Abstrak
Perkembangan teknologi komunikasi tidak hanya mengubah cara manusia berinteraksi, tetapi juga membentuk ulang kriteria sosial tentang siapa yang dianggap “orang pintar”. Artikel ini mengkaji pergeseran konstruksi sosial kecerdasan dari era wicara, cetak, digital, algoritma, hingga era kecerdasan artifisial (AI). Dengan pendekatan historis-sosiologis dan kerangka teori media serta masyarakat jaringan, artikel ini menunjukkan bahwa kecerdasan bukanlah konsep statis, melainkan produk relasi antara manusia, teknologi dominan, dan kebutuhan sosial zamannya. Pada era AI, ketika kemampuan kognitif instrumental semakin diambil alih oleh mesin, kriteria “orang pintar” bergeser dari kapasitas kognitif individual menuju kebijaksanaan, perumusan masalah, dan tanggung jawab etis.
Kata kunci: kecerdasan, media komunikasi, AI, sosiologi pengetahuan, masyarakat digital
Pendahuluan
Dalam Who Rule the World (2016), Noam Chomsky menyebut Amerika dan lembaga internasional yang mengatur dunia. Namun, secara tidak langsung ia mengatakan bahwa yang mengatur dunia adalah para intelektual (lihat Bab Pertama: Kembalikan Lagi Tanggung Jawab Intelektual), dan dalam bahasa yang sederhana, orang biasa, para intelektual adalah orang pintar –karena ia bisa hanya menjadi orang pintar saja, dan minteri orang lain, atau menjadi pandai, karena pintar dan bijaksana, serta tidak jakaht.
Dalam percakapan sehari-hari, “orang pintar” kerap dipahami sebagai individu dengan kapasitas kognitif tinggi—cepat berpikir, mampu menghafal, atau unggul secara akademik. Namun, sosiologi pengetahuan mengajarkan bahwa apa yang dianggap sebagai kecerdasan selalu terikat pada konteks sosial dan teknologi tertentu (Berger & Luckmann, 1966). Dengan kata lain, kepintaran adalah konstruksi sosial yang berubah mengikuti rezim peradaban. Kajian ini berangkat dari pertanyaan sederhana namun mendasar: bagaimana kriteria “orang pintar” berubah seiring perubahan medium komunikasi dominan dalam sejarah manusia?
Era Wicara: Kepintaran sebagai Daya Ingat dan Kefasihan
Dalam masyarakat wicara (oral society), pengetahuan hidup dalam ingatan dan praktik tutur. Walter J. Ong (1982) menunjukkan bahwa masyarakat oral sangat mengandalkan memori, repetisi, dan performativitas bahasa. Oleh karena itu, orang pintar adalah mereka yang mampu mengingat, menuturkan, dan meyakinkan. Kepintaran tidak diukur melalui abstraksi, melainkan melalui (1) otoritas moral, (2) kekuatan narasi, dan (3) pengakuan komunitas. Figur seperti tetua adat, pendongeng, dan pemimpin spiritual menjadi penjaga pengetahuan kolektif. Dalam konteks ini, kecerdasan bersifat relasional dan kontekstual, bukan individualistik.
Era Cetak: Kepintaran sebagai Rasionalitas dan Literasi
Penemuan mesin cetak menandai transformasi radikal dalam struktur pengetahuan. Marshall McLuhan (1964) menegaskan bahwa medium cetak mendorong cara berpikir linear, analitis, dan abstrak. Pengetahuan dipisahkan dari konteks performatifnya dan diobjektivikasi dalam teks.
Dalam masyarakat cetak orang pintar adalah mereka yang literat, mampu berpikir logis, dan menyusun argumen sistematis. Era ini melahirkan sains modern, birokrasi rasional, dan meritokrasi berbasis pendidikan formal. Kepintaran menjadi terstandarisasi, terukur melalui ijazah, gelar, dan publikasi.
