Obituari Untuk Tanri: Kegelisahan Untuk Bangsa
Sang “Begawan Manajemen” kembali ke pangkuanNya, dini hari, Minggu 23 Juni 2024. Ia adalah praktisi manajemen yang paling melegenda di Indonesia, bahkan di dunia. Boleh dikata, Tanri adalah anak didik intelektual dari mahaguru manajemen dunia Peter Drucker. Ia setia dengan nasihat Drucker, “tidak ada negara terbelakang, yang ada hanya negara yang tidak termanajemen”. Ditulis Drucker tahun 1974: Management: Task, Practices, and Responsibilities.
Saya bertemu Tanri pada tahun 1992, saat ia menjadi Presiden Direktur Heinekkan Indonesia atau PT Multi Bintang Indonesia. Sebagai wartawan, saya menemani keliling ke sejumlah kawasan “kantong” dari produk Bir Bintang, mulai kafe, pub, hingga rumah minum. Satu yang saya lihat, sebagai CEO perusahaan bir dengan pangsa terbesar (saat itu 62%), Tanri tidak pernah minum bir, bahkan produknya. Ia adalah seorang Muslim yang taat. Demikian juga, pada saat menjadi Presiden Komisaris British American Tobacco, produsen Lucky Strike, saya tidak pernah melihat Tanri merokok. Ia setia kepada kesehatan.
Satu yang pasti, ia setia kepada olah raga tenis. Ia menjadi salah satu pelopor perkembangan olahraga tenis di Indonesia, bahkan sebelum menjadi Ketua Umum PELTI (1998 s/d 2003), dengan mengkreasikan kejuaraan tahunan Green-Sands Sandy Tenis, yang pada tahun 1982 “melahirkan” Tintus A. Wibowo di putra, dan Susana A. Kusuma di wanita. Hingga menjadi Menteri BUMN (1998-1999) Tanri tetap setia dengan tenis, pada saat golf menjadi olahraga favorit para Menteri, pejabat tinggi, dan pebisnis besar. “Anda tidak bisa melobi saat bermain tenis, karena kita berlari ke sana, ke mari. Lain dengan golf, berjam-jam lobi”.
Itulah sebabnya, tahun 1996, Tanri mengkritik manajemen bisnis Indonesia dengan menyebut sebagai “manajemen lobi”. Karena pekerjaan para pengusaha dan manajer (what so called) profesional bukanlah memanajemeni bisnisnya dan pasar, tetapi melobi penguasa untuk mendapatkan konsesi, proteksi, dan fasilitas khusus. Itu yang dicatatnya di buku Dari Meja Tanri Abeng (1996).
Menteri BUMN
Di satu petang, saya bersua dengan Ir Hartarto, Menteri perindustrian, salah satu menteri era Soeharto yang juga melegenda. “Saya baru bertemu Pak Harto,”kata beliau. Sebagai seorang yesterday afternoon boys (anak kemarin sore), saya mengiyakan dan melongo. “Pak Harto ingin bayar lunas hutang kita.” “Iya, Pak”. “Menurutmu, bagaimana caranya”. “Wah, saya tidak tahu, sekolah saya tidak di ekonomi”. “Ya, mikir, kamu”. “Hmmm… bagaimana kalau BUMN-BUMN kita diperbaiki, kemudian 20-30 persen sahamnya dijual”. “Nah, itu bagus. Coba bikin konsepnya”. “Wadhuh, tidak mungkin, Pak. Saya tidak punya ilmunya. Yang saya tahu, dan kenal, ada Pak Tanri, Dirut Bakrie & Brothers. Beliau pasti bisa”. “Coba kamu sampaikan, ke Pak Tanri”.
Esoknya saya menemui Pak Tanri dan menyampaikan pesan Pak Hartarto. “Hmmm… Kamu bisa sampaikan ke orangnya Pak Harto, saya mau jadi Dirut Garuda”. “Lho, Bapak kan Dirut perusahaan konglomerat, kok mau ke Garuda yang seperti itu?”. “Saya ingin memberi tahu caranya memperbaiki BUMN”. Saya menyampaikannya ke Pak Sudwikatmono, pengusaha nasional, saudara Presiden Soeharto. “Ok, nanti saya sampaikan Pak Harto”. Ternyata, Presiden Soeharto tidak menghendaki Tanri menjadi Dirut Garuda. Melainkan meminta Tanri menyiapkan konsep reformasi BUMN. Konsep dengan tebal sekitar 60 halaman diterima oleh Presiden Soeharto. Meski banyak yang pesimis, karena salah satu syaratnya adalah putra-putri Presiden mundur dari intervensi di setiap BUMN, salah satunya Garuda.
