Wisata Halal: Sebuah Aktivitas Eksklusif? Bisakah Berkelanjutan Pasca Pandemi?

Prolog

Di daerah saya, pernah ada yang mewacanakan Wisata Halal dijadikan sebagai salah satu isu strategis pembangunan daerah. Karena daerah saya dikenal sebagai Kota Santri.

Tetapi gagasan ini cenderung ditanggapi skeptis oleh berbagai kalangan. Juga oleh para wakil rakyat daerah. Mereka umumnya memandang wisata halal merupakan konsep yang eksklusif, sarat dengan berbagai aturan rigid yang membatasi sehingga justru akan mengurangi kunjungan wisatawan dan menghambat perkembangan pariwisata.

Opini umum tersebut bisa dinilai sebagai sesuatu yang wajar dalam kacamata ilmu sosial. Kecenderungan stereotip ditambah disinformasi terhadap sebuah konsep yang relatif baru, merupakan fenomena umum sekaligus paradoks di era teknologi informasi ini.

Berkaca kepada fenomena sosial-keagamaan sebelumnya, pada tahun 70-80-an Jilbab atau busana muslimah sempat disalah-fahami dan dilarang penggunaannya di tempat formal seperti di perkantoran dan sekolah. Seiring dengan waktu, diseminasi informasi (dakwah) dan dialog kebudayaan, maka Jilbab semakin diterima masyarakat pada era 90-an. Mulai tahun 2000-an sampai saat ini Jilbab menjadi salah satu tren fesyen sekaligus industri yang mendiversifikasi jenis usaha dalam perekonomian nasional.

Apakah Wisata Halal Eksklusif atau Inklusif?

Kalimat pertama dari judul tulisan ini sebetulnya merupakan pertanyaan retoris. Saya dalam banyak kesempatan berusaha meyakinkan sebaliknya. Saya pernah menulis esai tentang fenomena industri pariwisata halal di negara (berpenduduk) non-muslim[i] dan potensi serta tantangan pengembangan wisata halal pada masa pandemi di tanah air[ii] dalam sebuah media daring. Para pembaca yang budiman bisa menyimak ulasan opini saya mengenai wisata halal melalui kedua tulisan tersebut.

Apabila Anda masih penasaran silakan searching di mesin pencari internet dengan kata kunci: Wisata Halal atau Halal Tourism. Anda akan mendapatkan definisi sampai bagaimana gambaran praktiknya dalam dunia industri pariwisata.

Apabila anda lebih tertarik dengan kajian akademis, Anda dapat mencarinya di mesin pencari buku, atau artikel di jurnal ilmiah.

 

Intinya adalah sebagaimana Ekonomi Syariah yang konsepnya diadopsi pula oleh perbankan konvensional di berbagai negara, Wisata Halal juga adalah konsep inklusif yang merupakan salah satu karakteristik segmen pasar dan produk dalam dunia industri pariwisata yang bisa diakses dan dinikmati oleh siapa saja, tanpa melihat latar belakang identitas Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA)

Wisata Halal di Masa Pandemi

 

Kalimat kedua judul tulisan ini merupakan pertanyaan yang rumusan jawabannya perlu dielaborasi lebih jauh. Wisata halal sebagai salah satu jenis dalam industri pariwisata tidak terkecuali terkena dampak dari pembatasan aktivitas masyarakat di seluruh dunia akibat merebaknya pandemi Covid-19.

Secara statistik berbagai lembaga dari level global, nasional dan sub-nasional telah mengukur atau memproyeksikan dampak pandemi terhadap pariwisata. Statistik pariwisata Halal dunia setiap tahun sejak 2015 dilaporkan dalam Global Muslim Travel Index (GMTI). Laporan ini dirilis oleh the Crescent Rating yang bekerjasama dengan Master Card dan Kementerian Pariwisata di berbagai negara.

GMTI 2021 melaporkan bahwa pasar wisata halal global mengalami kenaikan signifikan dari 108 juta wisatawan pada 2013 menjadi 160 juta pada 2019. Pandemi Covid-19 menurunkan jumlah kunjungan menjadi 42 juta wisatawan pada 2020 dan diperoyeksikan kembali turun lagi menjadi hanya 26 juta kunjungan wisatawan pada 2021.

Namun demikian upaya bertahan dalam krisis (resiliensi) dan pembenahan dunia usaha dalam menyongsong kehidupan baru pasca-pandemi merupakan naluri alamiah pelaku usaha. Upaya pelaku usaha wisata halal khususnya di Kawasan ASEAN dirilis pada Juli 2020 oleh Crescent Rating dalam Travel Readiness Report Covid-19 in ASEAN 2020.

Posisi Indonesia dalam Wisata Halal

Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia sekaligus kaya akan keindahan alam dan budaya, Indonesia sangat berpotensi menjadi destinasi sekaligus konsumen wisata halal terbesar. Namun demikian potensi yang besar belum tentu memberikan hasil maksimal bila tidak dikelola dengan baik.

Ranking Indonesia dalam Wisata Halal pada tahun 2015 menurut GMTI adalah ke-5. Peringkat ini membaik setiap tahun naik satu peringkat dan pada 2019 menjadi ranking pertama bersama Malaysia. Pada tahun 2020 ranking Indonesia melorot menjadi rangking 4, walaupun 2021 sedikit ada perbaikan menjadi ranking 3 di bawah Malaysia dan Saudi Arabia.

