Belakangan ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan fenomena munculnya simbol bendera tengkorak bajak laut dari serial One Piece, yang dikenal sebagai Jolly Roger. Simbol ini, yang secara budaya pop dimaknai sebagai lambang kebebasan dan solidaritas antaranggota kru bajak laut, mendadak menjadi kontroversi. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai bentuk pembangkangan terhadap negara.
Namun, jika ditelaah secara sosiologis dan dalam kerangka kebijakan publik, gejala ini tidak bisa dilihat semata-mata sebagai bentuk ancaman. Ia adalah umpan balik sosial terhadap kebijakan-kebijakan publik yang dirasakan sebagian masyarakat tidak berpihak, tidak komunikatif, atau tidak menyentuh aspirasi terdalam warganya—terutama generasi muda.
Daripada mempersoalkan simbolnya, pemerintah seharusnya membaca makna yang lebih dalam: ini adalah cermin, bukan senjata. Ia adalah respons simbolik terhadap kondisi sosial-politik yang dirasakan masyarakat.
Jolly Roger: Simbol Imajinatif Perlawanan, Bukan Makar
Dalam jagat One Piece, bajak laut bukan sekadar perampok laut. Luffy dan krunya justru digambarkan sebagai kelompok yang menolak tunduk pada sistem pemerintahan dunia yang korup, otoriter, dan menindas. Simbol Jolly Roger bukan hanya tengkorak, tapi identitas kelompok yang memperjuangkan nilai: kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.
Psikolog dan sosiolog budaya John Storey (2018) menulis bahwa budaya populer sering menjadi kanal perlawanan diam-diam terhadap struktur kekuasaan hegemonik. Simbol dalam budaya pop sering diadopsi oleh masyarakat sebagai metafora untuk mengekspresikan perasaan tidak puas, frustrasi, atau harapan akan perubahan.
Dalam hal ini, Jolly Roger bukan simbol perlawanan bersenjata, tetapi simbol ekspresi atas ketidakpuasan terhadap kebijakan negara yang dianggap tidak akomodatif terhadap aspirasi masyarakat—terutama generasi muda yang semakin sadar terhadap hak-hak sipil, ekspresi bebas, dan keadilan sosial.
Umpan Balik dalam Kebijakan Publik: Harus Didengar, Bukan Dihabisi
Dalam literatur kebijakan publik, feedback atau umpan balik dari masyarakat merupakan elemen penting dalam siklus kebijakan. Menurut Charles Lindblom (1959) dalam tulisannya “The Science of Muddling Through”, kebijakan tidak pernah benar-benar rasional secara absolut. Ia selalu dikoreksi melalui proses bertahap (incremental), berdasarkan respons masyarakat yang terkena dampaknya.
Karenanya, umpan balik sosial adalah bagian dari proses pembelajaran kebijakan (policy learning), sebagaimana dijelaskan oleh Peter Hall (1993) dalam model three orders of policy change. Ketika masyarakat memberikan sinyal melalui aksi simbolik—termasuk memakai simbol budaya pop seperti Jolly Roger—pemerintah seharusnya menginterpretasikannya sebagai bahan evaluasi.
Lebih lanjut, Donald Schön dan Chris Argyris (1996) menyebut bahwa organisasi publik yang sehat adalah yang mampu beroperasi dalam mode double-loop learning—yakni belajar tidak hanya dari kesalahan kebijakan, tetapi juga dari cara berpikir yang mendasari kebijakan itu sendiri. Bila generasi muda mengibarkan bendera One Piece, ini bisa dibaca sebagai “pertanyaan balik” terhadap cara negara memperlakukan kebebasan berekspresi, keadilan hukum, dan perlakuan terhadap masyarakat kecil.
Komunikasi Kebijakan yang Terputus: Penyebab Simbolisme Sosial Muncul
Salah satu faktor yang memperbesar jurang antara pembuat kebijakan dan masyarakat adalah kegagalan dalam komunikasi kebijakan. Pemerintah sering mengandalkan sosialisasi satu arah yang berorientasi pada “penyampaian informasi,” bukan “membangun dialog.”
