Kebijakan Keuangan Publik yang Pintar
Materi tes waktu mengajar di kelas.
Mata kuliah : Isu-Isu Kebijakan Publik Kontemporer, Isu “Etika Kebijakan Publik”
Di sebuah negara jauh dari sini, mengalami krisis ekonomi. Pendapatan negara berpotensi anjlok karena rakyat tidak kuat bayar pajak. Kebetulan menterinya jenius, dan beri solusi kebijakan kepada Bos-nya.
“Ada cara yg baik agar pendapatan negara tdk turun tanpa rakyat bayar pajak”.
“Hah? Ada? Apa namanya? Bagaimana, sini segera saya teken kebijakannya”
“Relaksasi perpajakan. Atau istilah yang lain juga boleh. Kita ada potensi 100 juta taxpayers. Harus bayar @ $ 1 juta. Potensi pendapatan kita $ 100 T. Kita bikin saja Kebijakan Subsidi pajak sebesar $ 100 T. Jadi pendapatan kita tidak berubah. Dan rakyat pasti senang, karena mereka gak usah bayar pajak. Daripada kita tarik, yg bisa bayar tinggal 50 juta, bayarnya @ $ 200 ribu, cuma dapat $ 10 T. Sudah mereka marah, kita tdk dapat duit. Cetak duit salah, pinjam salah.”
“Lha, $ 100 T dari mana?”
“Diciptakan, lah, Boss, printing, utang, atau dua2nya. Kalau perlu nilai relaksasinya $ 150 T. Kita ada kenaikan $ 50 T. Nobody cares”
“Apa rakyat tdk marah?”
“Dijamin tidak. Pertama, mereka senang tidak dipajaki. Ke dua, disposable income mereka naik, efeknya ekonomi tetap bergerak. Ke tiga, yang penting kemasan kebijakannya. Citra bahwa pemerintah itu care dan emphatic. Rakyat tidak akan melihat dibalik itu. Kita hepi, mereka hepi”
“Lha, efek pengadaan uang, bagaimana?”
“Aman. Kita punya kambing hitam, namanya krisis”
“Kalau kelak di masa depan efeknya buruk, seperti kasus CDO?”
“Saat itu kita sudah jauh”.
Pertanyaan: apakah perlu pertimbangan etis pada kebijakan tersebut?
Oleh Riant Nugroho,
co author buku Manajemen Sebagai Profesi
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia
Pengajar Program Pasca Sarjana FISIP Unjani