Hanya ada dua tugas penting dari Pemerintah sebagai penyelenggara Negara, yaitu mengembangkan kebijakan publik yang unggul (excellent) dan memberikan pelayanan publik yang bermutu tinggi (Nugroho, 2014, Tugas Pemerintah). Tatkala Pemerintah berhasil membangun kebijakan-kebijakan publik yang unggul, maka dapat dikatakan hingga 65% keberhasilan penyelenggaraan negara sudah terjamin keberhasilannya. Dengan demikian, menjadi perhatian utama Pemerintah untuk memastikan kebijakannya berhasail –alih-alih gagal.
Secara umum ada tiga faktor filosofikal yang menentukan keberhasilan suatu kebijakan publik, dan ada tiga faktor dasar-operasional yang menentukan keberhasilan suatu kebijakan publik. Faktor filosofikalnya adalah:
- Kebijakan tersebut sesuai dengan ideologi bangsa, yaitu Filsafat yang dipilih oleh bangsa itu dalam menjalankan kehidupannya
- Kebijakan tersebut sesuai dengan Janji Kemerdekaan atau Misi Negara yang biasanya tercantum di dalam Konstitusinya
- Kebijakan tersebut bersifat khas bangsa di mana kebijakan dikembangkan, dan tidak serta merta menjiplak kebijakan yang dibuat bangsa lain, termasuk dan terutama bangsa yang telah lebih dahulu maju dan berhasil
Tiga faktor dasar-operasionalnya adalah:
- Cerdas: menyelesaikan masalah di inti permasalahan
- Bijaksana: menyelesaikan masalah tanpa membuat masalah baru, apalagi masalah yang lebih besar
- Harapan: memberikan harapan kepada bangsa, rakyat, warganegara, bahwa jika mereka melaksanakan kebijakan tersebut, maka kehidupannya akan menjadi lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih mandiri (Nugroho, 2023, Public Policy edisi 7)
Secara mikro, kebijakan publik terdiri dari tiga sekuensi, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, dan termasuk di dalam pengendalian adalah evaluasi. Untuk itu, berikut ini dibahas faktor-faktor penentu keberhasilan secara rinci dari kebijakan publik secara sekuensi.
1. Perumusan Kebijakan Publik
Keberhasilan atau kegagalan dalam perumusan kebijakan publik merupakan isu sentral dalam studi kebijakan. Banyak ahli kebijakan publik menjelaskan faktor-faktor yang menentukan apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal.
1. Proses Perumusan yang Partisipatif dan Analitis
Menurut Eugene Bardach, kualitas kebijakan sangat dipengaruhi oleh bagaimana proses perumusannya dilakukan—apakah berbasis bukti dan partisipatif. “Policy analysis is about giving options, and the process of choosing among them depends on how well you define the problem.”— Bardach, E. (2012). A Practical Guide for Policy Analysis. Jika masalah didefinisikan secara keliru, maka seluruh proses kebijakan berisiko gagal. Definisi masalah adalah titik awal yang krusial.
2. Kapasitas Kelembagaan dan Administratif
Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn dalam Policy Analysis for the Real World (1984) mengidentifikasi 10 prasyarat agar suatu kebijakan dapat diimplementasikan secara sukses. Dua di antaranya relevan dengan perumusan: “There must be an adequate base of knowledge for implementing the policy.” “The relationship between cause and effect must be understood.” — Hogwood & Gunn (1984). Artinya, jika pengetahuan dan pemahaman tentang hubungan sebab-akibat lemah, maka sejak perumusan, kebijakan telah berada di jalur kegagalan.
3. Kejelasan Tujuan dan Instrumen
Thomas R. Dye menyatakan bahwa kebijakan publik adalah “what governments choose to do or not to do.” Kejelasan dalam pilihan “apa yang dilakukan” dan “bagaimana cara melakukannya” menjadi kunci sukses. “Unclear objectives lead to policies that are unfocused, incoherent, and often ineffective.” — Dye, T. R. (2013). Understanding Public Policy.
