Wacana Mengembalikan UN di Tengah Perubahan Pendidikan Global

Sebelum menerapkan UN lagi, baiknya pemerintah mempertimbangkan pendekatan lain yang lebih sesuai tuntutan abad ke-21.

  • Apakah langkah mengembalikan UN benar-benar diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan saat ini?
  • Apakah UN dapat menjadi alat evaluasi yang tepat di era pendidikan yang semakin kompleks?
  • Bagaimana seharusnya mengukur keberhasilan pendidikan?

Wacana untuk mengembalikan ujian nasional atau UN menjadi perdebatan yang hangat setelah pergantian kabinet dari Presiden Joko Widodo kepada Presiden Prabowo Subianto, serta dipecahnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ke dalam tiga kementerian. Masyarakat memandang pergantian menteri adalah momentum yang pas untuk mengembalikan UN dalam sistem pendidikan.

Soal UN ini memicu diskusi panas di media sosial. Pasalnya, banyak kalangan masyarakat yang khawatir akan kemerosotan kualitas pendidikan Indonesia di era menteri yang lama. Siswa SMP dan SMA bukan saja tidak tahu hal-hal dasar, melainkan banyak juga yang ternyata belum bisa membaca.

Tudingan pun mengarah bahwa dihapuskannya UN disinyalir merupakan salah satu sebab siswa tidak lagi memiliki motivasi belajar. Faktor kedua adalah Kurikulum Merdeka yang seolah-olah mengharamkan tinggal kelas. Puncaknya adalah kritikan tajam yang dilontarkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa kualitas pendidikan kita semakin merosot salah satu penyebabnya adalah dengan dihapuskannya UN.

Meskipun UN sempat menjadi tolok ukur utama penilaian capaian belajar siswa selama beberapa dekade, kita perlu kembali menengok sejarah beberapa tahun yang lalu mengapa UN dihapus oleh pemerintah saat itu. Ada euforia yang membuncah di mana-mana menyambut gembira keputusan tersebut.

Berbagai masalah yang menjadi alasan UN dihapus antara lain ketidakmerataan akses, tekanan mental pada siswa, dan fokus berlebihan pada hasil ujian. Kini, gagasan untuk menghidupkan kembali UN menghadirkan pertanyaan mendasar: apakah pendekatan ini benar-benar diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan saat ini?

Sejarah dan problematika UN

Ujian nasional di Indonesia dimulai pada 1950-an dengan nama ujian penghabisan sebagai bentuk evaluasi capaian pendidikan secara nasional yang terus berganti nama hingga dihapuskan pada 2021. Namun, selama puluhan tahun penerapannya, banyak kritik muncul terkait dampak negatifnya terhadap siswa dan sistem pendidikan secara keseluruhan.

Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012), sebagian besar siswa SMA merasa cemas menghadapi UN, dengan tekanan yang berkontribusi pada masalah kesehatan mental. Pada saat yang sama, UN sering dianggap lebih mengedepankan kemampuan menghafal dibandingkan berpikir kritis dan kreatif.

Menurut Dr Yong Zhao, pakar pendidikan di Universitas Kansas, sistem pendidikan yang terlalu berfokus pada standar nasional dan penilaian berbasis ujian cenderung membatasi ruang kreativitas siswa. ”Ujian standar dapat membunuh bakat dan minat siswa karena fokus utamanya adalah keseragaman dan akurasi, bukan inovasi,” ungkap Zhao dalam bukunya, World Class Learners.

Pendapat Zhao bisa mencerminkan kekhawatiran bahwa jika Indonesia kembali mengandalkan UN sebagai tolok ukur utama, kita justru akan kembali ke pendekatan pendidikan yang terlalu kaku dan tidak memadai untuk menghadapi tantangan masa depan.

Kita perlu mendesain ulang pendidikan dari fondasi, bukan sekadar memperbaiki sistem yang rusak.

Pendidikan abad ke-21

Dunia pendidikan saat ini tengah mengalami perubahan besar, dengan pergeseran dari pengetahuan berbasis hafalan menuju kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan penyelesaian masalah kompleks. Pakar pendidikan global, seperti Sir Ken Robinson, telah lama menyuarakan bahwa pendidikan perlu berfokus pada pengembangan potensi unik setiap anak dan bukan sekadar hasil ujian.

Dalam salah satu pidatonya yang terkenal di TED pada 2006, Robinson menyatakan bahwa kita perlu mendesain ulang pendidikan dari fondasi, bukan sekadar memperbaiki sistem yang rusak. Jika kita melihat contoh negara-negara yang berhasil dalam pendidikan, seperti Finlandia, pendekatan mereka berbeda drastis dari UN.

Finlandia tidak memiliki ujian nasional yang ketat seperti UN di Indonesia, tetapi siswa mereka konsisten menempati peringkat atas dalam berbagai survei internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA).

