Apakah Indonesia Sedang Bergerak Menuju Surveillance State atau Police State?

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia terlihat semakin aktif membangun infrastruktur digital untuk mendukung pemerintahan yang lebih efisien. Kita menyaksikan hadirnya identitas digital, registrasi NIK pada semua SIM card, pelacakan transaksi digital melalui Payment ID, dan pengembangan sistem kecerdasan artifisial (AI) di berbagai sektor. Di saat yang sama, muncul pula gejala peningkatan kekuatan aparat keamanan, baik dalam ruang fisik maupun digital, mulai dari pengawasan protes, kriminalisasi opini publik, hingga disinformasi yang diduga disebarkan oleh aktor negara.

Pertanyaannya: Apakah Indonesia sedang bergerak menuju sebuah surveillance state atau bahkan police state? Ini bukan tudingan, melainkan pertanyaan kritis yang penting diajukan—terutama karena banyak kebijakan digital dilakukan tanpa debat publik yang memadai, dan berlangsung di bawah bayang-bayang klaim efisiensi dan keamanan nasional.

Surveillance State atau Police State

Istilah surveillance state merujuk pada negara yang memantau warganya secara sistematis, terus-menerus, dan mendalam menggunakan teknologi digital. Dalam pengertian ini, yang diawasi bukan hanya gerakan fisik, tetapi juga pikiran dan niat—melalui data perilaku, preferensi belanja, lokasi, bahkan interaksi sosial online. Indonesia menuju ke sana?

Pertama, Nomor Induk Kependudukan (NIK) kini diwajibkan sebagai syarat hampir semua aktivitas administratif: membuka rekening, mendaftar SIM card, BPJS, bahkan aplikasi ride-hailing. Ke dua, Payment ID, yang akan diluncurkan pada 17 Agustus 2025, menghubungkan NIK dengan seluruh transaksi digital, memungkinkan otoritas fiskal dan lembaga lain melihat aliran keuangan personal warga.

Ke tiga, kamera pengawas dan teknologi pengenalan wajah mulai diterapkan di beberapa kota, tanpa kerangka hukum perlindungan yang jelas. Ke empat, UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) sudah disahkan, tetapi belum ada otoritas independen yang memantau penggunaan dan penyalahgunaan data oleh lembaga negara sendiri.

Dalam buku The Age of Surveillance Capitalism (2019), Shoshana Zuboff memperingatkan bahwa teknologi bukan lagi sekadar alat, tetapi telah menjadi struktur kekuasaan baru—dan ketika negara mengadopsi logika kapitalisme pengawasan, maka yang terjadi adalah “instrumentarian power”: kekuasaan yang bekerja dengan memengaruhi dan mengarahkan manusia melalui data.

Indonesia belum sepenuhnya menjadi surveillance state, tetapi fondasinya sedang dibangun dengan sangat cepat, tanpa jaminan batasan kekuasaan dan akuntabilitas.

Sementara itu, police state adalah bentuk pemerintahan di mana kekuatan aparat keamanan menjadi instrumen utama kontrol sosial dan politik. Hukum dijalankan secara selektif, kebebasan berpendapat dibatasi, dan oposisi dikriminalisasi.
Beberapa gejala ke arah ini terlihat pula di Indonesia.

Pertama, pasal-pasal karet dalam UU ITE masih digunakan untuk menjerat kritik terhadap pejabat atau pemerintah. Ke dua, Laporan SAFEnet (2023) mencatat peningkatan jumlah warga yang dikriminalisasi karena konten di media sosial, termasuk jurnalis, aktivis, dan pelajar. Ke tiga, aparat keamanan masih dominan dalam pendekatan terhadap protes atau unjuk rasa, alih-alih pendekatan persuasif atau dialogis. Ke empat, dalam konteks Pemilu 2024, banyak laporan mengenai penyalahgunaan aparat sipil dan militer untuk mengarahkan pilihan politik, meskipun sulit dibuktikan secara terbuka.

Namun berbeda dengan negara polisi klasik seperti Korea Utara atau zaman Orde Baru, bentuk represi di Indonesia kini lebih terselubung dan digital. Alih-alih menurunkan tentara ke jalan, kini negara cukup menyebarkan narasi tandingan, mematikan akun aktivis, atau menyebar bot untuk mendiskreditkan kritik di media sosial.

Perpaduan Baru: Techno-Authoritarianism?

Apakah Indonesia sedang menuju salah satu dari dua ekstrem ini? Kemungkinan besar bukan salah satunya, melainkan kombinasi keduanya dalam bentuk baru: techno-authoritarianism.

Istilah ini digunakan oleh Yuval Noah Harari dan Francis Fukuyama untuk menggambarkan rejim yang menggunakan teknologi tinggi—AI, big data, dan jaringan komunikasi—untuk memusatkan kekuasaan, mengatur kehidupan sosial, dan melemahkan kontrol demokrasi.

Indonesia belum sampai ke tahap itu, tetapi kita perlu menyadari bahwa efisiensi bukan alasan untuk melemahkan kebebasan. Sistem seperti Payment ID dan Single Identity Number harus dibatasi penggunaannya melalui UU yang ketat dan pengawasan independen. Kemudian, keamanan bukan alasan untuk mengabaikan hak asasi manusia. Negara harus memastikan bahwa pemantauan aktivitas digital tidak melanggar hak konstitusional atas privasi, kebebasan berpendapat, dan non-diskriminasi. Dan, Pembangunan teknologi harus disertai literasi digital warga. Tanpa pemahaman kritis, warga akan menerima sistem pengawasan tanpa menyadari konsekuensinya.

Akhirnya, setidaknya ada empat agenda bersama. Pertama, perkuat lembaga pengawasan data yang independen.Jangan biarkan hanya satu lembaga negara yang mengendalikan sistem identitas dan transaksi warga tanpa audit publik. Ke dua, revisi UU ITE dan hentikan kriminalisasi ekspresi. Hak untuk berbeda pendapat adalah fondasi demokrasi, bukan musuh pemerintah. Ke tiga, buka ruang partisipasi publik dalam perumusan teknologi negara. Sistem identitas digital, sistem pembayaran, dan AI publik harus dibahas terbuka, bukan disusun secara tertutup di meja birokrasi. Ke empat, dorong kolaborasi antara masyarakat sipil, media, dan akademisi untuk mengawasi penggunaan teknologi oleh negara.

Penutup: Demokrasi Digital atau Disiplin Digital?

Indonesia berada pada persimpangan jalan penting: antara menggunakan teknologi digital untuk memperkuat partisipasi warga, atau menjadikannya alat pengawasan diam-diam. Apakah kita akan memiliki demokrasi digital, di mana teknologi memperkuat suara rakyat, atau justru masuk ke era disiplin digital, di mana setiap tindakan dan transaksi dipantau demi stabilitas yang semu? Jawabannya tidak terletak hanya pada pemerintah, tetapi juga pada kesadaran kolektif publik. Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi soal hak warga untuk hidup tanpa rasa takut, termasuk di dunia digital.

Avatar photo

Riant Nugroho

Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia

Articles: 46