Mengatur Kecerdasan Buatan: Cerita Suriant tentang AI Governance

Mungkin sekarang kita sering mendengar istilah kecerdasan buatan, atau AI—singkatan dari Artificial Intelligence.

AI sudah ada di sekitar kita: di ponsel, di aplikasi belanja, bahkan di pelayanan publik. Misalnya, AI bisa membantu mendiagnosis penyakit, memprediksi banjir, atau menyortir lamaran kerja.

Hebat, ya?

Tapi… pernah nggak kita berpikir:

Siapa yang mengatur teknologi ini?

Bagaimana kalau AI salah? Atau tidak adil?

Nah, di sinilah pentingnya AI Governance.

AI Governance artinya:

Bagaimana kita membuat aturan dan pedoman untuk menggunakan AI secara aman, adil, dan bertanggung jawab.

Bukan cuma soal teknologinya, tapi juga soal nilai kemanusiaan.

Supaya AI tidak membuat keputusan yang merugikan orang.

Supaya data pribadi kita tidak disalahgunakan.

Dan supaya AI tidak memperkuat diskriminasi atau ketimpangan.

Misalnya, bayangkan ada sistem AI yang digunakan untuk menilai siapa yang layak menerima bantuan sosial. Tapi ternyata sistem itu bias, dan malah menolak orang yang benar-benar butuh. Ini bisa terjadi kalau AI dilatih dari data yang tidak lengkap atau berat sebelah.

Maka, kita butuh transparansi: AI harus bisa dijelaskan.

Kita butuh akuntabilitas: harus ada yang bertanggung jawab kalau AI salah.

Dan yang paling penting: kita butuh keterlibatan semua pihak—pemerintah, ahli teknologi, masyarakat, termasuk kita—dalam mengawasi dan mengatur penggunaannya.

Sebagai warga, kita tidak harus jadi ahli teknologi untuk peduli pada AI Governance.

Kita cukup mulai dengan bertanya:

Apakah teknologi ini adil? Apakah bisa dipercaya? Apakah mengutamakan manusia?

Saya, Suriant, percaya: teknologi yang baik adalah yang melayani manusia, bukan menggantikan atau merugikan manusia.

Mari kita belajar bersama.

Karena masa depan AI… bukan hanya milik para insinyur. Tapi milik kita semua.

Avatar photo

Riant Nugroho

Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia

Articles: 27