Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia

Pengentasan kemiskinan masih menjadi agenda utama pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Dalam Outcome Document Transforming Our World: The 2030 Agenda For Sustainable Development, mengakhiri kemiskinan juga menjadi tujuan pertama dari tujuh belas tujuan yang disepakati dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Kemiskinan dipandang sebagai bentuk ketidakmampuan dari sisi ekonomi, yaitu dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Ada empat alasan mengukur kemiskinan, yaitu: 1). Merupakan instrumen yang kuat untuk memfokuskan pembuat kebijakan pada kehidupan orang miskin, 2). Mengidentifikasi orang miskin sehingga dapat memberikan intervensi kebijakan yang tepat, 3). Memantau dan mengevaluasi proyek dan kebijakan yang digunakan untuk orang miskin dan 4). Mengevaluasi lembaga yang mempunyai tujuan membantu masyarakat miskin.

Sejarah penghitungan kemiskinan dimulai saat Badan Pusat Statistik (BPS) pertama kali melakukan penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984 melalui publikasi “Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia 1976 — 1981”. Kemudian pada tahun 1998 dilakukan penyempurnaan metode yang meliputi: perluasan cakupan basket komoditi dasar dan keterbandingan antar daerah. Sejak tahun 1998 tidak dilakukan perubahan metode supaya data kemiskinan terbanding dari waktu ke waktu. Sejak tahun 2003, BPS secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk miskin setiap tahun. Kemiskinan diukur dengan mengacu pada kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Sumber data kemiskinan sejak 1976 hingga sekarang memakai Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).

Dalam SUSENAS, dihitung konsumsi/pengeluaran yang menggunakan indikator pokok kemiskinan seperti persentase penduduk miskin (PO) indeks kedalaman kemiskinan (P1), dan indeks keparahan kemiskinan (P2). Informasi yang dikumpulkan meliputi data konsumsi/pengeluaran dari ratusan komoditi makanan dan bukan komoditi makanan dapat dikonversi ke zat gizi kalori, protein, lemak diperoleh konsumsi/pengeluaran rumah tangga (ruta) maupun kapita/individu.

Faktor Kemiskinan Anak

Kemiskinan anak di Indonesia digambarkan oleh Unicef Forevery Child, yang menyatakan bahwa 80 juta populasi anak atau 30.1% dari total anak di Indonesia. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara keempat terbesar di dunia. Sumber yang sama juga menyatakan bahwa diperkirakan sebanyak 90% anak, terutama perempuan, pernah mengalami suatu bentuk kemiskinan selama hidup. Sebanyak 12 % anak Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, lebih tinggi dari tingkat kemiskinan nasional yaitu sebesar 9.8%.

Berdasarkan SUSENAS BPS (2018), sebanyak 1/3 anak dapat dikatakan miskin ekstrem. Pada tahun 2016, 7% anak hidup dalam keluarga dengan pengeluaran kurang dari US$ 1.9 per bulan. Sementara 2 dari 3 Anak mengalami setidaknya 2 dimensi kemiskinan. Anak usia 0 – 4 tahun mengalami deprivasi dimensi kesehatan yang tidak memadai dan usia 5 – 17 tahun cenderung mengalami deprivasi dalam pendidikan dan tempat tinggal. Anak yang berada di pedesaan jauh lebih berisiko mengalami tidak hanya kemiskinan dari segi pendapatan, tapi juga berbagai bentuk deprivasi. Sebanyak 15,7% kemiskinan anak di desa dan 8,9% kemiskinan anak di kota. Hampir separuh anak yang hidup dalam kemiskinan di indonesia tersebar di empat provinsi terpadat yaitu Jawa Barat (14%) Jawa Timur (13%) JawaTengah (13%), Sumatera Utara 7% dan NTT (6%).

Deprivasi adalah kondisi kekurangan atau kehilangan yang signifikan dari sesuatu yang penting atau diperlukan oleh seseorang, seperti: makanan, air, tempat tinggal, pendidikan atau interaksi sosial. Anak mengalami deprivasi lebih tinggi seiring meningkatnya usia. Hal ini terjadi akibat terjadinya ketidaksetaraan gender yang cukup signifikan walaupun semakin kecil bila mengontrol variabel lain. Anak disektor pertanian yang paling deprivasi, khususnya dengan orang tua yang self-employed dan tidak bekerja, yang hidup dengan jumlah anak lebih dari 5 orang. Pemerintah telah menggulirkan Program Keluarga Harapan (PKH) yang bertujuan meningkatkan taraf hidup penerima manfaat: Pendidikan, kesehatan, dan pelayanan kesejahteraan sosial serta mengurangi beban pengeluaran dan meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin dan rentan. Kriteria eligibilitas penerima manfaat program ini adalah ibu hamil dan menyusui, anak usia 0-6 tahun, Anak usia 6-21 tahun.

