusi dalam jaringan kejahatan siber.
Gambaran Penelitian
Pendekatan Penelitian
Policy brief ini menggunakan pendekatan empiris (socio-legal) dengan fokus pada hukum dalam praktik (law in action). Pendekatan ini menempatkan hukum tidak hanya sebagai teks normatif (law in the books), tetapi sebagai institusi sosial yang bekerja melalui proses penyidikan, penuntutan, pembuktian, dan pemidanaan. Dalam konteks kejahatan berbasis teknologi informasi, pendekatan socio-legal dipandang relevan karena efektivitas pengaturan cybercrime sangat ditentukan oleh bagaimana norma hukum diterjemahkan dan diterapkan oleh aparat penegak hukum (Maimon et al., 2019; Brown, 2015).
Berbagai studi internasional menunjukkan bahwa regulasi cybercrime yang tampak memadai secara normatif sering kali menghadapi hambatan serius pada tataran implementasi, terutama terkait atribusi pelaku, pembuktian digital, dan pengenaan pertanggungjawaban pidana terhadap aktor tidak langsung (Porcedda, 2023; Amoo et al., 2024). Oleh karena itu, analisis yang mengaitkan norma hukum pidana dengan praktik penegakan menjadi krusial untuk menilai sejauh mana pembaruan hukum—termasuk konsep turut serta—mampu menjawab kompleksitas kejahatan digital.
Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini memanfaatkan empat sumber data utama.
Pertama, analisis putusan pengadilan terkait tindak pidana berbasis teknologi informasi. Putusan pengadilan diperlakukan sebagai data empiris yang merefleksikan bagaimana hakim mengonstruksi peran pelaku, menilai alat bukti elektronik, serta menerapkan konsep pertanggungjawaban pidana dalam perkara siber. Pendekatan ini sejalan dengan penelitian komparatif yang menelaah praktik peradilan dalam menghadapi kejahatan berbasis data dan efek sistemiknya (Šupa et al., 2023; Porcedda, 2023).
Kedua, kajian praktik penyidikan dan penuntutan perkara siber. Analisis ini mencakup pola penyidikan, perumusan dakwaan, serta hambatan struktural yang dihadapi aparat penegak hukum, khususnya terkait keterbatasan kapasitas forensik digital dan kesulitan membuktikan keterlibatan aktor tidak langsung. Studi empiris di berbagai yurisdiksi menunjukkan bahwa tantangan penyidikan dan penuntutan merupakan faktor utama rendahnya efektivitas penegakan hukum cybercrime (Paoli et al., 2020; Bekkers et al., 2025).
Ketiga, telaah normatif terhadap peraturan perundang-undangan, terutama KUHP Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) terbaru. Analisis ini difokuskan pada pengaturan konsep turut serta (Pasal 20–23 KUHP), pengakuan alat bukti elektronik, serta kewajiban penguraian peran pelaku dalam proses peradilan pidana. Pendekatan ini sejalan dengan studi komparatif yang menekankan pentingnya sinkronisasi antara hukum pidana materiil dan hukum acara pidana dalam penanganan kejahatan siber (Ivanova, 2023; Gul et al., 2025).
Keempat, studi literatur jurnal ilmiah dan laporan kebijakan, baik internasional maupun nasional. Literatur ini digunakan untuk memetakan tren global kejahatan siber, model jaringan pelaku, tantangan pembuktian digital, serta praktik terbaik (best practices) dalam reformasi hukum dan kebijakan penegakan cybercrime. Laporan lembaga internasional seperti UNODC dan Europol juga digunakan untuk memberikan konteks empiris mengenai perkembangan modus operandi dan ekosistem kejahatan siber (UNODC, 2022; Europol, 2023).
Kerangka Analisis
Pendekatan socio-legal dalam policy brief ini memungkinkan analisis kesenjangan antara das sollen dan das sein. Di satu sisi, KUHP baru secara normatif telah memperluas konsep turut serta dan membuka ruang pertanggungjawaban pidana berbasis kontribusi fungsional. Di sisi lain, praktik penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dalam perkara siber masih cenderung berorientasi pada pelaku langsung dan perbuatan fisik. Kesenjangan inilah yang dianalisis secara empiris untuk menilai efektivitas pembaruan hukum pidana dan merumuskan rekomendasi kebijakan yang lebih aplikatif, sebagaimana juga ditemukan dalam berbagai studi lintas negara (Nwafor, 2024; Gottschalk, 2019).
