Kolaborasi, Mengapa Tidak Cukup?

Pada banyak kesempatan, saya menemukan banyak pejabat menggunakan kata “kolaborasi” sebagai kata sakti. Setiap masalah, ketika dilakukan kolaborasi, mendadak, rasanya, sim sala bim, selesai. Istilah “kolaboratif” di sektor publik nampaknya muncul sejak tahun 2010an, diawali dari buku John D. Donaue dan Richard J. Zeckhauser Collaborative Governance: Private Roles for Public Goals in Turbulent Times (2012) yang mengisahkan bahwa Pemerintah terlalu sering kekurangan keterampilan, kemauan, dan dana untuk memenuhi misinya. Sekolah tidak mencapai sasaran sementara jalan dan jembatan rusak. Biaya perawatan kesehatan terlalu mahal dan hasilnya terlalu sedikit. Anggaran terkuras habis karena biaya layanan yang diinginkan warga melebihi pajak yang bersedia mereka bayar. Collaborative Governance menawarkan solusi agar pemerintah di setiap tingkatan melibatkan sektor swasta untuk mengatasi masalah yang tampaknya tidak dapat diatasi dan mencapai tujuan publik dengan lebih efektif.

Menurut saya, kolaborasi adalah bentuk relasi paling longgar antar entitas, karena tidak mensyaratkan kontribusi formal atau ikatan struktural, serta dapat dihentikan kapan saja oleh pihak yang merasa tidak lagi relevan. Sementara itu, kemitraan adalah relasi yang longgar, namun sudah meningkat komitmennya. Kerja sama menunjukkan tingkat ikatan yang lebih tinggi dengan komitmen kontribusi.  Aliansi menandai keterhubungan yang sangat strategis, sulit dipisahkan, serta diarahkan untuk membentuk kekuatan kolektif yang lebih besar. Koordinasi, berbeda dari yang lain, terjadi dalam sistem hierarkis dan struktural.

Spektrum Relasi Antarlembaga: Dari Kolaborasi hingga Orkestrasi

Dalam praktik hubungan antarlembaga, terdapat beragam bentuk relasi dengan tingkat ikatan, struktur, dan komitmen yang berbeda. Enam istilah yang kerap muncul—kolaborasi, kemitraan, kerja sama, aliansi, koordinasi, dan orkestrasi—menunjukkan spektrum relasi dari yang paling longgar hingga yang paling terstruktur. Memahami perbedaannya menjadi penting untuk menyesuaikan strategi tata kelola dan manajemen antarorganisasi.

1. Kolaborasi: Relasi Paling Longgar

Kolaborasi adalah bentuk relasi paling fleksibel dan tidak mengikat. Ia tidak mensyaratkan adanya kontrak formal, struktur, atau komitmen jangka panjang. Kolaborasi sering lahir dari kebutuhan bersama yang situasional dan dapat dihentikan kapan saja oleh salah satu pihak. Dikatakan oleh Gray (1989) dalam Collaborating: Finding Common Ground for Multiparty Problems, bahwa “Collaboration is a process through which parties who see different aspects of a problem can constructively explore their differences and search for solutions that go beyond their own limited vision.”

Kolaborasi cenderung bersifat informal dan dapat terjadi secara spontan, sebagai respons terhadap situasi tertentu tanpa desain kelembagaan yang kuat.

2. Kemitraan: Relasi yang Komitmennya Meningkat

Kemitraan (partnership) merupakan relasi yang sudah mengandung unsur komitmen yang lebih tinggi daripada kolaborasi. Meski masih bersifat longgar dalam struktur, kemitraan menuntut adanya kesepahaman, tujuan bersama, dan kontribusi sumber daya yang lebih jelas. Dikatakan Brinkerhoff (2002) dalam Partnerships for International Development bahwa “Partnerships involve a shared commitment to mutual goals, shared responsibility, and a long-term orientation, although each partner retains its organizational independence.” Dalam konteks pembangunan, kemitraan kerap dipromosikan sebagai bentuk kerja lintas sektor antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil.