Beberapa negara yang telah melaksanakan PKH seperti di Indonesia antara lain: Negara Ecuador (Bono De Desarrollo Humano): Program Bantuan langsung Tunai (BLT) untuk rumah tangga dengan anak di bawah 16 tahun, Negara Ukraina (Universal Child Birth Grant): BLT untuk penduduk anak usia 0-3 tahun, Negara Austria (Familien Be Ihilfe): BLT untuk penduduk anak hingga usia 18 tahun dan diperpanjang hingga usia 24 untuk keperluan Pendidikan. Negara Denmark (Child Allowance): BLT dengan besaran disesuaikan terhadap pendapatan tahunan keluarga. Program ini berhasil mereduksi angka kemiskinan sebesar 2% untuk keluarga dengan pendapatan lebih dari US$ 116,000. United Kingdom (Child Benefit): BLT untuk penduduk anak berusia hingga 16 tahun, dengan skema kontribusi untuk keluarga dengan pendapatan salah satu anggota di atas US$ 65.000.

Kemiskinan Ekstrim

Fenomena kemiskinan ekstrem merupakan persoalan multidimensi. Mereka terkendala dalam mengakses kebutuhan dasar: pendidikannya rendah, kesehatan menurun, tidak terakses air bersih, menghuni rumah tidak layak, tidak produktif dan berpendapatan rendah. Kemiskinan Ekstrem diukur menggunakan “absolute poverty measure” Bank Dunia yang konsisten antar negara dan antar waktu. Kemiskinan ekstrim didefinisikan sebagai kondisi di mana konsumsi per hari Masyarakat berada di bawah garis kemiskinan ekstrim setara dengan US$ 1,9 Purchasing Power Parity (PPP).

Indikator Makro yang digunakan untuk memantau progress kemiskinan adalah: persentase kemiskinan dan jumlah penduduk miskin. BPS menghitung angka kemiskinan merujuk pada hasil Susenas pada bulan Maret dan September setiap tahunnya. Pemerintah menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp.550.458/kapita/bln, sehingga diperoleh tingkat kemiskinan sebesar 9,36%. Selanjutnya dengan garis kemiskinan ekstrim sebesar US$ 1,9/kapita/hr atau Purchasing Power Parity (PPP) sebesar Rp.351.957,4/kapita/bln maka diperoleh tingkat kemiskinan 1,12%. Sampai dengan bulan Maret 2023, jumlah provinsi dengan tingkat kemiskinan ekstrim <1% sebanyak 18 provinsi, dengan tingkat kemiskinan ekstrim 1-5% sebanyak 14 provinsi dan dengan tingkat kemiskinan ekstrim >5% sebanyak 2 provinsi, yaitu Papua dan Papua Barat.

Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem menyatakan bahwa strategi kebijakan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem melalui: 1). pengurangan beban pengeluaran Masyarakat, dengan cara memastikan kelompok miskin ekstrem memperoleh berbagai program-program perlindungan sosial terutama untuk kelompok rentan (Lansia, penyandang disabilitas, pekerja informal dan perempuan dengan melibatkan komunitas, lembaga non pemerintah, dan swasta. 2). Pengurangan Beban Pengeluaran Masyarakat dan meningkatkan Pendapatan Masyarakat melalui: peningkatan pendapatan/akses terhadap pekerjaan dan penyediaan infrastruktur dasar, peningkatan kapasitas SDM, peningkatan kapasitas UMKM dan peningkatan akses pembiayaan UMKM. 3). penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan melalui: peningkatan akses terhadap layanan dasar, meningkatkan konektivitas antar wilayah, mendorong konvergensi anggaran, mendorong konsolidasi program dan meningkatkan peran Daerah dan pemangku kepentingan. Terkait dengan strategi kebijakan tersebut, pemerintah menargetkan penurunan kemiskinan ekstrim di Indonesia pada tahun 2024 sebesar 0%.