Gambaran Umum Temuan
Hasil kajian empiris menunjukkan adanya kesenjangan yang konsisten antara pembaruan norma hukum pidana dan praktik penegakan hukum terhadap tindak pidana berbasis teknologi informasi di Indonesia. Kesenjangan ini tampak dalam tiga pola temuan utama.
1. Dominasi Pendekatan Pelaku Langsung dalam Penegakan Hukum
Penelitian menunjukkan bahwa aparat penegak hukum masih dominan menggunakan pendekatan yang berfokus pada pelaku langsung (direct perpetrator), yaitu individu yang secara teknis dapat diidentifikasi sebagai pengguna akun, pemegang perangkat, atau pihak yang melakukan eksekusi terakhir suatu kejahatan digital. Pendekatan ini relatif mengabaikan struktur jejaring dan pembagian peran yang menjadi karakter utama kejahatan siber modern.
Literatur kriminologi digital menegaskan bahwa kejahatan siber umumnya dijalankan melalui jaringan yang longgar namun fungsional, melibatkan aktor dengan spesialisasi berbeda seperti organizer, technical executor, enablers, money mules, dan financial facilitators (Leukfeldt et al., 2017; Paquet-Clouston et al., 2023). Namun, dalam praktik di Indonesia, konstruksi hukum pidana masih cenderung diarahkan pada subjek yang paling mudah dilacak secara teknis, bukan pada keseluruhan struktur kejahatan. Hal ini sejalan dengan temuan Brown (2015) yang menyebutkan bahwa keterbatasan kapasitas forensik dan tekanan pembuktian sering mendorong penyidik untuk “menyederhanakan” struktur pelaku dalam perkara siber.
Akibatnya, pendekatan pelaku langsung ini berpotensi mengurangi efektivitas penegakan hukum dan melemahkan efek jera, karena aktor kunci yang mengendalikan atau merancang kejahatan digital justru berada di luar jangkauan pertanggungjawaban pidana.
2. Peran Penganjur dan Pembantu Tidak Terefleksi Secara Eksplisit dalam Dakwaan
Temuan kedua menunjukkan bahwa peran penganjur dan pembantu dalam kejahatan digital sering kali tidak diuraikan secara eksplisit dalam surat dakwaan. Padahal, KUHP Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) secara normatif telah mengatur kategori tersebut melalui Pasal 21 (penganjur) dan Pasal 22–23 (pembantu) sebagai bagian dari konsep turut serta.
Dalam praktik, berbagai aktor penting dalam kejahatan digital—seperti pengembang malware, penyedia infrastruktur digital, perekrut pelaku lain, atau fasilitator keuangan—sering kali tidak dikualifikasikan secara tegas sebagai penganjur atau pembantu. Kesulitan ini dipengaruhi oleh karakter kejahatan digital yang laten, terfragmentasi secara spasial, serta penggunaan anonimitas, enkripsi, VPN, dan identitas palsu (Klasén et al., 2024; Rakha, 2024).
Studi Bekkers et al. (2024) menunjukkan bahwa bahkan dalam sistem hukum yang relatif maju, aparat penegak hukum kerap mengalami kesulitan memetakan dan membuktikan peran non-langsung dalam jaringan cybercrime. Dalam konteks Indonesia, keterbatasan koordinasi lintas lembaga dan lemahnya panduan operasional mengenai konstruksi dakwaan berbasis peran turut memperparah kondisi ini. Akibatnya, penganjur dan pembantu sering “tenggelam” dalam konstruksi pelaku tunggal atau sama sekali tidak terangkat dalam proses peradilan pidana.
3. Pembaruan Norma KUHP Baru Belum Terinternalisasi dalam Praktik Pembuktian
Temuan ketiga menunjukkan bahwa pembaruan norma dalam KUHP baru belum sepenuhnya terinternalisasi dalam praktik pembuktian perkara siber. Meskipun regulasi telah mengakui perluasan konsep turut serta dan penggunaan alat bukti elektronik, praktik penegakan hukum masih membawa warisan kerangka pembuktian analog yang tidak sepenuhnya kompatibel dengan karakter bukti digital.
