Kebijakan Bergizi Rendah: Kritik terhadap Pola “Tiba Masalah, Tiba Akal” dalam Praktik Pemerintahan

Tulisan ini mengkritik kecenderungan instan dan reaktif dalam proses pembuatan kebijakan di Indonesia. Dalam pola yang disebut “tiba masalah, tiba akal”, pemerintah cenderung mengabaikan proses deliberatif, partisipatif, dan berbasis bukti. Konsekuensinya, lahir kebijakan yang disebut “bergizi rendah”: kebijakan yang lemah dalam desain, miskin perspektif jangka panjang, dan rentan terhadap kegagalan implementasi. Artikel ini menawarkan tinjauan teoritis dan empiris atas fenomena tersebut serta menyerukan pentingnya penguatan tata kelola kebijakan berbasis proses.

Pendahuluan

Dalam praktik pemerintahan modern, kebijakan publik semestinya menjadi produk dari proses rasional yang sistematis dan berbasis data. Namun, dalam konteks Indonesia, terdapat kecenderungan kuat bahwa banyak kebijakan justru lahir secara instan, sebagai respons cepat terhadap tekanan sosial, politik, atau media. Istilah “tiba masalah, tiba akal” menggambarkan pendekatan reaktif yang lebih menekankan solusi cepat ketimbang pembangunan sistemik. Fenomena ini menghasilkan kebijakan yang rendah kualitasnya—yang dalam esai ini disebut sebagai kebijakan bergizi rendah.

Pola Reaktif dalam Pembuatan Kebijakan

Menurut Lindblom (1959), proses kebijakan ideal memerlukan incrementalism—langkah-langkah rasional dan bertahap berdasarkan evaluasi berbagai alternatif. Sayangnya, dalam praktik birokrasi Indonesia, pembuatan kebijakan sering kali bersifat ad hoc. Wildavsky (1979) mengingatkan bahwa kebijakan yang dibuat dalam tekanan krisis cenderung mengorbankan kualitas demi kecepatan.

Beberapa contoh nyata termasuk kebijakan pembatasan sosial pada masa pandemi COVID-19 yang berubah-ubah dalam waktu singkat, atau kebijakan pendidikan yang silih berganti tanpa evaluasi menyeluruh. Dalam hal ini, tidak hanya keputusan diambil secara sepihak, tetapi proses konsultasi publik juga sering diabaikan.

Dampak Kebijakan Bergizi Rendah

Kebijakan bergizi rendah berdampak serius pada berbagai aspek. Pertama, kehilangan kepercayaan publik (Habermas, 1984). Kebijakan yang tidak konsisten atau tidak rasional merusak legitimasi pemerintah. Ke dua, biaya sosial dan ekonomi (Stiglitz, 2000). Kebijakan yang buruk akan menimbulkan biaya koreksi dan adaptasi yang tinggi. Ke tiga, disorientasi kelembagaan (March & Olsen, 1984). Kebijakan reaktif melemahkan pembelajaran kelembagaan dan kapasitas jangka panjang. Dalam banyak kasus, kebijakan semacam ini juga gagal mengatasi akar masalah karena tidak dibangun di atas pemahaman kontekstual dan struktur penyebab yang kompleks.

Ketiadaan Proses Deliberatif dan Partisipatif

Sen (1999) menekankan pentingnya partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan, sebagai prasyarat demokrasi substansial. Di Indonesia, partisipasi masyarakat sering kali bersifat simbolik atau hanya formalitas. Proses deliberatif yang melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan kelompok terdampak jarang diberi ruang berarti. Akibatnya, kebijakan menjadi elitis, tidak adaptif, dan kehilangan relevansi sosial.

Menuju Kebijakan Bergizi Tinggi: Rekomendasi dan Refleksi

Untuk keluar dari jebakan kebijakan bergizi rendah, perlu perubahan mendasar dalam tata kelola kebijakan. Beberapa rekomendasi yang dapat diajukan. Pertama, memperkuat kapasitas perumusan kebijakan berbasis data yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan –tidak sekedar evidence based policy. Ke dua, menginstitusikan proses deliberatif dalam setiap tahap kebijakan, dari desain hingga evaluasi. Ke tiga, mendorong partisipasi publik yang bermakna, bukan sekadar formalitas. Ke empat, membangun memori kelembagaan dan mekanisme evaluasi berkelanjutan agar kebijakan tidak bersifat reaktif semata. Ke lima, mengajak serta pakar komunitas kebijakan publik yang independen –dan bukan sekedar dibayar sebagai konsultan untuk serta-merta mendukung kebijakan.

Kesimpulan

Kebijakan publik tidak boleh lahir dari kepanikan atau tekanan sesaat. Ketika proses dikorbankan demi kecepatan, dan diskusi digantikan oleh instruksi, maka yang lahir adalah kebijakan bergizi rendah—rentan secara implementasi, lemah dalam legitimasi, dan buruk dalam keberlanjutan. Diperlukan keberanian untuk menegakkan prinsip tata kelola kebijakan yang matang, partisipatif, dan berkelanjutan sebagai prasyarat negara yang kuat dan masyarakat yang sejahtera.

Daftar Pustaka

  • Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action. Beacon Press.
  • Lindblom, C. E. (1959). “The Science of ‘Muddling Through’.” Public Administration Review, 19(2), 79–88.
  • March, J. G., & Olsen, J. P. (1984). “The New Institutionalism.” American Political Science Review, 78(3), 734–749.
  • Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.
  • Stiglitz, J. E. (2000). Economics of the Public Sector. W.W. Norton.
  • Wildavsky, A. (1979). The Art and Craft of Policy Analysis. Macmillan.
Avatar photo

Riant Nugroho

Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia

Articles: 30