Kepemimpinan Pasca-Manusia (Post-Human Leadership)

Istilah post-human tidak merujuk pada hilangnya manusia, melainkan pada berakhirnya asumsi bahwa manusia adalah satu-satunya pusat kecerdasan dalam sistem sosial. Dalam masyarakat algoritmik dan AI, pengambilan keputusan semakin bersifat hibrid (manusia–mesin), terdistribusi, dan dimediasi oleh sistem non-manusia.

Sebagaimana dikemukakan Castells (2010), kekuasaan dalam masyarakat jaringan tidak lagi berada pada aktor tunggal, melainkan pada arsitektur sistem. Dalam konteks ini, pemimpin tidak lagi dapat dipahami sebagai “yang paling tahu”, tetapi sebagai pengarah relasi antara manusia, teknologi, dan tujuan kolektif.

Dengan demikian, post-human leadership menandai pergeseran dari kepemimpinan berbasis kapasitas kognitif ke kepemimpinan berbasis orkestrasi sistem.

Keterbatasan Tech-Centered Digital Leadership

Banyak diskursus awal tentang digital leadership menekankan literasi teknologi, kemampuan memanfaatkan data, dan adopsi inovasi digital. Namun, pendekatan ini memiliki keterbatasan serius. Ketika kecerdasan buatan semakin otonom, kepemimpinan yang semata-mata berpusat pada teknologi berisiko mereduksi manusia menjadi variabel sistem, mengabaikan dampak sosial dan etis, serta memperdalam ketimpangan kekuasaan berbasis data. Harari (2018) mengingatkan bahwa ancaman utama AI bukan pada kecerdasannya, melainkan pada ketidakmampuan manusia merumuskan tujuan dan nilai bersama. Oleh karena itu, kepemimpinan di era AI memerlukan orientasi baru yang melampaui efisiensi teknologis.

Humanity-centered digital leadership dapat didefinisikan sebagai kapasitas kepemimpinan untuk mengarahkan pemanfaatan teknologi digital dan AI dengan menempatkan martabat manusia, nilai etis, dan keberlanjutan sosial sebagai pusat pengambilan keputusan.

Berbeda dari kepemimpinan klasik maupun digital leadership generasi awal, model ini menempatkan pemimpin sebagai penjaga nilai (value guardian), perumus makna (meaning maker), dan penanggung jawab dampak sistemik.

Empat Pilar Humanity-Centered Digital Leadership

Berdasarkan pergeseran kriteria “orang pintar” di era AI, kepemimpinan pasca-manusia bertumpu pada empat pilar utama. Pertama, Problem Framing over Problem Solving. Pemimpin tidak bersaing dengan AI dalam menjawab masalah, melainkan unggul dalam merumuskan masalah yang layak dijawab.

Ke dua, Ethical Judgment under Uncertainty. Ketika data tidak lengkap dan risiko bersifat sistemik, kepemimpinan diukur dari keberanian mengambil keputusan bernilai, bukan sekadar berbasis prediksi.

Ke tiga, Human–Machine Integration. Pemimpin bertugas memastikan teknologi memperluas kapasitas manusia, bukan menggantikannya secara membuta. Ke empat, Wisdom and Responsibility. Menghidupkan kembali konsep phronesis (Aristoteles), kebijaksanaan praktis dalam konteks nyata, bukan kecerdasan abstrak.

Secara teoretis, gagasan humanity-centered digital leadership menegaskan bahwa kepintaran tidak identik dengan kecerdasan komputasional, kepemimpinan tidak lagi berbasis dominasi pengetahuan, dan masa depan organisasi bergantung pada kapasitas moral dan reflektif pemimpinnya. Secara praktis, ini berimplikasi pada desain pendidikan kepemimpinan, reformasi birokrasi digital, serta tata kelola AI dalam organisasi publik dan privat.

Penutup  

Di era ketika mesin menjadi semakin cerdas, kepemimpinan manusia justru diuji bukan pada kecerdasannya, melainkan pada kemampuannya menjaga kemanusiaan. Post-human digital leadership bukanlah tentang menjadi lebih pintar dari mesin, tetapi tentang memastikan bahwa kecerdasan—apa pun bentuknya—tetap melayani nilai-nilai manusia.

Rujukan

Floridi, L. (2014). The Fourth Revolution. Oxford University Press.
Schwab, K. (2016). The Fourth Industrial Revolution. World Economic Forum.
Susskind, R. (2020). A World Without Work. Oxford University Press.
Aristotle. Nicomachean Ethics (konsep phronesis).

Avatar photo

Riant Nugroho

Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia

Articles: 62