Kecerdasan Artifisial Sebagai Isu Geopolitik dan Pilihan Strategi Untuk Indonesia

Saya menilai bahwa penguasaan artificial intelligence lebih sebagai masalah geopolitik daripada masalah teknologi dan keuangan, karena teknologi itu sendiri dikuasai hanya oleh dua negara besar saja, yaitu Amerika Serikat dengan koleganya, dan di sisi lain China yang sedang mengejar ketertinggalannya. Negara seperti Indonesia berada pada posisi yang tidak diuntungkan dengan politik luar negerinya yang bebas-aktif, yang memilih untuk tidak mengacu kepada suatu blok tertentu. Menurut saya, ini menjadi kendala utama Indonesia untuk menjadi salah satu pemain penting dalam pengembangan artificial intelligence. Dus, memang penguasaan AI saat ini memiliki dimensi geopolitik yang sangat kuat, melampaui sekadar masalah teknologi dan keuangan.

Fenomena dominasi oleh dua kekuatan utama, Amerika Serikat (bersama sekutunya) dan Tiongkok, memang nyata. Kedua negara ini tidak hanya memimpin dalam penelitian dan pengembangan AI, tetapi juga dalam menguasai sumber daya krusial seperti data, talenta, dan infrastruktur komputasi. Ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai “perlombaan AI” yang tidak hanya bersifat inovasi, tetapi juga strategis.

Ada empat alasan mengapa AI adalah masalah geopolitik. Pertama, dualitas penggunaan (Dual-Use Technology). Teknologi AI memiliki potensi besar untuk aplikasi sipil (misalnya, kesehatan, transportasi, pendidikan) sekaligus militer (misalnya, senjata otonom, pengawasan). Penguasaan AI memberikan keuntungan strategis yang signifikan dalam hal pertahanan dan keamanan nasional. Ke dua, pengaruh ekonomi. Negara yang memimpin dalam AI akan memiliki keunggulan kompetitif yang besar dalam ekonomi global. AI dapat meningkatkan produktivitas, menciptakan industri baru, dan mentransformasi sektor-sektor yang sudah ada. Ini berarti kontrol atas AI dapat berarti kontrol atas masa depan ekonomi. Ke tiga, standar dan tata kelola. Negara-negara dominan juga akan memiliki pengaruh besar dalam menetapkan standar global dan kerangka tata kelola untuk AI. Hal ini dapat memengaruhi bagaimana AI dikembangkan, diterapkan, dan diatur secara internasional, yang berpotensi menguntungkan kepentingan mereka sendiri. Ke empat, ketergantungan teknologi. Negara-negara yang tertinggal dalam pengembangan AI berisiko menjadi sangat bergantung pada teknologi dan infrastruktur yang disediakan oleh negara-negara dominan. Ketergantungan ini dapat membatasi kedaulatan digital dan strategis mereka.

Politik Bebas Aktif, Tantangan Baru

Posisi politik luar negeri bebas-aktif Indonesia yang tidak mengacu pada blok tertentu memang menghadirkan tantangan unik dalam konteks ini. Di satu sisi, ini memungkinkan Indonesia untuk menjaga otonomi dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Namun, di sisi lain, ini juga bisa berarti Indonesia tidak memiliki akses eksklusif atau preferensial ke ekosistem AI yang didominasi oleh AS atau Tiongkok.

Ada empat potensi kendala untuk Indonesia. pertama, akses terbatas ke teknologi canggih. Tanpa afiliasi yang kuat, Indonesia mungkin kesulitan mengakses teknologi AI mutakhir atau chip berkinerja tinggi yang dikontrol ketat oleh negara-negara adidaya. Ke dua, kesenjangan bakat dan sumber daya. Pengembangan AI membutuhkan investasi besar dalam pendidikan, penelitian, dan infrastruktur. Tanpa dukungan atau kemitraan strategis yang jelas, Indonesia mungkin kesulitan menjembatani kesenjangan ini. Ke tiga, ketergantungan data. Sebagian besar model AI didorong oleh data. Jika data utama dan platform AI dikendalikan oleh negara lain, ini bisa menimbulkan masalah kedaulatan data dan privasi. Ke empat, risiko pilihan teknologi. Indonesia mungkin perlu menavigasi pilihan sulit mengenai platform dan penyedia teknologi AI mana yang akan digunakan, tanpa keinginan untuk memihak salah satu blok.