Penelitian menunjukkan bahwa aparat penegak hukum masih menghadapi kendala dalam pengelolaan alat bukti elektronik, mulai dari pengumpulan, chain of custody, autentikasi, hingga presentasi bukti di persidangan (Luhina et al., 2025; Lee, 2025). Kondisi ini menyebabkan keraguan dalam menerapkan konstruksi peran fungsional pelaku, karena pembuktian keterkaitan antara peran non-langsung dan terjadinya tindak pidana dianggap berisiko secara hukum.
Fenomena ini sejalan dengan temuan global bahwa laju pembaruan regulasi cybercrime sering kali lebih cepat dibandingkan adaptasi praktik penegakan hukum dan budaya pembuktian di pengadilan (Kapinus, 2022; Ivanova, 2024). Di Indonesia, keterbatasan pelatihan, sarana forensik digital, serta ketiadaan pedoman terstandardisasi memperlebar jarak antara teks norma dan realitas praktik.
Implikasi Umum Temuan
Ketiga temuan tersebut menunjukkan bahwa meskipun KUHP Nasional telah menyediakan dasar normatif yang relatif progresif untuk menjerat peran kolektif dalam kejahatan digital, efektivitasnya sangat bergantung pada internalisasi norma tersebut dalam praktik penyidikan, penuntutan, dan pembuktian. Tanpa pembaruan hukum acara pidana dan kebijakan penegakan yang adaptif, konsep turut serta berisiko tetap menjadi norma yang kuat secara tekstual tetapi lemah dalam implementasi.
Analisis Temuan: Kesenjangan antara Norma dan Praktik
1. Norma Hukum dalam KUHP Baru: Fondasi Normatif yang Progresif
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) secara tegas merekonstruksi konsep turut serta (deelneming) melalui pengaturan yang sistematis dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 23. Pasal 20 mengakui keberadaan pelaku, orang yang menyuruh melakukan, dan orang yang turut melakukan tindak pidana. Pasal 21 selanjutnya mengatur penganjur, khususnya melalui penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, ancaman, tipu muslihat, atau pemberian janji. Sementara itu, Pasal 22 mengatur pembantuan dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, dan Pasal 23 menegaskan pembatasan pertanggungjawaban pidana pembantu secara proporsional sesuai kontribusinya.
Secara normatif, konstruksi ini menunjukkan pergeseran penting dari paradigma individualistik menuju pertanggungjawaban pidana berbasis peran fungsional. Norma tersebut tidak mensyaratkan kehadiran fisik pelaku di tempat kejadian perkara, sehingga relevan dengan karakter kejahatan digital yang bersifat virtual, berjejaring, dan sering kali lintas batas yurisdiksi. Dalam literatur hukum pidana kontemporer, perluasan konsep pelaku dan penyerta ini dipandang sebagai respons yang diperlukan terhadap kejahatan berbasis sistem elektronik yang tidak lagi berwujud tindakan tunggal dan kasatmata (Armstrong, 2021; Daraojimba et al., 2024).
Dengan demikian, dari perspektif law in the books, KUHP baru telah menyediakan dasar normatif yang memadai untuk menjerat aktor-aktor kunci dalam kejahatan digital, termasuk mereka yang berperan sebagai perancang, pengendali, atau fasilitator, meskipun tidak terlibat langsung dalam eksekusi teknis kejahatan.
2. Kesenjangan dengan Praktik Penegakan Hukum di Ranah Digital
Meskipun norma KUHP baru bersifat progresif, kajian empiris menunjukkan bahwa implementasinya dalam praktik penegakan hukum kejahatan digital masih menghadapi berbagai hambatan struktural dan kultural.
a. Orientasi yang Masih Berpusat pada “Pelaku Langsung”
Dalam praktik penegakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan regulasi turunannya, aparat penegak hukum cenderung berhenti pada subjek yang tampak di permukaan, seperti pemilik akun, pengunggah konten, atau pihak yang terakhir melakukan distribusi konten digital. Pola ini terlihat jelas dalam perkara pencemaran nama baik, pornografi, maupun penyebaran konten terlarang, di mana fokus penindakan diarahkan pada “poster” atau “uploader”, tanpa pembongkaran struktur peran yang lebih luas di balik perbuatan tersebut (Muldani, 2022; Rusman et al., 2021).