Pada tanggal 14 Maret 1998 Tanri dilantik menjadi Menteri BUMN di Kabinet Pembangunan VII di bawah Presiden Soeharto. Meski ada satu “drama”. Tiga hari sebelumnya, pagi-pagi, telepon di rumah berdering. Ibu saya ke kamar, “Riant, kamu dicari Pak Tanri, itu di telepon”. Pak Tanri dengan suara yang (tumben) keras: “Riant, kamu bocorkan rahasia saya ya?!” “Wadhuh, hal apa, Pak?” “Itu, di The Straits Times (Singapura) halaman depan ada nama saya sebagai calon Menteri BUMN”. “Walah, selamat, Pak..” “Kok selamat?” “Lha saya juga baru tahu sekarang ini kalau Bapak diminta bantu Pak Harto di Menteri BUMN”. Pembicaraan selesai.
Tiga hari kemudian pelantikan, dan setelah pelantikan Pak Tanri ke kantor Bappenas. Ada sebuah ruangan tidak besar di lantai satu, berisi empat orang: Pak Tanri, Irma, sekretaris, Sapto (sekarang Deputi Setwapres), dan saya. Dari dalam ruangan, saat Pak Tanri, sebagai Menteri, sedang telpon, terdengar suara: “Mobil B..sekian-sekian harap ke depan… ditunggu”. Semua Menteri boleh dikata benci dengan Menteri BUMN, terutama 19 Menteri/Departemen yang akan ditarik seluruh BUMN-nya.
Pak Tanri kemudian menyewa tiga lantai di di gedung Bursa Efek sebagai Kantor Kementerian Pendayagunaan BUMN. Dari situ organisasi dibuat, dan akhirnya dianggarkan dan membawa Kementerian BUMN mencapai tiga misinya. Pertama, merevitalisasi diri melalui tiga metode khas Tanri Abeng: restrukturisasi, profitisasi, dan privatisasi. Bahkan, istilah profitisasi menjadi istilah serapan baru dalam bahasa Inggris. Ke dua, menjadi lokomotif pemulihan pelaku bisnis, karena pelaku ekonomi swasta konglomerat, yang selama ini dijagokan, sudah masuk ke “ICU”. Ke tiga Memulihkan ekonomi dengan dua target, memperkuat mata uang rupiah dan mulai melunasi utang.
Terbukti, duet BJ Habibie dan Tanri Abeng bisa membuat Rupiah menguat dari Rp 15.000/dollar menjadi Rp 8.000/dollar dalam waktu sekitar 3 bulan. Terbukti, cara profesional mengalahkan cara amatiran. Terbukti bahwa Habibie dan Tanri adalah tokoh kelas dunia yang mampu secara cerdas meluluhkan para pelaku raksasa di balik Perdagangan mata uang dunia.
Menyelamatkan BUMN
Tanri adalah sosok yang memikirkan lebih dari manajemen bisnis. Cita-citanya adalah menjadi guru. Dengan kekuatannya, didirikan Universitas Tanri Abeng. Namun, Tanri memang tidak bisa “pensiun” dari BUMN. Pada tahun 2003, karena laporan keuangannya dinilai tidak comply dengan regulasi, PT Telkom Tbk terancam delisting dari Bursa Saham New York (NYSE), salah satu bursa saham terbesar di dunia. Tanri diminta menjadi Komisaris Utama untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dengan kualitas personal dan profesional kelas dunia, terbukti dengan jaringan kelas dunia-nya, maka problem solved.