Arah Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Tahun 2024 meliputi: 1). Perbaikan Sasaran Penerima Program: Memastikan pelaksanaan program bantuan sosial dan pemberdayaan ekonomi dengan menggunakan data Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) bersasaran individu/keluarga/rumah tangga dengan prioritas kelompok desil 1 dan 2. Prioritas pelaksanaan juga difokuskan pada wilayah dengan konsentrasi kemiskinan tinggi khususnya di wilayah Jawa, NTT, dan Papua. 2). Konvergensi Program Perlindungan Sosial Dan Pemberdayaan Pemerintah Pusat Dan Daerah: Penurunan kemiskinan akan menjadi lebih signifikan bila rumah tangga miskin tidak hanya menerima manfaat satu program. Nilai kedalaman kemiskinan dapat digunakan sebagai proxy untuk menentukan tambahan bantuan. 3). Kolaborasi Lintas K/L Dalam Memperkuat Upaya Konvergensi Program K/L: Pengelola program pemberdayaan perlu mengoptimalkan upaya penciptaan lapangan kerja/akses terhadap pekerjaan dan peningkatan kapasitas SDM, dan UMKM serta peningkatan akses terhadap pembiayaan melalui pendekatan graduasi maupun dukungan terhadap program lintas K/L. 4). Pengarusutamaan Pemberdayaan Ekonomi Sebagai Pengungkit Penanggulangan Kemiskinan yang meliputi; miskin ekstrem, miskin dan rentan. 5).Melanjutkan Pelaksanaan Program Sesuai Arahan Inpres Nomor 4 Tahun 2022 Tentang PPKE: K/L diharapkan mengoptimalkan peran yang diamanatkan pada Inpres Nomor 4 tahun 2022 tentang P3KE dan mengelaborasi potensi kolaborasi lainnya dalam kerangka konvergensi program lintas K/L.

Kemiskinan memiliki beberapa karakteristik yang meliputi: Chronic Poor dimana penduduk miskin telah masuk ke dalam kelompok Miskin dan sulit untuk keluar dari garis kemiskinan dan Churning Poor yaitu penduduk miskin yang keluar masuk ke dalam garis kemiskinan, terutama akibat adanya kejadian ekonomi yang tidak terduga. Penghapusan kemiskinan ekstrem merupakan tujuan pertama dari Sustainable Development Goal (SDGs) yang harus dicapai pada tahun 2030. Pada 4 Maret 2020 Bapak Presiden menyampaikan arahan untuk melakukan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem (US$ 1,9 PPP) pada tahun 2024, lebih cepat 6 tahun dari target SDGs.

Data BPS menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan ekstrem tahun 2021 ke 2022 hanya 0.1 poin persen. Jika tren ini berlanjut maka penurunan kemiskinan ekstrem 0% baru akan tercapai tahun 2042. Untuk mencapai angka kemiskinan ekstrem 0% pada 2024 perlu penurunan minimal 0.55 poin persen per tahun atau setara dengan 1.5 juta jiwa/tahun, sehingga diperlukan extraordinary effort. Upaya konvergensi dan ketepatan sasaran mulai menunjukkan hasil. Pada tahun 2023 penurunan angka kemiskinan ekstrem turun 0,92 persen poin. Jika penurunan ini terus berlangsung, maka 2024 dapat tercapai kemiskinan ekstrem 0%. Angka kemiskinan ekstrim (US$ 1.9 PPP) pada Maret 2023 sebesar 1.12 persen atau turun sebesar 0.92 persen poin jika dibandingkan dengan angka Maret 2022 (2.04 persen). Sebanyak 64,8% atau sekitar 3,63 Juta dari 5,59 Juta Penduduk Miskin Ekstrem tinggal di daerah pedesaan, dan sebanyak 56% diantaranya terkonsentrasi di 5 provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua dan NTT. Perhitungan angka kemiskinan ekstrem oleh Bank Dunia merupakan bagian dari indicator capaian SDGs yang dikoordinasi oleh PBB Hal ini merupakan momentum bagi pemerintah dalam melakukan evaluasi kebijakan dan program dalam rangka percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2024.

Beberapa tantangan yang dihadapi pemerintah dalam pencapaian target kemiskinan ekstrem, antara lain; 1). Penguatan basis data melalui pemutakhiran dan penetapan data sasaran; 2).Menjangkau kelompok miskin yang tidak menerima program (exclusion error): Identifikasi kelompok miskin ekstrem harus didukung dengan data yang akurat dan berperingkat; 3).Graduasi kelompok penerima program (inclusion error): Graduasi kepesertaan program harus dapat dilakukan, terutama pada Kelompok yang lebih sejahtera. 4).Perbaikan kelembagaan pelaksana program dan penetapan sasaran.

Ke depan, diperlukan kolaborasi multi-pihak dalam mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrim. Peran multi-pihak tersebut meliputi; kebijakan pemerintah pusat dan daerah dengan mengeluarkan regulasi terkait pengentasan kemiskinan di wilayah kantong kemiskinan, peran Corporate Social Responsibility (CSR) dan filantropi dalam memberikan edukasi publik, peran perguruan tinggi dalam meningkatkan pengetahuan dan riset/kajian tentang kemiskinan bersama pemerintah, peran media massa dalam edukasi publik dan peran masyarakat dan komunitas (dibantu organisasi masyarakat sipil) dalam meningkatkan pengetahuan dan kapasitas teknikal masyarakat.

Penulis: Dr. Made Agus Sugianto
Analis Kebijakan Bidang Ekonomi Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Badung.

Avatar photo

Makpi Support

Articles: 431