Pemerintah mendirikan Daya Anagata Nusantara (Danantara), sebagai upaya mengoptimalkan aset negara untuk pendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini diyakini berkaitan dengan janji politik Presiden Prabowo pertumbuhan ekonomi 8%. Muliaman D. Hadad, mantan Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dipercaya menjadi Kepala. Danantara digadang-gadang sebagai cikal bakal superholding BUMN, layaknya Temasek Singapura, atau Khazanah Malaysia. Tapi, Danantara beda dengan Kementerian BUMN, karena tugasnya adalah mengelola investasi di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sementara itu, Danantara juga disebut sebagai lembaga Sovereign Wealth Fund (Indonesia), atau lembaga milik Pemerintah untuk memegang atau menguasai aset-aset asing untuk tujuan jangka panjang, atau juga bisa sebagai kendaraan finansial negara yang memiliki, mengelola atau mengadministrasikan dana publik dan menginvestasikannya ke dalam aset-aset yang lebih luas dan lebih beragam.
Agenda Pertama: “Jenis Kelamin”
Jika Danantara hendak jadi Superholding seperti Temasek, maka bentuknya adalah perusahaan. Temasek –total nett-portofilio S$420 milyar (sekitar Rp 4.943 trilyun, BUMN Indonesia Rp 10.402 trilyun)– adalah superholding BUMN di bawah Kementerian Keuangan, disamakan dengan swasta, dengan keistimewaan tidak diharuskan mengungkapkan informasi keuangan. Danantara bentuknya adalah Badan, dengan nama Badan Pengelola Investasi, yang secara legal tidak berbeda dengan Kementerian BUMN atau Badan Pendayagunaan BUMN –era Tanri Abeng— dengan segala ketidakluwesannya, karena bukan korporasi. Pembentukannya pun memerlukan perubahan UU 19/2003 tentang BUMN, yang memerlukan waktu dan, mungkin, konflik.
Danantara bisa dari Badan kemudian menjadi perusahaan, dan mengakusisi tujuh BUMN dengan skala terbesar itu di antaranya PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT PLN (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Mineral Industri Indonesia atau MIND ID. Hasilnya, Danantara menjadi perusahaan yang maha-raksasa. Dari empat bank BUMN diperoleh kekayaan Rp 5.076 T: Telkom 275 T; PLN Rp 1.691 T; Mind Id Rp 259 T; dan Pertamina Rp1.390 T; maka Danantara mengelola total Rp 8.691 T. Nilai yang fantastis untuk dikelola dalam satu BUMN. Intervensi politik dan birokrasi yang sangat tinggi kepada BUMN menjadi isu kritisnya.
Agenda ke dua: Bisnisnya
Danantara akan menjadi lembaga yang meleverage kekayaan yang dikelolanya agar dapat diinvestasikan secara efektif. Kata “leverage”, khususnya financial leverage, adalah metode di mana perusahaan menghutang untuk membeli aset (perusahaan, proyek) yang kemudian dijual lagi, secara aset ataupun kepemilikan, dengan harapan hasil penjualan nilainya lebih besar daripada utang yang dipakai membeli. Bagi SWF, leverage juga dapat berarti “menggadaikan” kekayaan yang dimilikinya, kepada fihak pemberi pinjaman, untuk digunakan membeli aset yang dikehendaki. Dengan demikian, yang pasti dapat di”leverage” adalah kekayaan yang menjadi milik Pemerintah. Jika yang hendak diakuisisi adalah INA, maka yang secara efektif dapat di”leverage” adalah Rp 30 T, karena untuk dapat meleverage kekayaan dalam bentuk saham bank BUMN, perlu ijin dari pemegang saham lain, yaitu publik, karena saham mereka ter-ear-mark dengan saham yang dikuasai Pemerintah. Kejatuhan harga saham karena kegagalan leverage, akan menjadi risiko setiap pemegang saham, termasuk publik.
Pun, jika hendak meleverage bank-bank BUMN, sebenarnya yang dapat dileverage hanya kekayaan yang dimiliki Pemerintah, di luar kekayaan fihak ketiga yang dikelola perbankan, di luar saham yang dikuasai publik, sehingga nilainya tidak lagi Rp 5.076 T seperti dinyatakan. Bahkan, mungkin kurang dari 20%-nya. Demikian juga dengan Telkom, di mana di dalam “aset”nya juga terdapat aset fihak lain yang bukan milik Telkom, dan bahkan bukan milik Pemerintah. Mungkin, Mind-Id, PLN, dan Pertamina lebih banyak asetnya yang dapat diklaim sebagai milik pemerintah, karena belum go public. Namun, nilainya tidak sebesar yang disebutkan. Diperkirakan, total yang dapat deleverage sekitar 20% dari Rp 8.691 T, atau sekitar Rp 1.738,2 T, atau bahkan kurang. Perlu audit profesional, agar didapat nilai yang valid.
Jika dalam bentuk perusahaan, maka upaya leverage dapat berupa operational leverage, dengan meningkatkan pendapatan operasional. Untuk memperoleh operational leverage yang tinggi, harus memperoleh organically growth, di mana didapat penjualan dengan margin kotor yang tinggi dan biaya variabel yang rendah. Caranya, bisa melakukan rekayasa ulang perusahaan (reengineering the corporation), seperti ajaran Michael Hammer dan James Champy (1999). Jika hendak mengambil pola seperti Temasek, perusahaan investasi saja, maka perlu dipastikan berapa kekayaan yang benar-benar menjadi miliknya, serta mendapatkan ijin untuk menggunakan kekayaan yang bukan miliknya untuk diinvestasikan. Artinya, tidak dapat melakukan akuisisi serta merta atas INA.