4. Politik sebagai Ruang Kontestasi
Perumusan kebijakan adalah proses politik, bukan teknokratik semata. Charles Lindblom mengembangkan konsep “muddling through”, yaitu bahwa kebijakan umumnya dibentuk melalui langkah kecil, bukan rencana besar. “Policy-making is typically a process of successive limited comparisons.” — Lindblom, C. E. (1959). The Science of ‘Muddling Through’. Public Administration Review. Artinya, kegagalan bisa terjadi ketika perumusan mengabaikan realitas politik atau konflik kepentingan yang melekat.
5. Ketidaksesuaian Antara Masalah dan Solusi
Michael Lipsky, dalam Street-Level Bureaucracy, menunjukkan bahwa seringkali kebijakan gagal karena kebijakan tidak nyambung dengan realitas yang dihadapi pelaksana di lapangan. “Policies are often formulated in a vacuum, without sufficient regard for the conditions under which they must be implemented.” — Lipsky, M. (1980)
6. Kebijakan Gagal karena Tekanan Politik atau Simbolisme
Patrick Dunleavy dan Brendan O’Leary (1987) menjelaskan bahwa banyak kebijakan dirumuskan sebagai respons politis atau simbolis, bukan untuk menyelesaikan masalah secara substansial. “Policies may be implemented merely to give the impression that something is being done.” — Dunleavy & O’Leary (1987). Theories of the State.
Faktor Penentu | Penjelasan Singkat | Ahli |
Definisi Masalah | Salah definisi → salah solusi | Eugene Bardach |
Kapasitas Pengetahuan | Minim data, salah strategi | Hogwood & Gunn |
Tujuan Tidak Jelas | Sulit menyusun instrumen | Thomas Dye |
Dinamika Politik | Kepentingan vs rasionalitas | Charles Lindblom |
Realitas Pelaksana | Solusi tak cocok dengan kondisi lapangan | Michael Lipsky |
Simbolisme Politik | Kebijakan dibuat untuk pencitraan | Dunleavy & O’Leary |
2. Pelaksanaan/Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan tahap krusial dalam siklus kebijakan publik. Banyak kebijakan yang sudah disusun dengan baik namun gagal karena implementasinya buruk.
1. Kejelasan Tujuan dan Instruksi Kebijakan
Menurut Pressman dan Wildavsky, kegagalan implementasi terjadi jika terlalu banyak tahapan dan aktor yang terlibat, tetapi tidak ada kejelasan tentang apa yang harus dilakukan. “The more steps in the implementation process, the greater the chances for failure.”— Pressman, J. L., & Wildavsky, A. (1973). Implementation. Jika perintah kebijakan tidak jelas, atau ada multi-tafsir, pelaksana di lapangan akan bingung, dan hasil tidak sesuai harapan.
2. Komitmen dan Kapasitas Pelaksana
Merilee Grindle menekankan pentingnya political will (kemauan politik) dan kapasitas birokrasi sebagai faktor utama sukses atau gagalnya implementasi. “Implementation is a function of content and context: both the characteristics of the policy and the environment into which it is introduced.” — Grindle, M. (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World. Kebijakan bisa gagal jika pelaksana tidak punya kapasitas atau justru tidak punya kemauan untuk menjalankan kebijakan tersebut.
3. Dukungan Sumber Daya (Anggaran, SDM, Sarana)
Mazmanian dan Sabatier menyatakan bahwa sumber daya yang cukup dan stabil sangat menentukan keberhasilan implementasi. “Successful implementation requires that resources be allocated and used in a manner consistent with the policy’s objectives.” — Mazmanian, D. A., & Sabatier, P. A. (1983). Implementation and Public Policy. Tanpa dukungan anggaran, pelatihan, dan infrastruktur, kebijakan tidak dapat dijalankan meskipun niatnya baik.
