⭐⭐⭐⭐⭐Kebijakan Publik dalam Ekonomi yang Terbelenggu

Dalam politik ekonomi modern, perdebatan kebijakan sering kali dibingkai bukan oleh analisis struktural, melainkan oleh narasi. Robert J. Shiller (2017, Narrative Economics) memperkenalkan konsep narrative economics untuk menjelaskan bagaimana cerita ekonomi—bukan sekadar data—menyebar, dipercaya, dan memengaruhi perilaku publik serta pengambilan kebijakan. Narasi ekonomi berfungsi membentuk persepsi, bukan menjelaskan realitas ekonomi secara menyeluruh.

Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, narasi pertumbuhan, peringkat global, dan stabilitas makro sering digunakan sebagai indikator keberhasilan. Namun, sebagaimana ditegaskan Dani Rodrik (2008, One Economics, Many Recipes; 2011, The Globalization Paradox), kekuatan negara tidak ditentukan oleh ukuran ekonomi semata, melainkan oleh policy space—ruang kebijakan yang memungkinkan negara mengambil keputusan strategis tanpa tekanan fiskal dan eksternal yang berlebihan.

Narasi ini ini berangkat dari argumen bahwa persoalan mendasar Indonesia bukanlah tingkat utang secara nominal atau rasio utang terhadap PDB, melainkan tingginya debt service burden yang menggerus kapasitas fiskal negara dalam membangun kebijakan publik yang kuat.

Diskursus Pemahaman

Berkenaan dengan model pehamahan narrative economics dan distorsi persepsi fiskal, Shiller (2020; Narrative Economics: How Stories Go Viral) menekankan bahwa narasi ekonomi berfungsi seperti virus: menyebar cepat, sederhana, dan emosional. Dalam politik fiskal, narasi sering kali berfokus pada indikator stok—seperti rasio utang terhadap PDB—karena mudah dipahami dan relatif menenangkan publik. Namun, fokus pada stok utang berpotensi menyesatkan. Narasi semacam ini mengaburkan persoalan utama, yakni arus kewajiban fiskal (flows) yang harus dibayar setiap tahun. Dengan kata lain, narasi ekonomi dapat menciptakan ilusi stabilitas, sementara struktur fiskal sesungguhnya berada dalam tekanan.

Berkenaan dengan pemahaman kapasitas Negara dan ruang kebijakan, Dani Rodrik (2011) berulang kali menegaskan bahwa state capacity tidak identik dengan ukuran ekonomi. Negara dengan PDB besar tetapi ruang fiskal sempit tetap memiliki kapasitas kebijakan yang rendah. Kapasitas negara tercermin dari kemampuannya membiayai kebijakan publik strategis—pendidikan, riset, inovasi, dan transformasi ekonomi—tanpa mengorbankan stabilitas jangka panjang.

Dalam kerangka ini, indikator kunci bukan rasio utang terhadap PDB, melainkan fiscal space. IMF (2018, Fiscal Space: What It Is and How to Get It) mendefinisikan fiscal space sebagai kemampuan pemerintah untuk menyediakan pembiayaan tambahan bagi kebijakan publik tanpa membahayakan keberlanjutan fiskal dan stabilitas makroekonomi.

Berkenaan dengan pemahaman debt service burden dan crowding out kapasitas fiskal, literatur IMF dan Bank Dunia menekankan bahwa indikator tekanan fiskal yang krusial adalah debt service ratio (DSR), yakni pembayaran bunga dan pokok utang terhadap penerimaan negara atau ekspor. Dalam keuangan publik, beban pembayaran utang yang tinggi menyebabkan crowding out of fiscal capacity, yaitu terdesaknya belanja produktif oleh kewajiban finansial masa lalu (Musgrave & Musgrave, 1989, Public Finance in Theory and Practice). Ketika lebih dari separuh penerimaan pajak digunakan untuk membayar bunga dan cicilan utang, negara kehilangan fleksibilitas fiskal. Kebijakan publik tidak lagi didorong oleh visi jangka panjang, melainkan oleh pertanyaan paling dasar: apakah tersedia dana untuk membiayainya.

Berkenaan dengan pemahaman dengan stok utang versus arus pembayaran, perbandingan internasional menunjukkan pentingnya membedakan antara stok utang dan arus pembayaran. Singapura, misalnya, memiliki rasio utang terhadap PDB yang tinggi, tetapi debt service ratio-nya sangat rendah. Hal ini karena obligasi pemerintah diterbitkan untuk manajemen likuiditas dan tabungan nasional (CPF), bukan untuk membiayai defisit fiskal (IMF, Article IV Consultation). Amerika Serikat, menurut data OECD (Government Debt and Interest Payments Statistics), mengalokasikan sekitar 12–15 persen penerimaan federal untuk pembayaran utang. Jepang—meskipun rasio utangnya ekstrem—menjaga DSR relatif rendah karena struktur utang domestik dan suku bunga yang sangat rendah. Jerman, Prancis, dan Inggris berada dalam kisaran yang oleh IMF dikategorikan sebagai manageable debt service. Sebaliknya, negara dengan DSR tinggi terhadap penerimaan atau ekspor menghadapi tekanan fiskal dan eksternal serius, yang membatasi kemampuan mereka mengambil risiko pembangunan jangka panjang.