Dua kali periode menjadi Komut Telkom, Tanri menjadi Komut Pertamina. Tidak tanggung-tanggung, yang memintanya adalah Presiden Jokowi. Tanri adalah pribadi yang tulus memberikan masukan strategis dan realistis kepada setiap policy makers Indonesia. Tidak terkecuali Presiden Jokowi. “Saat saya pertama kali bertemu Pak Jokowi sebagai Gubernur Jakarta, saya punya feeling, orang yang hebat dan humble seperti ini perlu menjadi Presiden Indonesia. Dan, saya tidak salah”, kenang Tanri, yang punya beberapa sesi khusus dengan Pak Jokowi.
Pertamina berganti Dirut berkali-kali di dalam periode ke-Komut-an Tanri, tetapi nahkoda berada di bawah wibawa Tanri. Pertamina hari ini menjadi perusahaan yang masuk Fortune 500 salah satunya karena arahan Tanri. Inilah pengalaman penting: diperlukan profesional yang berkewibawaan untuk menjadikan BUMN baik, agar jajaran Direksi mempunyai keyakinan akan arah yang benar. Sebagai komisaris, Tanri bukan saja mengarahkan ke dalam, tetapi menjadi benteng perlindungan ke luar. Reputasinya sebagai Menteri BUMN pertama, pendiri Kementerian BUMN, dan keberhasilan membawa BUMN sebagai lokomotif pemulihan ekonomi, dipastikan membuat setiap Menteri BUMN akan “keder” untuk terlalu intervensi baik secara birokratik ataupun politik kepada BUMN di mana ia menjadi Chairman. Dus, untuk menjadi komisaris BUMN tidak bisa mengandalkan kedekatan kepada kekuasaan belaka, tidak cukup sebagai pejabat tinggi birokrasi, bahkan tidak cukup dengan gelar akademik tertinggi –profesor. Perlu lebih dari itu.
Terakhir, Tanri dipercaya menjadi Komisaris Utama Holding Farmasi. Saya baru mengerti, betapa tidak mudahnya memimpin BUMN “kelas menengah”, karena ternyata lebih mudah diintervensi secara berlebihan oleh birokrasi dan politik. “Riant, masalah kita tetap sama sejak era Orde Baru, intervensi berlebihan dari birokrasi dan kekuasaan politik,”katanya setelah rapat Dekom di kediamannya, yang sudah disulap jadi ruang rapat –supaya hemat, katanya. Ia belum selesai menyelesaikan problem di BUMN Farmasi, karena ia berhadapan dengan kekuatan yang tidak cukup senang dengan manajemen profesional.
Pelajaran terakhir
Buku Manajemen sebagai Profesi: Konsep, Teori, Praktek, dan Pembelajaran (Elex/Gramedia, 2024) adalah karya terakhir dan masterpiece Tanri Abeng. Dirilis Mi 2024, belum sempat launching, sudah sold out. Selama enam bulan di tahun 2023 kami berdiskusi sejak jam 10 pagi, kadang sampai makan malam. Tanri sangat resah, karena manajemen adalah frasa yang paling banyak diucapkan, tetapi paling banyak tidak dimengerti, bahkan banyak disalah-mengertikan. Manajemen profesional hanya sebatas gaji besar, mobil mewah, kantor yang berkilau.
Profesional harusnya, pertama-tama, seperti yang dikatakan Bapak Kedokteran Hippocrates dalam Epidemics (400 SM). Profesional adalah primum non nocere, yang terjemahan bebasnya adalah tidak melakukan sesuatu yang sudah diketahui bahwa itu salah. Berapa banyak dari manajer di sektor, bisnis, dan pemerintahan yang tahu bahwa itu salah, tetapi tetap dikerjakannya. Betapa tidak profesionalnya manajemen negara kita pada setiap lini, pada setiap sektor. Tanri pergi dengan kegelisahannya dengan mengajak kita tetap gelisah mempertanyakan diri kita. Sudahkah kita bersedia menjadi manajer profesional, ataukah kita tetap memilih menjadi manajer yang amatiran. Bersediakah kita menjadi pemimpin profesional, atau hanya amatiran? Kegelisahan Tanri adalah kegelisahan bangsa ini.
Oleh Riant Nugroho,
co author buku Manajemen Sebagai Profesi
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia
Pengajar Program Pasca Sarjana FISIP Unjani