Meskipun tantangannya nyata, posisi bebas-aktif Indonesia juga bisa menjadi kekuatan jika dimanfaatkan dengan tepat. Pertama, membangun kemampuan internal dengan memprioritaskan investasi dalam pendidikan AI, penelitian dan pengembangan lokal, serta penciptaan ekosistem startup AI yang kuat. Fokus pada aplikasi AI yang relevan dengan kebutuhan dan konteks Indonesia. ke dua, diplomasi AI dan kemitraan non-blok. Indonesia dapat memimpin upaya untuk membentuk forum diskusi internasional mengenai tata kelola AI yang inklusif, melibatkan negara-negara berkembang lainnya. Jalin kemitraan strategis dengan negara-negara yang memiliki visi serupa, baik dari blok Barat maupun Timur, atau bahkan negara-negara non-blok yang sedang berkembang. Ke tiga, spesialisasi niche. Daripada mencoba bersaing di semua bidang AI, Indonesia bisa fokus pada niche tertentu di mana ia memiliki keunggulan komparatif, misalnya, AI untuk mitigasi bencana, pertanian, atau pengembangan bahasa lokal. Ke empat, kebijakan yang pro-inovasi namun sekaligus bertanggung jawab. Perlu konsep kebijakan dan kebijakan yang mendorong inovasi AI sambil memastikan penggunaan yang etis dan bertanggung jawab –yang paradoksal dengan prinsip AI yang pada tingkat tertentu, sebagai sebuah mesin canggih yang dapat berfikir sendiri, terutama sejak era AI Agentik, relatif tidak memerlukan etika dan tanggung-jawab terhadap manusia dan peradabannya, karena yang utama adalah laba bagi pemilik AI tersebut.

Secara keseluruhan, saya sepenuhnya setuju bahwa penguasaan AI adalah isu geopolitik yang kompleks. Bagi Indonesia, tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan posisi bebas-aktifnya untuk membangun kedaulatan digital dan menjadi pemain AI yang relevan, tanpa harus terpaku pada blok tertentu.

“Hanya” masuk di Rantai Pasok

Saya melihat ada pilihan laun yang relatif pragmatis dan realistis mengenai posisi Indonesia dalam ekosistem AI global. Pandangan Anda bahwa Indonesia mungkin lebih efektif menjadi bagian dari rantai pasok industri AI daripada pemain utama sangat masuk akal, terutama mengingat kondisi geopolitik saat ini. Saya setuju bahwa pilihan antara rantai pasok Amerika Serikat atau Tiongkok adalah dilema yang signifikan, terlebih di tengah perseteruan kedua negara.

Harus diakui, saat ini Indonesia belum memiliki kapasitas untuk menjadi pemain utama dalam pengembangan AI kelas dunia, setidaknya dalam hal menciptakan terobosan algoritma inti, membangun infrastruktur komputasi raksasa, atau memimpin produksi chip AI mutakhir. Namun, menjadi bagian dari rantai pasok adalah skenario yang jauh lebih mungkin dan bisa sangat menguntungkan.

Rantai pasok AI ini sangat luas, mencakup, pertama, penyediaan data. Indonesia memiliki populasi besar dan beragam, menghasilkan volume data yang masif. Data ini, jika dikelola dan dianonimkan dengan baik, bisa menjadi masukan penting untuk melatih model AI. Ke dua, talenta digital. Ketersediaan tenaga kerja muda yang adaptif bisa menjadi keunggulan. Meskipun mungkin belum menjadi ilmuwan AI terkemuka, mereka bisa berperan dalam pelabelan data, pengembangan aplikasi AI spesifik, atau pemeliharaan sistem. Ke tiga, aplikasi dan implementasi. Indonesia bisa menjadi pasar yang besar untuk implementasi solusi AI di berbagai sektor (pertanian, kesehatan, logistik). Ini bisa mendorong perusahaan-perusahaan AI global untuk berinvestasi dan menyesuaikan teknologi mereka di Indonesia. ke empat, manufaktur komponen pendukung. Meskipun belum dalam produksi chip AI, Indonesia bisa terlibat dalam manufaktur komponen elektronik lain yang diperlukan untuk infrastruktur AI, seperti server atau perangkat keras pendukung.