Berkenaan dengan debt overhang dan hilangnya kedaulatan fiskal, dapat difahami jika kondisi DSR tinggi selaras dengan tesis debt overhang yang dikemukakan oleh Reinhart dan Rogoff (2010; 2011, Growth in a Time of Debt). Beban utang yang besar menciptakan insentif kebijakan jangka pendek, menghambat investasi produktif, dan memperlemah kapasitas negara untuk melakukan transformasi struktural. Dalam situasi ini, kebijakan fiskal cenderung bersifat defensif. Negara bukan lagi pengarah pembangunan, melainkan pengelola krisis yang tertunda. Pertanyaan “cukup tidak uangnya?” menjadi refleks kebijakan, sekaligus indikator melemahnya kedaulatan fiskal.

Kondisi Indonesia

Secara deskriptif, perbandingan antara rasio utang terhadap PDB dan DSR menunjukkan adanya ketidaksejajaran (mismatch) antara persepsi stabilitas makro dan realitas tekanan fiskal. Sementara rasio utang Indonesia berada sekitar satu standar deviasi di bawah rata-rata negara OECD, estimasi DSR terhadap penerimaan negara berada lebih dari dua kali lipat rata-rata OECD.

Kondisi ini mengindikasikan bahwa variabel arus (DSR) memiliki daya jelaskan yang lebih kuat terhadap keterbatasan kapasitas fiskal dibandingkan variabel stok (utang/PDB). Dengan kata lain, korelasi antara rasio utang terhadap PDB dan ruang kebijakan bersifat lemah, sedangkan korelasi antara DSR dan fleksibilitas belanja bersifat kuat secara konseptual.

Tabel 1. Rasio Utang Pemerintah terhadap PDB (Indonesia dan Negara Pembanding)

NegaraRasio Utang terhadap PDB (%)Karakter Utama
Indonesia~39–40Moderat, di bawah batas hukum
Amerika Serikat>120Mata uang cadangan global
Jepang>250Dominan domestik, bunga rendah
Singapura>100Manajemen likuiditas, CPF

Tabel 2. Debt Service Ratio (DSR) terhadap Penerimaan atau Ekspor

NegaraDSR (% penerimaan/ekspor)Kategori IMF
Indonesia>45 (estimasi terhadap penerimaan)Tekanan tinggi
Amerika Serikat12–15Manageable
Jepang8–10Manageable
Jerman4–6Sangat rendah
Inggris7–10Manageable

Secara deskriptif, perbandingan antara rasio utang terhadap PDB dan DSR menunjukkan adanya ketidaksejajaran (mismatch) antara persepsi stabilitas makro dan realitas tekanan fiskal. Sementara rasio utang Indonesia berada sekitar satu standar deviasi di bawah rata-rata negara OECD, estimasi DSR terhadap penerimaan negara berada lebih dari dua kali lipat rata-rata OECD.

Dengan menggunakan perspektif narrative economics dan debt service burden, terlihat bahwa tantangan utama fiskal Indonesia terletak pada menyempitnya ruang fiskal akibat tingginya kewajiban pembayaran utang. Selama tekanan debt service tetap tinggi, kebijakan publik akan cenderung bersifat defensif dan jangka pendek. Narasi ekonomi dapat menunda pengakuan atas masalah struktural, tetapi tidak dapat menggantikan kebutuhan akan reformasi fiskal yang memulihkan kedaulatan kebijakan negara.

Indonesia hari ini nampaknya memilih strategi buying time—menunda penyesuaian struktural melalui pembiayaan utang—jarang berakhir tanpa guncangan. Seperti dicatat dalam sejarah krisis fiskal global, perubahan struktural biasanya baru terjadi ketika tekanan fiskal mencapai titik di mana narasi tidak lagi mampu menutupi realitas angka (Streeck, 2014, Buying Time: The Delayed Crisis of Democratic Capitalism). Dalam konteks ini, narasi ekonomi bukan sekadar alat komunikasi, melainkan mekanisme penundaan. Namun, narasi memiliki batas. Ketika arus kewajiban fiskal terus meningkat, kapasitas negara menyusut, dan ruang kebijakan menghilang, angka akhirnya mengalahkan cerita.

Pembelajaran

Artikel ini menegaskan bahwa persoalan fiskal Indonesia tidak dapat dipahami hanya melalui indikator makro konvensional seperti rasio utang terhadap PDB. Dengan menggunakan kerangka narrative economics, state capacity, dan debt service burden, terlihat bahwa tantangan utama terletak pada menyempitnya ruang fiskal dan hilangnya kedaulatan kebijakan.

Selama tekanan pembayaran utang tetap tinggi, kebijakan publik akan cenderung jangka pendek dan defensif. Dalam kondisi tersebut, narasi ekonomi mungkin mampu menunda krisis, tetapi tidak dapat menggantikan kebutuhan akan reformasi struktural fiskal yang mendalam.

Avatar photo

Riant Nugroho

Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia

Articles: 63