3. Kerja Sama: Relasi Formal dengan Komitmen Tinggi

Kerja sama (cooperation) menunjukkan adanya relasi formal antarorganisasi yang ditandai oleh komitmen kontribusi yang jelas—baik dalam bentuk waktu, sumber daya, maupun pembagian tugas. Kerja sama bersifat lebih terencana, seringkali dituangkan dalam perjanjian tertulis. Dikatakan Mattessich & Monsey (1992), Collaboration: What Makes It Work bahwa “Cooperation entails parties working together toward compatible goals and involving some degree of role specification, division of labor, and resource commitment.” Kerja sama umumnya didasari oleh kesetaraan peran meskipun tidak selalu simetris dalam kapasitas dan sumber daya.

4. Aliansi: Relasi Strategis dan Sulit Dipisahkan

Aliansi (alliance) adalah bentuk hubungan strategis yang dibentuk dengan orientasi jangka panjang dan tujuan kolektif yang lebih besar. Berbeda dari kerja sama yang lebih operasional, aliansi bersifat transformasional dan diarahkan untuk membentuk kekuatan bersama. Dikatakan Gulati (1998) dalam Alliances and Networks bahwa “Strategic alliances are cooperative arrangements between organizations that involve the sharing of resources, capabilities, or core competencies to pursue mutual interests.” Aliansi menandai keterhubungan yang sulit dipisahkan dan memerlukan tata kelola bersama yang kompleks.

5. Koordinasi: Relasi dalam Sistem Hierarkis

Koordinasi (coordination) mengacu pada hubungan yang bersifat struktural, umumnya berlangsung dalam kerangka sistem formal atau hirarkis. Tujuan utamanya adalah menghindari duplikasi dan memastikan keselarasan antarkegiatan atau unit organisasi. Dikatakan Mintzberg (1979) dalam The Structuring of Organizations bahwa “Coordination refers to the alignment and integration of activities across different actors or units to achieve efficiency and goal congruence.” Koordinasi biasanya dilakukan melalui pengaturan tugas, waktu, prosedur, dan struktur tanggung jawab yang jelas.

6. Orkestrasi: Koordinasi Cerdas Tanpa Hirarki

Orkestrasi (orchestration) adalah bentuk lanjutan dari koordinasi, namun dijalankan secara cerdas dan efisien tanpa kesan pemaksaan atau hierarki yang kaku. Dalam konteks ini, satu pihak bertindak sebagai “dirigen” yang menyelaraskan banyak aktor otonom agar mencapai harmoni tujuan. Dikatakan Dhanaraj & Parkhe (2006) dalam Orchestrating Innovation Networks bahwa “Orchestration is the ability to purposefully and creatively align the interests and capabilities of dispersed actors in service of a collective outcome—without direct authority.” Orkestrasi menandai bentuk tata kelola relasi antar-entitas pada tingkat yang tinggi, dan hanya dapat dilakukan oleh organisasi dengan kepemimpinan dan SDM yang berkualitas tinggi.

Penutup

Dengan memahami spektrum relasi ini, organisasi dapat lebih cermat memilih bentuk hubungan yang sesuai dengan tujuan strategis, konteks institusional, dan sumber daya yang tersedia. Perbedaan antara kolaborasi yang longgar hingga orkestrasi yang cerdas menunjukkan bahwa tidak semua relasi antarlembaga harus dimaknai dalam bingkai yang sama.

Pemahaman ini perlu diangkat, karena Pemerintah dan publik teramat sering menggunakan istilah kolaborasi untuk menyebut relasi terbaik antar entitas, Padahal tidak demikian. Pemahaman delusif ini perlu untuk segera didasari dan diperbaiki.

Avatar photo

Riant Nugroho

Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia

Articles: 34