Berbagai studi menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak sejalan dengan realitas kejahatan digital yang sering kali melibatkan aktor di hulu, seperti pengelola platform, penyedia sistem distribusi, atau pihak yang merekayasa skema kejahatan (Gulo et al., 2020; Pakpahan, 2021). Akibatnya, penegakan hukum cenderung bersifat parsial dan kurang menyentuh aktor yang memiliki kontrol substantif terhadap terjadinya kejahatan.
b. Sulitnya Artikulasi Peran Penganjur dan Pembantu
Kejahatan digital umumnya melibatkan peran-peran tidak langsung, seperti perancang situs palsu (phishing), penyusun skema penipuan, penyedia infrastruktur digital, atau pemberi instruksi operasional. Namun, dalam praktik, peran-peran ini jarang dikonstruksikan secara eksplisit sebagai penganjur atau pembantu dalam dakwaan.
Kesulitan ini dipengaruhi oleh kompleksitas pembuktian rantai komunikasi elektronik, penggunaan identitas palsu, anonimitas, serta keterbatasan kapasitas forensik digital aparat penegak hukum (Brown, 2015; Rakha, 2024). Akibatnya, berkas perkara sering kali hanya memuat perbuatan inti, seperti “mengunggah”, “mendistribusikan”, atau “membuat dapat diakses”, tanpa menguraikan kontribusi aktor lain yang secara fungsional menentukan terjadinya kejahatan (Sahabuddin et al., 2024).
c. Norma Pembaruan Belum Menjiwai Praktik Pembuktian
Selain KUHP baru, Indonesia juga telah mengadopsi berbagai instrumen hukum yang mengakui kompleksitas ekosistem digital, seperti UU ITE beserta perubahannya, PP No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, serta pengaturan mengenai hak untuk dilupakan. Namun, penelitian menunjukkan bahwa penerapan norma-norma tersebut di lapangan masih tertinggal.
Prosedur penanganan alat bukti elektronik belum sepenuhnya seragam dan masih sering menggunakan logika pembuktian analog, khususnya dalam hal chain of custody, autentikasi, dan presentasi bukti digital di persidangan (Lee, 2025; Luhina et al., 2025). Selain itu, instrumen hukum baru yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mengurai struktur peran pelaku—seperti kewajiban platform dan mekanisme kerja sama sistem elektronik—belum digunakan secara optimal (Algamar et al., 2022).
Inti Kesenjangan: Norma Berbasis Jaringan versus Praktik Individualistik
Secara keseluruhan, temuan penelitian menunjukkan bahwa inti kesenjangan antara norma dan praktik terletak pada perbedaan paradigma. Norma KUHP baru dirancang dengan asumsi bahwa kejahatan modern, termasuk kejahatan digital, bersifat kolektif, berjejaring, dan berbasis pembagian peran. Sebaliknya, praktik penegakan hukum masih cenderung melihat kejahatan digital sebagai perbuatan individual yang linier.
Akibat dari ketidaksinkronan ini adalah jarangnya penganjur dan pembantu muncul sebagai subjek yang dikonstruksikan secara jelas dalam dakwaan, serta belum optimalnya pemanfaatan pembaruan norma dalam KUHP dan UU ITE untuk membangun strategi pembuktian yang komprehensif. Dengan demikian, persoalan utama tidak terletak pada rumusan normatif, melainkan pada internalisasi dan operasionalisasi norma tersebut dalam praktik penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara kejahatan digital.
Praktik Penegakan yang Masih Konvensional dalam Perkara Kejahatan Digital
Meskipun pembaruan hukum pidana materiil melalui KUHP Nasional telah mengadopsi pendekatan modern terhadap konsep turut serta, praktik penegakan hukum dalam perkara kejahatan digital masih menunjukkan kecenderungan konvensional. Aparat penegak hukum menghadapi keterbatasan serius dalam mengonstruksi hubungan kausal non-fisik, memanfaatkan alat bukti elektronik secara optimal, serta membedakan secara jelas peran pelaku utama, turut serta, dan pembantu dalam struktur kejahatan siber yang berjejaring.