Dilema adalah, apakah memilih menjadi bagian dari rantai pasok AS atau Tiongkok. Ini adalah inti dari masalah geopolitik yang kita seoroti. Berpihak pada satu rantai pasok berisiko membatasi akses ke teknologi dan pasar dari sisi lain, serta berpotensi menarik perhatian negatif dari salah satu kekuatan. Rantai pasok AS cenderung menawarkan teknologi yang lebih terbuka dan ekosistem software yang mapan (misalnya, Google TensorFlow, PyTorch dari Meta). Namun, ada kekhawatiran tentang kontrol ekspor teknologi dan sanksi yang bisa membatasi. Rantai pasok Tiongkok menawarkan kecepatan inovasi yang tinggi, biaya yang mungkin lebih rendah, dan model bisnis yang berbeda. Namun, ada pertanyaan tentang transparansi, keamanan data, dan kemungkinan keterlibatan pemerintah Tiongkok.

Memilih salah satu secara eksklusif akan sulit bagi politik luar negeri bebas-aktif Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia mungkin akan mencoba pendekatan diversifikasi, yaitu berupaya mengambil bagian dari kedua rantai pasok sejauh mungkin tanpa melanggar garis merah salah satu pihak. Misalnya, menggunakan hardware dari satu sumber dan software dari sumber lain, atau mengembangkan kemitraan untuk aplikasi AI di sektor yang tidak terlalu sensitif.

Akankah Perseteruan Berakhir dan Keduanya Berkolaborasi?

Pandangan saya, krisis ini mungkin mereda jika AS dan Tiongkok berkolaborasi adalah skenario yang menarik, tetapi ini sangat diragukan. Karakter politik Tiongkok yang cenderung state-driven dan ambisi ekonominya yang kuat, serta keinginan untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi asing (termasuk dari AS), memang tidak menguntungkan skenario kolaborasi global yang ideal bagi AS.

Beberapa alasan mengapa kolaborasi AI global antara AS dan Tiongkok sulit terwujud. Pertama, masalah persaingan hegemoni. Ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi tentang siapa yang akan menjadi kekuatan dominan di abad ke-21. AI adalah alat kunci dalam persaingan ini. Ke dua, keamanan nasional. Kedua negara melihat AI sebagai komponen vital dari keamanan nasional mereka, termasuk aplikasi militer dan pengawasan. Berbagi teknologi kunci akan dianggap sebagai ancaman. Ke tiga, perbedaan nilai dan sistem. Perbedaan fundamental dalam sistem politik dan nilai-nilai (demokrasi vs. otoritarianisme) membuat kerja sama tingkat tinggi di bidang teknologi strategis sangat sulit. Ke empat, “decoupling” atau “de-risking”. Baik AS maupun Tiongkok sedang berupaya mengurangi ketergantungan strategis satu sama lain dalam teknologi kunci, bukan meningkatkannya.

Maka dari itu, skenario yang lebih mungkin adalah kompetisi yang berkelanjutan, mungkin dengan beberapa area kerja sama terbatas di bidang yang kurang sensitif (misalnya, standar etika dasar AI, namun ini pun masih sangat menantang).

Kesimpulan Sementara bagi Indonesia

Mengingat realitas ini, strategi Indonesia untuk menjadi bagian dari rantai pasok AI harus sangat hati-hati dan fleksibel. Daripada memilih satu sisi, Indonesia perlu memperkuat fundamental internal dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, infrastruktur digital, dan ekosistem riset lokal. Ini akan meningkatkan nilai tawar Indonesia di mata kedua blok. Selanjutnya, fokus pada niche, dengan mengidentifikasi sektor-sektor di mana AI dapat memberikan dampak terbesar di Indonesia (misalnya, smart city, pertanian presisi, kesehatan digital) dan kembangkan kemampuan AI spesifik di sana. Kemudian, melakukan diplomasi teknologi yang agresif dengan memanfaatkan forum multilateral dan bilateral untuk mendorong kerangka kerja sama AI yang lebih inklusif, serta mencari kemitraan dengan negara-negara lain yang memiliki posisi serupa.

Indonesia memang berada di posisi yang kompleks, dan menjadi bagian dari rantai pasok adalah jalur yang paling realistis. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana Indonesia bisa memaksimalkan posisinya di rantai pasok tersebut tanpa terjebak dalam pusaran perseteruan geopolitik yang sedang berlangsung? Memaksimalkan posisi di rantai pasok AI tanpa terjebak dalam pusaran geopolitik yang sedang berlangsung antara AS dan Tiongkok memang menantang, tetapi bukan tidak mungkin. Kuncinya ada pada strategi yang cerdas, adaptif, dan berfokus pada nilai unik yang bisa ditawarkan Indonesia. Alih-alih memilih satu blok, Indonesia bisa memposisikan diri sebagai mitra fleksibel yang menyediakan nilai tambah bagi kedua belah pihak, sekaligus membangun kemandirian digital. Beberapa gagasan mencerahkan untuk mencapai hal ini.