4. Koordinasi Antar-Aktor
Elmore menyarankan pendekatan backward mapping, yaitu merancang implementasi dari bawah (aktor lapangan), bukan dari atas ke bawah. “Implementation begins not at the top of the policy chain, but at the point where administrative actors interact with clients.”
— Elmore, R. F. (1979). Backward Mapping: Implementation Research and Policy Decisions. Jika koordinasi antarlembaga buruk, atau jika pelaksana tidak dilibatkan sejak awal, maka akan timbul resistensi atau kesalahan implementasi.
5. Stabilitas Lingkungan Politik dan Sosial
Van Meter dan Van Horn menekankan pentingnya lingkungan eksternal yang stabil, termasuk dukungan politik, hukum, dan sosial. “Policy performance is affected by socioeconomic conditions, political environment, and interorganizational relationships.”
— Van Meter, D. S., & Van Horn, C. E. (1975). The Policy Implementation Process. Jika terjadi pergantian rezim, konflik sosial, atau tekanan politis, pelaksanaan kebijakan bisa terganggu bahkan dihentikan.
6. Resistensi dari Street-Level Bureaucrats
Michael Lipsky menyatakan bahwa aktor lapangan (pegawai publik garis depan) memiliki kekuasaan besar untuk menentukan keberhasilan implementasi, karena mereka yang benar-benar berhadapan dengan masyarakat. “Street-level bureaucrats are policymakers in their own right.” — Lipsky, M. (1980). Street-Level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Services. Jika pelaksana tidak memahami atau tidak setuju dengan kebijakan, mereka bisa mengabaikannya atau memodifikasinya.
Faktor | Penjelasan | Ahli |
Kompleksitas proses | Terlalu banyak aktor/tahapan → kegagalan | Pressman & Wildavsky |
Komitmen dan kapasitas pelaksana | Harus ada kemauan & kemampuan birokrasi | Merilee Grindle |
Sumber daya | Harus tersedia & mencukupi | Mazmanian & Sabatier |
Koordinasi & pendekatan bottom-up | Libatkan pelaksana sejak awal | Richard Elmore |
Stabilitas lingkungan | Politik & hukum harus mendukung | Van Meter & Van Horn |
Otonomi pelaksana lapangan | Bisa memodifikasi kebijakan | Michael Lipsky |
3. Pengendalian kebijakan
Pengendalian kebijakan (policy controlling) adalah proses untuk memastikan bahwa pelaksanaan kebijakan tetap sesuai dengan tujuan awalnya. Ini mencakup evaluasi, pengawasan, koreksi, dan penyesuaian kebijakan. Keberhasilan atau kegagalan pengendalian kebijakan banyak ditentukan oleh mekanisme umpan balik, kapasitas evaluasi, serta struktur politik dan administratif yang ada.
1. Ketersediaan Sistem Monitoring dan Evaluasi yang Efektif
Menurut Dunn, pengendalian kebijakan sangat bergantung pada keberadaan sistem evaluasi kebijakan yang memadai, termasuk indikator kinerja dan pengukuran hasil.
“Evaluation provides the essential feedback needed to make midcourse corrections or terminate failing programs.” — Dunn, W. N. (2018). Public Policy Analysis. Tanpa evaluasi berbasis data, proses pengendalian akan bersifat reaktif dan cenderung terlambat.
2. Kejelasan Tujuan dan Indikator Kinerja
Mazmanian dan Sabatier menekankan pentingnya tujuan kebijakan yang jelas dan dapat diukur. Tanpa tujuan yang terukur, pengendalian kehilangan pegangan.
“The implementation of public policy is greatly facilitated when goals are precise, consistent, and measurable.” — Mazmanian, D. A., & Sabatier, P. A. (1983). Implementation and Public Policy. Tanpa indikator yang terdefinisi dengan baik, kita tidak bisa tahu apakah kebijakan melenceng atau berjalan baik.
3. Kapasitas dan Netralitas Institusi Pengawas
Peters menyatakan bahwa keberhasilan pengendalian kebijakan sangat bergantung pada siapa yang melakukan kontrol dan apakah mereka netral dan kompeten.