Menurut Thomas T. Barker dan Larry D. Lee (2003), komunikasi kebijakan yang baik mensyaratkan dua hal: clarity (kejelasan) dan responsiveness (kemampuan untuk merespons balik). Sayangnya, dalam praktik, kebijakan sering dikomunikasikan secara teknokratik, legalistik, dan jauh dari bahasa warga.
Kondisi ini mendorong publik untuk mencari saluran alternatif dalam mengekspresikan keresahan mereka. Dunia digital, media sosial, dan budaya populer menjadi panggung di mana warga dapat “berbicara” tanpa harus melalui kanal resmi. Ini bukan bentuk perlawanan, melainkan respons alami ketika warga merasa tak terdengar.
Fenomena One Piece: Ekspresi Batin, Bukan Agenda Politik
Generasi muda Indonesia hidup dalam dunia yang penuh dengan simbol, makna, dan keterhubungan global. Mereka besar dalam budaya digital, interaksi global, dan akses informasi lintas batas. Dalam konteks ini, simbol Jolly Roger bukanlah upaya menggulingkan negara, tetapi cara mereka berbicara tentang kegelisahan, harapan, dan mimpi yang tak tercapai dalam sistem yang ada.
Jika simbol ini muncul dalam demonstrasi, mural, atau karya seni digital, maka itu adalah ekspresi kultural yang memiliki nilai sosial. Seperti disampaikan oleh Clifford Geertz (1973), simbol-simbol kultural adalah “model dari dan model bagi” realitas sosial. Ia mencerminkan bagaimana masyarakat melihat dunia, sekaligus mencoba membentuk dunia baru melalui simbol tersebut.
Menjawab dengan Kebijakan yang Lebih Baik
Alih-alih bereaksi dengan stigmatisasi, negara seharusnya menunjukkan kedewasaan demokrasi dengan antara lain, mengakui dan memahami bahwa fenomena ini adalah bentuk feedback atas ketimpangan dalam kebijakan publik; melibatkan masyarakat, khususnya anak muda, dalam perumusan kebijakan yang berdampak pada kehidupan mereka; mengembangkan komunikasi dua arah, berbasis empati dan dialog, bukan sekadar penegakan peraturan; dan mereformasi cara pemerintah merespons keresahan publik, bukan dengan pendekatan keamanan, melainkan melalui pendekatan sosial-kultural.
Respon yang represif justru akan memperkuat alienasi politik dan memperlebar ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara. Sebaliknya, bila simbol seperti Jolly Roger dibaca sebagai jendela hati rakyat, maka negara akan mampu merancang kebijakan yang tidak hanya legal, tetapi juga legitimate dan diterima oleh publik.
Penutup: Pemerintah yang Cerdas Belajar dari Warga
Pemerintah yang kuat bukanlah yang memadamkan setiap bentuk kritik dan simbol alternatif, tetapi yang mampu belajar dari warga, bahkan dari simbol-simbol yang tidak nyaman. Seperti kata akademisi kebijakan Michael Lipsky (1980), “kebijakan publik bukan hanya apa yang ditulis dalam dokumen, tetapi apa yang benar-benar terjadi di lapangan.”
Dan hari ini, apa yang terjadi di lapangan adalah munculnya simbol One Piece sebagai ekspresi kegelisahan, impian, dan kritik. Itu bukan tanda makar. Itu adalah suara. Dan suara, dalam negara demokrasi, adalah sumber sah kebijakan yang adil.
Referensi:
- Hall, Peter A. (1993). Policy Paradigms, Social Learning and the State: The Case of Economic Policymaking in Britain. Comparative Politics.
- Lindblom, Charles E. (1959). The Science of “Muddling Through”. Public Administration Review.
- Schön, Donald A., & Argyris, Chris. (1996). Organizational Learning II: Theory, Method, and Practice. Addison-Wesley.
- Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.
- Lipsky, Michael. (1980). Street-Level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Services. Russell Sage Foundation.
- Storey, John. (2018). Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction. Routledge.