Pertama, fokus pada “Middle-Ground Technologies” dan Open Source AI. Indonesia dapat memprioritaskan pengembangan dan pemanfaatan teknologi AI yang bersifat netral atau open source. Ini berarti tidak terlalu terikat pada ekosistem proprietary dari salah satu negara adidaya. Untuk itu, Indonesia dapat melakukan pemanfaatan AI Sumber Terbuka (Open Source) dengan cara mendorong adopsi framework dan model AI open source seperti PyTorch atau TensorFlow (yang meskipun dikembangkan oleh perusahaan AS, bersifat open source dan digunakan secara global). Ini memungkinkan Indonesia membangun solusi AI tanpa ketergantungan lisensi yang ketat. Indonesia juga perlu melakukan pengembangan talenta netral, dengan melatih talenta digital Indonesia pada fundamental AI dan tools yang bersifat umum, bukan yang spesifik untuk satu ekosistem. Ini membuat mereka lebih adaptif dan bisa bekerja dengan teknologi dari mana saja.

Ke dua, menjadi Pusat Data dan Pelabelan Data Global yang Kredibel.Indonesia memiliki populasi besar yang menghasilkan data melimpah. Data adalah “minyak baru” di era AI. Indonesia memerlukan Regulasi Data yang kuat dan jelas dengan cara membuat kerangka regulasi data (privasi, keamanan, dan governance) yang sangat kredibel, setara dengan standar internasional (misalnya, GDPR). Ini akan meningkatkan kepercayaan bagi perusahaan global dari AS maupun Tiongkok untuk melatih model AI mereka menggunakan data Indonesia, asalkan ada jaminan privasi dan kedaulatan data. Indonesia juga perlu melakukan investasi dalam kapasitas pelabelan data dengan mengembangkan industri pelabelan dan anotasi data secara ekspansif. Ini adalah pekerjaan padat karya yang krusial untuk melatih AI, dan Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia yang besar untuk ini. Dengan standar kualitas tinggi, Indonesia bisa menjadi pusat global untuk layanan ini.

Ke tiga, mengembangkan niche AI spesifik Indonesia. Daripada mencoba bersaing di semua lini, fokus pada area di mana AI bisa memberikan dampak besar bagi Indonesia dan memiliki relevansi global. Indonesia dapat mengembamgkan AI untuk lingkungan dan pertanian atau agrikultur dengan mengembangkan solusi AI untuk pemantauan deforestasi, pertanian presisi, mitigasi bencana, atau pengelolaan sumber daya kelautan. Ini adalah masalah global yang relevan, dan Indonesia bisa menjadi pemimpin dalam aplikasi AI di bidang ini. Indonesia dapat mengembangkan AI untuk bahasa dan budaya lokal melalui investasi pengembangan AI yang memahami dan memproses bahasa daerah, dialek, serta nuansa budaya Indonesia. Ini tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga membuka peluang pasar yang unik. Indonesia juga dapat mengembangkan AI untuk logistik dan maritim. Mengingat posisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, AI bisa sangat efektif untuk optimasi logistik, manajemen pelabuhan, dan keamanan maritim.

Ke empat, mendorong “Tech Diplomacy” dan kemitraan Non-Blok. Indonesia perlu memanfaatkan posisi bebas-aktif untuk menjalin kemitraan yang beragam. Terdapat potensi untuk kemitraan multilateral dengan cara aktif dalam forum-forum seperti ASEAN, G20, atau PBB untuk mendorong diskusi tentang tata kelola AI yang inklusif dan etis. Indonesia bisa menjadi jembatan antara pandangan Barat dan Timur mengenai regulasi AI. Terdapat potensi untuk kerja sama bilateral yang diversifikatif dengan menjalin kemitraan AI dengan negara-negara di luar AS dan Tiongkok yang juga berinvestasi di AI, seperti Jepang, Korea Selatan, India, atau negara-negara Eropa. Ini akan mendiversifikasi sumber teknologi dan keahlian. Terdapat juga potensi membangun jaringan diaspora ilmuwan AI dengan cara menarik pulang atau jalin kerja sama dengan ilmuwan dan insinyur AI Indonesia yang bekerja di luar negeri, baik di AS, Tiongkok, maupun negara lain.