Sistem pendidikan Finlandia mengedepankan pembelajaran berbasis proyek dan penilaian formatif yang lebih menekankan pada proses belajar dibandingkan sekadar hasil akhir. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan tidak harus diukur melalui ujian nasional yang seragam, tetapi melalui pendekatan yang lebih fleksibel dan berorientasi pada perkembangan siswa.

Ketimpangan akses dan keadilan

Salah satu argumen utama untuk tidak mengembalikan UN adalah ketimpangan akses pendidikan yang masih nyata di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik 2022, ada perbedaan signifikan dalam partisipasi sekolah dan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Di daerah terpencil, akses ke fasilitas pendidikan yang memadai masih terbatas sehingga mengandalkan UN sebagai alat evaluasi justru dapat memperdalam ketidaksetaraan.

Andreas Schleicher, Direktur Pendidikan dan Keterampilan OECD yang mengawasi PISA, menyoroti bahwa sistem pendidikan yang baik bukan hanya tentang memberikan akses pendidikan, melainkan juga memastikan bahwa semua siswa mendapatkan kesempatan belajar yang setara. Dengan kata lain, jika UN diterapkan secara seragam tanpa memperhitungkan disparitas akses dan kualitas pendidikan, hasilnya tidak akan mencerminkan kemampuan sebenarnya dari seluruh siswa Indonesia.

Pendukung kembalinya UN berpendapat bahwa ujian ini dapat menjadi alat evaluasi nasional yang obyektif, yang memungkinkan pemerintah memetakan kualitas pendidikan di sejumlah daerah dan mengembalikan semangat belajar siswa. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah benar UN dapat menjadi alat evaluasi yang tepat di era pendidikan yang semakin kompleks?

Menaikkan semangat belajar siswa tidak harus ditakut-takuti dengan gambaran seram lulus atau tidak di ujian nasional. Sekolah harus menciptakan iklim yang membangkitkan gairah belajar siswa ketimbang mereka belajar di bawah bayang-bayang kengerian kegagalan UN.

Dalam konteks pendidikan global, Howard Gardner, seorang psikolog pendidikan dari Harvard, mengajukan teori kecerdasan majemuk yang menyatakan bahwa manusia memiliki berbagai jenis kecerdasan, mulai dari linguistik hingga spasial, dan logika matematika hingga interpersonal. Mengukur kecerdasan siswa hanya berdasarkan ujian standar sama saja dengan melihat dunia dengan satu warna. Evaluasi pendidikan seharusnya mampu mengakomodasi berbagai dimensi kecerdasan ini dan tidak terbatas pada kemampuan akademis semata.

Di sisi lain, John Hattie, seorang pakar pendidikan dari Universitas Melbourne, mengungkapkan bahwa umpan balik dan penilaian formatif jauh lebih efektif dalam meningkatkan pembelajaran dibandingkan ujian standar. Penilaian formatif yang memberikan umpan balik secara langsung kepada siswa dan dapat mengarahkan pembelajaran dengan lebih baik daripada penilaian sumatif seperti ujian nasional. Dengan demikian, solusi yang lebih relevan mungkin bukan menghidupkan kembali UN, melainkan menerapkan penilaian yang lebih mendalam dan berkelanjutan.

Pendidikan yang lebih humanis dan holistik

Di tengah perdebatan ini, penting untuk diingat bahwa tujuan akhir pendidikan bukan hanya menghasilkan angka, melainkan membentuk manusia yang utuh dan berdaya saing. Yuval Noah Harari, seorang sejarawan dan pemikir futuristik, berpendapat bahwa ”dalam menghadapi ketidakpastian masa depan, keterampilan yang diperlukan tidak lagi hanya hafalan dan akurasi, tetapi fleksibilitas, kreativitas, dan kemampuan untuk belajar sepanjang hayat”.

Pendidikan harus mampu membekali siswa dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan cepat di dunia yang semakin terdigitalisasi. Maka, sebelum kembali menerapkan UN, ada baiknya pemerintah dan pemangku kebijakan pendidikan untuk mempertimbangkan pendekatan lain yang lebih sesuai dengan tuntutan abad ke-21. Penilaian yang berbasis proyek, portofolio, atau asesmen autentik dapat menjadi alternatif yang lebih efektif untuk mengevaluasi kemampuan siswa secara holistik.

Mengembalikan UN bisa jadi hanya merupakan cara untuk kembali ke pendekatan pendidikan yang telah usang dan terbukti tidak efektif dalam jangka panjang. Sebaliknya, pendidikan yang adaptif, responsif, dan humanis lebih cocok untuk membekali generasi muda dengan keterampilan yang relevan di masa depan.

Pendidikan harus mampu menjadi wahana yang membebaskan, bukan yang membatasi; menginspirasi, bukan menekan; dan yang terpenting, pendidikan harus memanusiakan manusia. Sebelum keputusan diambil, sebaiknya kita merenungkan tujuan akhir dari pendidikan dan keberanian untuk berinovasi dalam menghadapi ketidakpastian zaman.

Penulis: Waode Nurmuhaemin
Praktisi pendidikan, penulis buku dan novel pendidikan

Avatar photo
Makpi Support
Articles: 392