Tiga Agenda Kebijakan Ekonomi Indonesia 2025: Radikal, Moderasi, dan Inkrementalitas

Pendahuluan: Menyongsong 2025 dengan Realitas Ekonomi yang Kompleks

Tahun 2025 menjadi momentum penting bagi Indonesia. Setelah melewati guncangan pandemi COVID-19, ketidakpastian geopolitik global, serta transisi politik dalam negeri, arah kebijakan ekonomi menjadi penentu apakah Indonesia mampu menjaga stabilitas sekaligus meraih lompatan pembangunan. Dalam konteks ini, ekonomi Indonesia menghadapi tantangan ganda: menjaga pertumbuhan tetap inklusif, sekaligus merespons dinamika global yang kian tidak pasti.

Bank Dunia (2023) menekankan bahwa Indonesia masih perlu memperkuat fondasi fiskal, memperluas basis pajak, serta meningkatkan produktivitas tenaga kerja agar tidak terjebak dalam middle-income trap. Sementara itu, McKinsey (2022) mencatat bahwa masuknya Indonesia ke rantai suplai global, terutama dalam sektor energi terbarukan dan digital, akan sangat menentukan daya saingnya.

Agenda Kebijakan Ekonomi Indonesia 2025 dapat dibaca dalam tiga pendekatan: radikal, moderat-substansial, dan inkremental. Ketiganya merepresentasikan spektrum pilihan: dari gebrakan besar yang mengubah struktur, hingga perbaikan bertahap yang lebih hati-hati.

Agenda Radikal: Efisiensi sebagai Pilar Awal

Langkah radikal menekankan efisiensi dan disiplin fiskal. Belanja negara yang kerap bocor dan tidak fokus harus ditata ulang. Seperti ditegaskan oleh Musgrave dan Musgrave (1989) dalam Public Finance in Theory and Practice, disiplin fiskal bukan sekadar soal menekan defisit, melainkan memastikan setiap rupiah belanja menghasilkan manfaat publik yang nyata.

Selain itu, efisiensi kabinet dan perampingan program prioritas juga diperlukan. Kabinet yang terlalu gemuk seringkali mengurangi efektivitas koordinasi. Sementara itu, program prioritas yang berlapis tanpa fokus hanya melahirkan “ritual anggaran” tanpa hasil optimal.

Kebijakan perpajakan pun harus ditinjau ulang. Basis pajak Indonesia masih sempit, sementara penerimaan negara sangat bergantung pada sektor tertentu, terutama sumber daya alam. Joseph Stiglitz (2002) mengingatkan bahwa ketergantungan fiskal pada komoditas membuat negara rentan terhadap volatilitas harga global.

Terakhir, tinjauan terhadap kerjasama internasional menjadi penting. Di era fragmentasi geopolitik, Indonesia harus cerdas memilih aliansi ekonomi yang memberi keuntungan strategis, bukan sekadar memperbanyak perjanjian tanpa dampak nyata.

Agenda Moderat-Substansial: Koreksi dan Reorientasi

Jika langkah radikal terasa terlalu mengganggu stabilitas politik, pendekatan moderat-substansial dapat menjadi pilihan. Fokusnya adalah koreksi kebijakan yang dinilai keliru atau tidak produktif, termasuk kebijakan terkait BUMN.

BUMN masih memegang peran vital dalam ekonomi Indonesia. Namun, tidak sedikit yang menjadi beban fiskal karena inefisiensi. Koreksi kebijakan di sektor ini bukan hanya soal privatisasi, melainkan memastikan BUMN memiliki tata kelola sehat dan tidak sekadar menjadi instrumen politik.

Selain itu, kebijakan reindustrialisasi menjadi isu penting. Indonesia terlalu lama bergantung pada komoditas mentah dan ekspor berbasis sumber daya alam. Dani Rodrik (2015) menegaskan bahwa industrialisasi—terutama sektor manufaktur berteknologi menengah—merupakan jalur paling efektif bagi negara berkembang untuk naik kelas dalam ekonomi global.

Agenda moderat juga mencakup strategi masuk ke rantai suplai global, misalnya dalam industri baterai kendaraan listrik. Ini membutuhkan kombinasi kebijakan perdagangan, investasi, dan riset. Namun, ada pula dimensi politik: menjaga popularitas Presiden agar kebijakan yang sulit sekalipun tetap mendapat legitimasi publik.

Agenda Inkremental: Penyesuaian Bertahap

Pendekatan inkremental menekankan peninjauan ulang kebijakan sektoral. Misalnya, di bidang ketahanan pangan dan energi, Indonesia harus memperkuat kedaulatan agar tidak terlalu bergantung pada impor gandum, kedelai, maupun BBM.

Di bidang digitalisasi dan kecerdasan buatan (AI), kebijakan perlu diarahkan agar teknologi baru tidak hanya memperbesar kesenjangan, tetapi juga mendorong produktivitas nasional. Sementara itu, sektor pendidikan, kesehatan, dan agama juga memerlukan perbaikan regulasi agar lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Selain itu, reformasi birokrasi (RB) dan efektivitas tata kelola pemerintahan menjadi prasyarat. Tanpa birokrasi yang efisien, kebijakan secanggih apapun akan mandek di tingkat implementasi (Dwiyanto, 2018).

Pendekatan inkremental sering dipandang lebih realistis secara politik. Namun, risikonya adalah perubahan yang terlalu lambat sehingga Indonesia tertinggal dalam persaingan global.

Penutup: Tiga Jalan Dalam Satu Paket  

Ketiga agenda kebijakan ekonomi Indonesia 2025 adalah satu paket. Jalan radikal menjanjikan percepatan reformasi, namun memerlukan pemahaman dan solusi akan resistensi politik. Jalan moderat lebih realistis, dan membutuhkan konsistensi dalam koreksi kebijakan. Jalan inkremental relatif aman, dan tetap diperlukan untuk menjawab tantangan global.

Indonesia memerlukan langkah radikal di bidang fiskal dan industrialisasi, langkah moderat dalam perbaikan BUMN, serta langkah inkremental dalam kebijakan sektoral.

Seperti diingatkan Rodrik (2015), “tidak ada satu resep universal” dalam pembangunan ekonomi. Yang terpenting adalah konsistensi dan keberanian mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan nasional.

Referensi  

Dwiyanto, A. (2018). Reformasi Birokrasi di Indonesia. Gadjah Mada University Press.

Musgrave, R. A., & Musgrave, P. B. (1989). Public Finance in Theory and Practice. McGraw-Hill.

Nugroho, R, 2025, Public Policy, Elex/Gramedia.

Rodrik, D. (2015). Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science. W.W. Norton.

Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and Its Discontents. W.W. Norton.

World Bank. (2023). Indonesia Economic Prospects. Washington, DC.

McKinsey & Company. (2022). The Future of Indonesia’s Economy.

Avatar photo

Riant Nugroho

Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia

Articles: 50