Era Digital: Kepintaran sebagai Kecepatan dan Adaptasi
Masuknya teknologi digital menggeser fokus dari kedalaman analisis ke kecepatan akses. Informasi menjadi melimpah, terfragmentasi, dan tersedia secara real-time. Dalam konteks ini, orang pintar bukan lagi mereka yang paling banyak tahu, tetapi mereka yang paling cepat menemukan dan mengolah informasi.
Nicholas Carr (2010) mengingatkan bahwa kelimpahan informasi digital berpotensi mengikis kedalaman berpikir reflektif. Namun secara sosial, kecerdasan tetap diredefinisi sebagai kemampuan multitasking secara bermakna –tidak “sekedar” mutitasking, adaptasi teknologi, dan fleksibilitas kognitif.
Era Algoritma: Kepintaran sebagai Pemahaman Sistem
Perkembangan platform digital dan algoritma membawa manusia memasuki fase baru: masyarakat data. Manuel Castells (2010) menyebutnya sebagai network society, di mana kekuasaan dan pengetahuan bekerja melalui jaringan dan kode.
Pada era ini, kecerdasan tidak lagi sekadar mengakses informasi, melainkan memahami logika sistem yang bekerja di balik layar, yaitu berkenaan dengan bagaimana algoritma memengaruhi pilihan, bagaimana data membentuk keputusan, dan bagaimana insentif sistem mengarahkan perilaku. Orang pintar adalah mereka yang mampu membaca pola, merancang kebijakan berbasis data, dan mengambil keputusan dalam sistem kompleks.
Era AI: Kepintaran sebagai Kebijaksanaan dan Tanggung Jawab Etis
Era kecerdasan artifisial menandai diskontinuitas, bukan sekadar kelanjutan evolutif. Ketika mesin mampu menulis, menghitung, menganalisis, dan memprediksi lebih baik daripada manusia, maka banyak kriteria lama tentang kepintaran menjadi usang.
Yuval Noah Harari (2018) menegaskan bahwa tantangan utama manusia di abad ke-21 bukan lagi kekurangan informasi, melainkan ketidakmampuan memberi makna dan arah. Dalam konteks ini, kepintaran manusia bergeser ke wilayah yang tidak mudah diautomasi, yaitu perumusan masalah (problem framing), penilaian etis, integrasi nilai, konteks, dan tujuan. Pada era AI, orang pintar adalah mereka yang mampu menjaga kemanusiaan dalam sistem cerdas—bukan bersaing dengan mesin, tetapi mengarahkan penggunaannya secara bertanggung jawab.
Tentu saja, bab ini dapat saja menerima “sindiran” sebagai narasi yang utopis, karena mensejajarkan AI dan etika dalam satu jalur yang sama dan bersama, alangkah tidak mudahnya.
Simpulan
Sejarah menunjukkan bahwa kepintaran bukanlah atribut tetap, melainkan hasil interaksi antara manusia dan teknologi dominan. Dari kefasihan lisan hingga kebijaksanaan etis, kriteria “orang pintar” terus bergeser mengikuti kebutuhan zamannya.
Jika pada era wicara kepintaran diukur melalui ingatan, pada era cetak melalui rasionalitas, pada era digital melalui kecepatan, dan pada era algoritma melalui pemahaman sistem, maka pada era AI kepintaran menemukan maknanya yang paling manusiawi: kemampuan untuk bertindak bijak ketika kecerdasan tidak lagi eksklusif milik manusia.
Rujukan
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality. Anchor Books.
Carr, N. (2010). The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains. W. W. Norton.
Castells, M. (2010). The Rise of the Network Society. Wiley-Blackwell.
Chomsky, Noam, 2016, Who Rules the World? New York: Macmillan
Harari, Y. N. (2018). 21 Lessons for the 21st Century. Spiegel & Grau.
McLuhan, M. (1964). Understanding Media: The Extensions of Man. McGraw-Hill.
Ong, W. J. (1982). Orality and Literacy. Methuen.