Kajian empiris dan literatur internasional menunjukkan bahwa pembuktian hubungan kausal dalam kejahatan digital jauh lebih kompleks dibanding kejahatan konvensional. Unsur actus reus dan mens rea tetap berlaku, namun sering kali tersembunyi di balik anonimitas, otomatisasi sistem, penggunaan encryption, serta pembagian kerja digital lintas yurisdiksi (Rakha, 2024; Taqi, 2025). Kondisi ini mendorong penegak hukum untuk menyederhanakan konstruksi perkara dengan memusatkan perhatian pada pelaku yang paling mudah diidentifikasi secara teknis, seperti pemilik akun atau pengguna perangkat terakhir, tanpa mengurai kontribusi aktor lain yang secara fungsional menentukan terjadinya kejahatan.
Pemanfaatan alat bukti elektronik juga belum optimal. Berbagai penelitian menegaskan bahwa ketiadaan standar baku dalam pengumpulan, pengamanan (chain of custody), dan autentikasi bukti digital menyebabkan bukti elektronik kerap kehilangan nilai pembuktiannya di persidangan (Brown, 2015; Klasén et al., 2024). Di Indonesia, keterbatasan unit forensik digital, ketimpangan kapasitas antarwilayah, serta minimnya pelatihan teknis bagi penyidik, jaksa, dan hakim memperparah situasi ini (Raharjo et al., 2022; Monique et al., 2024).
Lebih jauh, pembedaan peran antara pelaku utama, turut serta, dan pembantu dalam perkara siber masih lemah. Kejahatan digital modern lazim melibatkan aktor dengan spesialisasi peran—seperti pengembang malware, operator botnet, money mule, dan penyedia infrastruktur—namun struktur ini jarang terpetakan secara eksplisit dalam berkas perkara. Fenomena serupa juga ditemukan di berbagai yurisdiksi lain, yang menunjukkan bahwa tantangan ini bersifat sistemik dan berkaitan erat dengan keterbatasan hukum acara pidana (Ivanova, 2024; Bekkers et al., 2024).
Kondisi tersebut diperparah oleh belum disahkannya KUHAP baru. KUHAP yang saat ini berlaku masih berorientasi pada paradigma pembuktian konvensional dan belum sepenuhnya mendukung pembuktian peran digital secara komprehensif. Meskipun Rancangan KUHAP terbaru telah mengakui alat bukti elektronik (misalnya Pasal 175 RKUHAP) dan menekankan pentingnya penilaian peran terdakwa dalam tindak pidana (Pasal 132–134 RKUHAP), ketentuan tersebut belum memiliki kekuatan mengikat sehingga belum dapat dijadikan dasar operasional oleh aparat penegak hukum.
Dampak terhadap Efektivitas dan Keadilan
Kesenjangan antara norma dan praktik tersebut berdampak signifikan terhadap efektivitas dan keadilan sistem peradilan pidana. Pertama, daya jangkau hukum pidana terhadap kejahatan siber terorganisir menjadi rendah, karena aktor kunci di balik layar sering kali tidak tersentuh proses hukum. Kedua, lemahnya pembuktian peran dan struktur kejahatan berimplikasi pada rendahnya efek jera, baik karena vonis yang ringan maupun karena terbatasnya jumlah pelaku yang benar-benar dimintai pertanggungjawaban. Ketiga, inkonsistensi penanganan perkara dan seringnya alat bukti digital “gugur” di persidangan berkontribusi pada menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana (Stone & Deadrick, 2015; Collings et al., 2021).
Berbagai laporan kebijakan internasional juga menegaskan bahwa kegagalan mengadaptasi hukum acara dan kapasitas aparat terhadap karakter kejahatan digital berpotensi menciptakan justice gap, di mana norma hukum terlihat progresif di atas kertas, tetapi tidak efektif dalam melindungi masyarakat (UNODC, 2022; Europol, 2023).
Implikasi Kebijakan
Apabila kesenjangan antara norma dan praktik ini dibiarkan, pembaruan KUHP berpotensi menjadi law in the books tanpa daya guna nyata dalam penanggulangan kejahatan digital. Sebaliknya, harmonisasi antara KUHP dan KUHAP, disertai penguatan kapasitas aparat penegak hukum, berpeluang besar meningkatkan efektivitas penegakan hukum sekaligus menjamin keadilan substantif bagi semua pihak yang terlibat dalam perkara kejahatan siber.