Ke lima, kebijakan yang Inovatif dan Adaptif. Konsep kebijakan dan kebijakan publik yang jelas dan prediktif adalah kunci untuk menarik investasi dan inovasi. Indonesia memerlukan regulasi yang Pro-Inovasi. Pastikan regulasi tidak menghambat eksperimen dan pengembangan AI, tetapi tetap menjamin keamanan dan etika. Indonesia perlu kejelasan tentang kedaulatan data. Tentukan dengan jelas bagaimana data Indonesia bisa digunakan dan dilindungi, baik oleh perusahaan domestik maupun asing.

Dengan menerapkan, setidaknya, lima strategi ini, Indonesia tidak hanya menjadi bagian dari rantai pasok AI, tetapi juga menjadi mitra yang bernilai, independen, dan berdaya tawar tinggi di mata kedua kekuatan AI. Ini akan memungkinkan Indonesia untuk mengambil manfaat dari inovasi global tanpa terjebak dalam politik blok yang memecah belah.

India, sebagai Pembanding

Saya melihat peluang yang telah dirintis India, melakukan diaspora manusia ke seluruh dunia untuk menguasai AI, dan kemudian menjadi jaringan pembangunan industri AI di dalam negeri India, tanpa mereka harus kembali ke India. Diketahui, diaspora talenta India untuk menguasai AI di kancah global sudah berlangsung lama, lalu memanfaatkan jaringan tersebut untuk pembangunan AI di dalam negeri, tanpa harus menuntut mereka kembali. Ini adalah model yang cerdas dan efisien, mengingat investasi besar yang diperlukan untuk menciptakan ekosistem AI kelas dunia dari nol.

India telah sukses besar dengan model ini, terutama di bidang teknologi informasi secara lebih luas. Ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan India. Pertama, basis pendidikan yang kuat. India memiliki banyak institusi pendidikan tinggi (misalnya, IITs) yang menghasilkan lulusan teknik dan sains berkualitas tinggi, bahkan jika jumlahnya belum sebanding dengan Tiongkok atau AS. Ke dua, kemampuan bahasa Inggris. Kemampuan berbahasa Inggris yang baik dari banyak talenta India mempermudah integrasi mereka ke perusahaan-perusahaan teknologi global, terutama di negara-negara berbahasa Inggris. Ke tiga jaringan diaspora yang terbentuk kuat dan luas. Jaringan diaspora India di Silicon Valley dan pusat teknologi lainnya sudah sangat kuat dan saling mendukung, menciptakan efek bola salju. Ke empat, budaya kewirausahaan dan adaptabilitas. Talenta India dikenal adaptif dan memiliki semangat kewirausahaan yang tinggi.

Apakah Indonesia bisa melakukan hal serupa, terutama dengan keterbatasan talenta AI? Jumlah talenta AI Indonesia saat ini masih jauh lebih terbatas dibandingkan India, baik dari segi kuantitas maupun pengalaman di level global. Ini adalah tantangan utama. Untuk memulai strategi diaspora, pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama. Ini bisa melibatkan program beasiswa terarah, dengan memberikan beasiswa penuh untuk studi AI di universitas-universitas terkemuka dunia, dengan harapan mereka akan mendapatkan pengalaman di perusahaan-perusahaan AI global; program magang internasional, dengan memfasilitasi program magang di perusahaan AI terkemuka di luar negeri bagi mahasiswa dan talenta muda Indonesia; jaringan dengan perusahaan global, yaitu dengan membangun hubungan dengan perusahaan teknologi besar (AS, Tiongkok, Eropa, Jepang) agar mereka bersedia merekrut talenta Indonesia.

Selanjutnya, Indonesia perlu membangun “Hub” jaringan diaspora. Setelah talenta-talenta ini berada di luar negeri, penting untuk menciptakan platform atau komunitas yang menghubungkan mereka satu sama lain dan dengan ekosistem AI di Indonesia. Ini bisa berupa platform online khusus, berupa forum, database, atau grup professional yang memungkinkan para diaspora AI Indonesia berinteraksi, berbagi pengetahuan, dan berkolaborasi; program mentoring, dengan memfasilitasi program mentoring di mana diaspora yang lebih senior membimbing talenta di Indonesia atau yang baru memulai karier di luar negeri; dan proyek kolaborasi jarak jauh dengan mendorong proyek-proyek AI bersama antara diaspora dan tim di Indonesia, memanfaatkan keahlian mereka tanpa perlu repatriasi.