“The question is not just whether control mechanisms exist, but whether they are used effectively and independently.” — Peters, B. G. (2015). Advanced Introduction to Public Policy. Jika lembaga pengawas tunduk pada tekanan politik atau tidak memiliki wewenang memadai, maka kontrol menjadi formalitas.
4. Political Will dan Akuntabilitas
Grindle menekankan bahwa bahkan dengan sistem evaluasi yang baik, kontrol akan gagal jika tidak ada kemauan politik untuk menindaklanjuti hasil evaluasi. “Without the political will to act upon information, evaluation is meaningless.” — Grindle, M. S. (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World. Kemauan untuk melakukan koreksi (termasuk mencabut atau merevisi kebijakan) adalah esensi dari pengendalian yang sukses.
5. Keterlibatan Masyarakat dan Transparansi
Fischer menunjukkan bahwa pengawasan tidak harus bersifat top-down. Partisipasi publik sangat penting dalam kontrol kebijakan, terutama untuk memastikan akuntabilitas sosial. “Citizen participation ensures that policy outcomes reflect public values and that power is subject to scrutiny.” — Fischer, F. (2003). Reframing Public Policy: Discursive Politics and Deliberative Practices. Jika masyarakat tidak dilibatkan, proses pengendalian rentan terhadap manipulasi informasi atau pengabaian terhadap kepentingan publik.
6. Kebutaan terhadap Umpan Balik Negatif (Feedback Failure)
Menurut Charles Lindblom, banyak kegagalan dalam pengendalian kebijakan disebabkan karena sistem tidak mampu merespons umpan balik negatif.
“Policies often persist not because they work, but because institutions fail to receive or act on signals of failure.” — Lindblom, C. E. (1979). Still Muddling, Not Yet Through. Kebijakan yang gagal tetap berjalan karena sistem kontrol tidak peka terhadap peringatan atau kritik.
Faktor | Penjelasan | Ahli |
Sistem evaluasi yang kuat | M&E harus berbasis data | William N. Dunn |
Tujuan dan indikator yang jelas | Agar hasil bisa diukur | Mazmanian & Sabatier |
Kapasitas dan netralitas pengawas | Pentingnya independensi | B. Guy Peters |
Political will | Tanpa kemauan politik, hasil evaluasi diabaikan | Merilee Grindle |
Partisipasi publik | Agar kontrol bersifat akuntabel | Frank Fischer |
Respons terhadap umpan balik | Sistem harus sensitif terhadap sinyal kegagalan | Charles Lindblom |
Pengendalian kebijakan gagal ketika:
- Tujuan tidak jelas.
- Evaluasi tidak dilakukan.
- Institusi pengawas lemah atau tidak netral.
- Tidak ada kemauan politik untuk mengoreksi.
- Masyarakat tidak dilibatkan.
- Kritik dan masukan diabaikan.
Sebaliknya, pengendalian kebijakan berhasil ketika:
- Ada sistem evaluasi berbasis data.
- Tujuan dan indikator kebijakan jelas.
- Lembaga pengawas independen dan kompeten.
- Tindak lanjut atas hasil evaluasi dijalankan.
4. Evaluasi kebijakan
Evaluasi kebijakan adalah tahap penting dalam siklus kebijakan publik yang bertujuan menilai apakah suatu kebijakan mencapai tujuannya, bagaimana dampaknya, dan apakah perlu dilanjutkan, diubah, atau dihentikan. Keberhasilan atau kegagalan dalam evaluasi kebijakan sangat bergantung pada desain, pelaksanaan, dan tindak lanjut evaluasi itu sendiri.
1. Kejelasan Tujuan dan Kriteria Evaluasi
Evaluasi akan gagal jika tidak ada kriteria yang jelas tentang apa yang ingin diukur. Menurut William N. Dunn: “Evaluation is the comparison of observed policy impacts against a set of explicit or implicit standards.” — Dunn, W. N. (2018). Public Policy Analysis. Tanpa standar atau indikator yang terukur, evaluasi kehilangan arah dan menjadi tidak bermakna.