Arah Kebijakan
Ada dua pilihan kebijakan yang dapat diambil. Pertama, menjadikan Danantara sebagai Super-Holding “pengganti” dari Kementerian BUMN. Konsep yang disarankan adalah: Danantara menjadi Superholding BUMN yang mengelola BUMN yang membawa amanat pasal 33 (4) UUD 1945 yaitu yang fokus kepada demokrasi ekonomi, yaitu BUMN yang bersaing di pasar sebagaimana pelaku ekonomi swasta. Sementara Kementerian BUMN mengelola BUMN yang membawa amanat pasal 33 (2) dan (3) UUD 1945 yaitu cabang produksi yang penting bagi negara, yang menguasai hajat hidup orang banyak, dan yang menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Danantara sebagai superholding BUMN akan berhasil dengan tiga syarat: lepaskan dari intervensi politik dan birokrasi, letakkan para profesional di dalamnya, dan pastikan dikelola dengan manajemen yang benar-benar profesional.
Ke dua, menjadi SWF, dan dapat tetap berbentuk semacam BLU, seperti sekarang ini. Jika demikian, maka SWF ini harus mengakuisisi INA, agar tidak terjadi redundansi, atau terjadi pengulangan secara pekerjaan dan kelembagaan; satu pekerjaan yang sama dikerjakan dua organisasi berbeda, dan dalam posisi head to head. Disarankan, Danantara berada “di atas” INA. Untuk menjalankannya, tidak mudah, karena uangnya tidak banyak. Jika SWF di banyak negara yang berhasil dananya berasal dari kelebihan dana negara, untuk diinvestasikan dengan tujuan untuk return yang lebih besar lagi. Bahkan ada SWF untuk membiayai investasi sosial, termasuk subsidi kesehatan dan pendidikan. SWF Indonesia masih pada tahap “mencari uang”. Tidak ada, karena Pemerintah pun masih mencari utang untuk menutup pembiayaannya. Untuk Indonesia, atau Danantara, kekayaan yang dapat di-leverage bisa dari dua sumber: Pertama, kekayaan (langsung) Pemerintah yang ada di INA dan kekayaan investor internasional di INA yang diijinkan untuk digunakan. Kekayaan efektif adalah Rp 30 T dari dua kali setoran. Ke dua, dividen dari BUMN yang sebelumnya dijadikan sebagai pendapatan negara, yang ditransfer ke Danantara. Tahun 2023 nilainya sebesar Rp 82,1 T. Total sekitar Rp 112,1 T. “Memindahkan” BUMN, terutama yang sudah go public, tidak disarankan, karena selain terkendala secara legal, teknikal, juga sentimen pasar. Namun, untuk dapat memindah dividen BUMN dari sebelumnya ke kas Menteri Keuangan ke Danantara tidaklah mudah. Diperlukan ijin, mulai dari Kemkeu bahkan sampai ke DPR, karena berkenaan dengan pendapatan negara (APBN). Kemkeu dan DPR pasti berbeda pendapat.
Pembelajaran
Gagasan membentuk Danantara dapat dibaca dari kebutuhan untuk mendapatkan modal untuk investasi senilai Rp 10.000 trilyun selama lima tahun untuk memastikan pertumbuhan tahunan 8%. Danantara disebut akan mengelola hingga USD 10,8 miliar atau sekitar Rp 170,62 triliun. Setara dengan 1,7% dari total kebutuhan lima tahun, atau 8,5% untuk tahun pertama. Ditambah dengan akuisisi BUMN raksasa senilai Rp 8.691 trilyun, maka dananya menjadi Rp 8.861,62 triyun. Artinya, 88,61% tertutup. Perhitungan optimis, total konsolidasi menghasilkan AS $ 600 miliar atau sekitar Rp 9.479 triliun. Sehingga, target mengelola AS $ 1 trilyun menjadi mungkin. Namun, ini baru “di atas kertas”. Kita perlu kajian yang akurat, karena bisa jadi yang ada hanya 20%, atau bahkan kurang. Presiden perlu mendapatkan hitungan yang cermat, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan, agar dapat membuat keputusan kebijakan yang excellence.
Gagasan untuk men-debottlenecking percepatan ekonomi perlu dirumuskan menjadi kebijakan yang kuat, relevan, dan efektif. Pengalaman sebelumnya ini menunjukkan hal sebaliknya. Menjelang pengumuman peluncuran Danantara, sentimen pasar bergerak, dari 20 saham BUMN, 13 saham terpantau terkoreksi, termasuk di dalamnya bank-bank BUMN dan Telkom. Ketika kebijakan menghadirkan wacana ketidakpastian bagi pasar, maka pasar pun merespon cepat. Apalagi jika wacananya cenderung merugikan pemegang saham publik. Pembentukan Danantara perlu disiapkan sebagai “kebijakan unggul”, excellence policy, dengan tiga syarat: cerdas, menyelesaikan masalah di inti masalah; bijaksana, menyelesaikan masalah tanpa masalah, seperti slogan Pegadaian; dan memberi harapan, untuk benar-benar dapat dilaksanakan (manageable) dan memberikan performance, dan bukan sekedar performativity –“seolah-olah” berprestasi.