Peluang terbesar Indonesia tetap fokus pada niche spesifik. Mengingat jumlah yang terbatas, Indonesia mungkin perlu lebih fokus pada “spesialisasi” untuk diaspora AI-nya. Misalnya, mendorong mereka untuk menguasai bidang AI tertentu yang relevan dengan kebutuhan Indonesia (misalnya, AI untuk pertanian, kesehatan, smart city, atau pengembangan bahasa). Selanjutnya, perlu insentif untuk kontribusi jarak jauh dengan memberikan insentif yang jelas bagi diaspora untuk berkontribusi. Ini bisa berupa dana riset, kesempatan proyek, atau pengakuan. Mereka tidak perlu kembali fisik, tetapi kontribusi virtual dan kolaborasi jarak jauh harus dihargai. Akhirnya, menjadikan Indonesia sebagai “Testbed” yang menarik, karena, bagaimana pun juga, perusahaan-perusahaan global mencari pasar untuk menerapkan AI. Jika Indonesia bisa menyajikan lingkungan yang menarik (pasar besar, data yang relevan, regulasi yang mendukung), ini akan menarik perhatian dan engagement dari para diaspora dan perusahaan tempat mereka bekerja.

Secara keseluruhan, model diaspora AI yang dirintis India sangat relevan dan mungkin bisa diadaptasi oleh Indonesia. Ini menawarkan cara yang efektif untuk mendapatkan keahlian AI kelas dunia tanpa harus memikul seluruh beban pembangunan infrastruktur dan riset dari awal. Kuncinya adalah investasi strategis dalam pendidikan, pembangunan jaringan yang kuat, dan penciptaan lingkungan yang menarik bagi para diaspora untuk berkontribusi, bahkan dari jarak jauh. Ini adalah jalur jangka panjang, tetapi jika dilakukan dengan konsisten dan terarah, bisa menjadi salah satu strategi paling efektif bagi Indonesia untuk membangun kapasitas AI yang kuat.

Penutup: Agenda Indonesia

Akhirnya, agenda kita adalah mempertanyakan apa kelemahan saat ini dalam mengembangkan AI. Apakah di kebijakannya, ataukah di pelakunya, ataukah di tata kelolanya, ataukah karena faktor “aktor negara lain” yang tidak cukup mendukung keinginan Indonesia untuk menjadi salah satu kekuatan pengembang AI dunia. Untuk mengidentifikasi kelemahan Indonesia dalam pengembangan AI, kita perlu melihat secara menyeluruh berbagai aspek yang Anda sebutkan. Menurut saya, kelemahan Indonesia saat ini tidak hanya terletak pada satu faktor, melainkan merupakan kombinasi dari beberapa elemen yang saling terkait.

Pertama, kebijakan publik (Regulasi dan Strategi Nasional). Perlu diakui, kelemahan utama adalah kurangnya strategi nasional AI yang komprehensif, terpadu, dan berkesinambungan dengan alokasi sumber daya yang jelas. Indonesia juga belum memiliki Peta Jalan yang jelas. Meskipun ada inisiatif dan dokumen seperti Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Stranas KA), implementasinya masih terfragmentasi. Belum ada peta jalan yang sangat spesifik dan didukung anggaran besar untuk riset, pengembangan, dan komersialisasi AI di berbagai sektor. Kendala selanjutnya aalah koordinasi antar lembaga –masalah “super klasik”. Seringkali terjadi tumpang tindih atau kurangnya koordinasi yang kuat antara kementerian dan lembaga terkait (Kemenkominfo, BRIN, Kemendikbudristek, Kemenperin, dll.) dalam pengembangan AI. Insentif fiskal adalah kendala yang “tidak nampak”, bahkan nampaknya kurang “seksi” bagi Pemerintah. Kurangnya insentif fiskal yang menarik bagi perusahaan dan startup AI, baik dari sisi investasi R&D maupun pengembangan talenta. Problem selanjutnya adalah regulasi data. Meskipun ada UU Pelindungan Data Pribadi (PDP), implementasi dan penegakan regulasi data yang masih memerlukan penguatan, serta kerangka kerja untuk berbagi data (data sharing) yang aman dan inovatif untuk melatih AI, masih perlu disempurnakan.