Rekomendasi Kebijakan
- Penyusunan Pedoman Operasional Turut Serta dalam Kejahatan Digital
Pemerintah dan Mahkamah Agung perlu menyusun pedoman teknis penerapan Pasal 20–23 KUHP dalam perkara berbasis teknologi informasi, termasuk contoh pemetaan peran pelaku digital dan standar pembuktian kontribusi fungsional. - Percepatan Harmonisasi KUHP dan KUHAP
Pembaruan KUHAP harus secara eksplisit mengakomodasi pembuktian peran fungsional, konstruksi kausal non-fisik, dan penggunaan alat bukti elektronik secara komprehensif dan terstandar. - Penguatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum
Pelatihan forensik digital, analisis jaringan kejahatan siber, dan pemahaman konsep turut serta perlu diprioritaskan bagi penyidik, jaksa, dan hakim, sebagaimana direkomendasikan dalam berbagai praktik terbaik internasional. - Pendekatan Proporsional Berbasis Asas Kesalahan
Penerapan konsep turut serta harus tetap menjunjung asas culpability untuk mencegah kriminalisasi berlebihan terhadap aktor yang kontribusinya minimal atau tidak memiliki kesalahan yang memadai.
Penutup
Konsep turut serta merupakan instrumen sentral dalam menghadapi kejahatan berbasis teknologi informasi yang bersifat kolektif dan berjejaring. Policy brief ini menegaskan bahwa keberhasilan reformasi hukum pidana tidak hanya bergantung pada kecanggihan norma tertulis, tetapi juga pada kesiapan hukum acara pidana, kapasitas aparat penegak hukum, serta konsistensi praktik pembuktian. Tanpa upaya tersebut, pembaruan hukum pidana berisiko kehilangan makna substantif dalam menjawab tantangan kejahatan digital yang terus berkembang.
Daftar Pustaka
A. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
- Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.
- Indonesia. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), versi terakhir (pengakuan alat bukti elektronik dan penilaian peran terdakwa).
- Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
- Indonesia. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
B. Buku
- Gottschalk, P. Policing and Prosecution of Cybercrime. London: Routledge, 2019.
- Stone, D. L., & Deadrick, D. L. Challenges and Opportunities Affecting the Future of Human Resource Management. New York: Routledge, 2015.
- Armstrong, K. Cybercrime, Criminal Responsibility, and Digital Evidence. Oxford: Oxford University Press, 2021.
C. Jurnal Ilmiah Internasional
- Brown, C. (2015). Investigating and Prosecuting Cyber Crime: Forensic Dependencies and Barriers to Justice. International Journal of Cyber Criminology.
- Klasén, L., et al. (2024). The Invisible Evidence: Digital Forensics as Key to Solving Crimes in the Digital Age. Forensic Science International.
- Rakha, N. A. (2024). Cybercrime and the Law: Addressing the Challenges of Digital Forensics in Criminal Investigations. Mexican Law Review.
- Ivanova, L. V. (2024). The Impact of Digitalization on the Differentiation of Criminal Liability of Accomplices. Bulletin of Legal Studies.
- Bekkers, L., et al. (2024). Recruiting Co-Offenders for Financial Cybercrime. Trends in Organized Crime.
- Daraojimba, C., et al. (2024). Evolving Legal Responsibilities and Challenges in Prosecuting Cybercrime. Law and Technology Journal.
- Collings, D. G., et al. (2021). Trust, Institutions, and Justice in the Digital Age. Human Resource Management Review.
D. Jurnal Ilmiah Nasional
- Raharjo, A., et al. (2022). The Legal Policy of Criminal Justice Bureaucracy Cybercrime. BESTUUR: Jurnal Ilmu Hukum dan Politik.
- Monique, C., et al. (2024). Exploring the Role of Digital Forensics in Indonesia’s Criminal Procedure Law. Pena Justisia.
- Fakhriah, S., et al. (2024). Penerapan Sanksi Pidana terhadap Kejahatan Siber. Jurnal Ilmu Hukum.
E. Laporan Kebijakan dan Sumber Media Institusional
- United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Cybercrime and Digital Evidence Toolkit. Vienna, 2022.
- Europol. Internet Organised Crime Threat Assessment (IOCTA). The Hague, 2023.
- World Economic Forum. Global Cybersecurity Outlook. Geneva, 2023.