2. Ketersediaan dan Kualitas Data
Menurut Carol Weiss, evaluasi bergantung pada data yang valid dan reliabel. Jika datanya lemah, hasil evaluasi pun tidak dapat dipercaya. “Evaluation findings are only as good as the data on which they are based.” — Weiss, C. H. (1998). Evaluation: Methods for Studying Programs and Policies. Data yang terbatas, bias, atau tidak tersedia menyebabkan kegagalan dalam menilai efektivitas kebijakan.
3. Kapasitas Evaluator dan Desain Metodologis
Evaluasi memerlukan keahlian dan metode yang tepat. Michael Patton menyatakan pentingnya penggunaan pendekatan yang sesuai dengan konteks kebijakan.
“Evaluation must be methodologically sound and context-sensitive to be useful.” — Patton, M. Q. (2008). Utilization-Focused Evaluation. Evaluasi bisa gagal bila menggunakan metode yang salah atau tidak cocok dengan jenis kebijakan yang dievaluasi.
4. Pengaruh Politik terhadap Evaluasi
Evaluasi sering gagal karena tidak netral atau digunakan sebagai alat pembenaran politis. Menurut Evert Vedung: “Evaluation may become a political weapon, used not to inform but to justify decisions already taken.” — Vedung, E. (1997). Public Policy and Program Evaluation. Jika hasil evaluasi dimanipulasi untuk kepentingan politik, maka fungsi kontrol dan pembelajaran hilang.
5. Tidak Adanya Tindak Lanjut (Follow-up)
Bahkan evaluasi yang baik akan sia-sia jika tidak ditindaklanjuti. Grindle menegaskan pentingnya political responsiveness terhadap hasil evaluasi.
“The challenge is not only to generate evaluative information but to ensure it is used for policy improvement.” — Grindle, M. S. (1980). Politics and Policy Implementation.
Evaluasi sering gagal memberi dampak karena tidak ada mekanisme untuk menerapkan rekomendasi.
6. Keterlibatan Pemangku Kepentingan
Fischer dan Forester menekankan perlunya partisipasi publik dan keterlibatan aktor terkait dalam proses evaluasi agar hasilnya lebih legitim dan berguna. “Deliberative evaluation processes enhance legitimacy and increase the likelihood of policy learning.” — Fischer, F., & Forester, J. (1993). The Argumentative Turn in Policy Analysis and Planning. Evaluasi top-down yang tertutup cenderung tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.
Faktor | Penjelasan | Pakar |
Tujuan & indikator jelas | Evaluasi butuh standar yang terukur | William Dunn |
Data valid dan cukup | Tanpa data, evaluasi tidak bisa dilakukan | Carol Weiss |
Desain evaluasi yang tepat | Metode harus sesuai konteks | Michael Patton |
Netralitas politik | Evaluasi harus independen | Evert Vedung |
Tindak lanjut hasil evaluasi | Evaluasi harus berdampak | Merilee Grindle |
Keterlibatan pemangku kepentingan | Partisipasi memperkuat legitimasi | Fischer & Forester |
Evaluasi kebijakan akan gagal jika:
- Tidak ada tujuan dan indikator yang jelas.
- Data buruk atau tidak tersedia.
- Metode salah atau evaluator tidak kompeten.
- Hasil dieksploitasi untuk kepentingan politik.
- Tidak ada tindak lanjut atau aksi korektif.
- Tidak melibatkan pemangku kepentingan.
Evaluasi kebijakan akan berhasil jika:
- Ada kejelasan tujuan dan kriteria.
- Menggunakan data yang baik dan cukup.
- Dijalankan dengan metodologi yang tepat.
- Dilakukan secara independen.
- Direkomendasikan untuk perbaikan kebijakan.
- Melibatkan masyarakat dan aktor terkait.