Ke dua, Pelaku (Talenta dan Ekosistem Inovasi). Kelemahan utama adalah kesenjangan talenta AI yang signifikan serta ekosistem inovasi yang belum matang untuk mendukung AI kelas dunia. Ketersediaan ilmuwan, peneliti, insinyur AI, dan data scientist berkualitas tinggi masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhan. Kurikulum pendidikan (terutama di level universitas) belum sepenuhnya adaptif dengan perkembangan AI yang sangat cepat. Kesenjangan antara teori dan aplikasi praktis masih lebar. Jumlah publikasi ilmiah AI berkualitas tinggi dan paten AI dari Indonesia masih minim di kancah global. Meskipun ada pertumbuhan, jumlah startup AI yang benar-benar fokus pada inovasi deep-tech AI dan memiliki potensi global masih sedikit. Akses ke pendanaan tahap awal (seed funding) hingga tahap pertumbuhan (growth funding) untuk startup AI juga masih menjadi tantangan. Keterlibatan industri dengan akademisi dalam proyek riset dan pengembangan AI seringkali masih terbatas, sehingga riset cenderung kurang aplikatif.

Ke tiga, tata kelola (Institusi dan Implementasi Etika). Kelemahan utamanya adalah kerangka tata kelola AI yang masih dalam tahap awal dan pemahaman yang belum merata tentang etika AI. Lembaga riset, inkubator, dan testing lab untuk AI yang kredibel dan berskala besar masih terbatas. Diskusi dan implementasi standar etika AI (misalnya, fairness, akuntabilitas, transparansi) masih dalam tahap awal, dan kesadaran akan pentingnya keamanan siber untuk sistem AI perlu ditingkatkan. Mekanisme pengawasan dan akuntabilitas untuk penerapan AI di sektor publik maupun swasta belum sepenuhnya terbangun.

Ke empat, faktor “Aktor Negara Lain”. Kelemahan utama Indonesia adalah ketergantungan pada teknologi AI asing dan keterbatasan daya tawar di tengah persaingan geopolitik. Indonesia masih sangat bergantung pada hardware (chip, server), software (platform, framework), dan model dasar AI yang dikembangkan oleh negara-negara maju (AS dan Tiongkok). Ini membatasi kemampuan Indonesia untuk berinovasi secara mandiri dan membangun kedaulatan digital. Perseteruan antara AS dan Tiongkok menciptakan dilema bagi Indonesia. Posisi bebas-aktif memang memberikan keleluasaan, tetapi juga bisa berarti Indonesia tidak mendapatkan akses preferensial ke teknologi terkini atau investasi besar dari salah satu blok yang sedang berebut dominasi. Negara-negara lain tidak secara aktif menghambat Indonesia, tetapi mereka secara pasif menciptakan lingkungan persaingan yang ketat di mana Indonesia harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan pijakan. Tanpa afiliasi yang kuat, integrasi Indonesia ke dalam ekosistem AI global (misalnya, rantai pasok chip canggih, jaringan riset AI terkemuka) menjadi lebih sulit.

ingkatnya, kelemahan Indonesia dalam mengembangkan AI adalah sistemik dan multifaset. Kita tidak bisa menunjuk satu penyebab saja. Ada kebutuhan mendesak untuk membangun strategi nasional AI yang lebih ambisius dan terimplementasi dengan baik; melakukan investasi besar dan terarah dalam pengembangan talenta AI; memperkuat ekosistem inovasi dan riset yang lebih kolaboratif; membangun kerangka tata kelola AI yang matang dan bertanggung jawab; secara cerdas menavigasi lanskap geopolitik, memanfaatkan posisi bebas-aktif untuk membangun kemitraan yang beragam dan mengurangi ketergantungan.

Penting untuk diingat bahwa tantangan ini juga bisa menjadi peluang. Jika Indonesia bisa mengatasi kelemahan-kelemahan ini, dengan jumlah penduduk dan potensi pasar yang besar, serta data yang melimpah, Indonesia memiliki fondasi untuk menjadi pemain yang relevan di ranah AI, setidaknya di level regional Asia Tenggara.

–end of paper–

Avatar photo

Riant Nugroho

Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia

Articles: 31