Melihat tidak konsistennya ranking Indonesia dalam peringkat Wisata Halal dunia, yang berbeda dengan Malaysia yang hampir selalu nomor wahid setiap tahun, mengindikasikan kurang mapannya pengelolaan wisata halal di Indonesia. Saya melihat masih adanya disinformasi dan tidak meratanya literasi wisata halal sampai ke daerah-daerah di Indonesia adalah salah satu diantara banyak penyebabnya.

Beberapa Hal yang Perlu Dibenahi

Diantara hal prinsipil yang harus dibenahi adalah masalah paradigma. Kebhinekaan yang ada di Indonesia belum dikelola sepenuhnya untuk dijadikan sinergi demi kemaslahatan dan kesejahteraan bersama. Kebhinekaan yang salah kelola dapat justru menimbulkan benturan-benturan nilai di masyarakat yang belum dewasa dalam menyikapi perbedaan kepercayaan. Wisata Halal malah sempat dicurigai sebagai praktik politik identitas dari golongan mayoritas.

Sangat disayangkan apabila ada perang nilai berupa satire yang tersebar di media sosial bahwa destinasi wisata utama di Indonesia keberatan dengan konsep Wisata Halal. Dikabarkan ada rumah makan memasang tagline “100 persen haram” pada tempat usahanya. Benturan nilai ini dapat dikelola dengan meningkatkan budaya literasi dan nilai-nilai toleransi di tengah masyarakat.

Secara epistomologi Halal berarti diperbolehkan syariat dalam agama Islam yang prakteknya bersifat universal dapat diutilisasi / dikonsumsi oleh non-muslim. Dan kehadiran wisatawan muslim dari berbagai belahan dunia tentu dampak ekonominya dapat dinikmati oleh seluruh pelaku usaha tanpa memandang identitas agamanya.

Wisata Halal dalam perspektif bisnis sebenarnya sederhana. Penyedia layanan wisata hanya perlu menambah informasi dan pilihan bagi wisatawan dalam penyediaan produk dan layanan yang halal pada bisnisnya. Hal ini dapat dipandang sebagai penyediaan produk dan jasa untuk segmen pasar khusus yang memiliki preferensi konsumen dan kebiasaan (customer preference and behavior) yang sesuai dengan ajaran agamanya.

Praktek bisnis ini telah dilaksanakan pula di negara non-Muslim seperti Jepang, Korea Selatan, Inggris (UK), Afrika Selatan dan banyak negara lainnya.

Bahkan fenomena Wisata Halal di Jepang diulas dalam laporan khusus bertajuk Japan Muslim Travel Index 2017. Lebih jauh tentang konsep wisata halal di negara-negara non-muslim dapat disimak dalam artikel saya yang terdahulu atau dipelajari lebih dalam referensi yang lebih ilmiah.

Indonesia sudah barang tentu menjadi salah satu kiblat wisata halal yang fenomenanya diukur dalam laporan Indonesia Muslim Travel Index, yang dirilis pada tahun 2017, 2018 dan 2019.

Dari perspektif sektor publik (pemerintah dan masyarakat) wisata halal di Indonesia yang mayoritas beragama Islam lebih mudah contoh-contoh prakteknya. Pemerintah daerah bersama dengan MUI, Dewan Masjid Indonesia, dan organisasi masyarakat lainnya dapat memperluas perspektif layanan publiknya agar berwawasan wisata. Sebagai contoh sederhana, pengelolaan pelayanan masjid yang lebih professional dari aspek kebersihan, kenyamanan, keamanan dan keramahan kepada jamaah akan menambah kesan positif wisatawan muslim yang berkunjung.

Salah satu contoh yang baik mengenai pengelolaan masjid yang profesional adalah Masjid Jogokaryan di Yogyakarta. Walaupun sebuah masjid biasa di tengah permukiman kota, bukan masjid agung berarsitektur indah seperti Masjid Baiturrahman di Aceh, Istiqlal di Jakarta, dan Kubah Emas di Depok, Masjid Jogokaryan dapat menarik wisatawan muslim yang penasaran ingin beribadah dan merasakan langsung suasana di masjid tersebut.

Dengan sendirinya hotel yang dekat dengan masjid tersebut menjadi pilihan utama bagi wisatawan muslim yang berkunjung ke Yogyakarta untuk menikmati berbagai objek wisata di sana sekaligus ingin merasakan suasana religius di kota tersebut. Demikian pula dengan penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang disediakan untuk warga di suatu daerah dapat dimaknai bahwa fasilitas tersebut akan dirasakan oleh wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.

Prospek Wisata Halal di masa dan pasca-pandemi

Dengan karakteristik khas nya, Wisata Halal menurut saya merupakan jenis wisata yang paling kompatibel di masa dan pasca-pandemi. Prinsip menjaga kebersihan, menjaga jarak, dan hiburan yang sehat bagi keluarga untuk semua umur, akan menjadi prinsip primer baru bagi industri pariwisata di masa depan.

Daerah tujuan wisata yang menyuguhkan hiburan malam dan yang bersifat hedonistic lebih riskan dengan penyebaran klaster baru dari pandemi yang bersifat terus bermutasi menghasilkan varian virus baru.

Pandemi ini memang “memaksa” masyarakat untuk kembali memperhatikan kebersihan dan protokol kesehatan. Lebih jauh bagi sebagian besar orang pandemi membawa mereka kembali kepada nilai-nilai Ketuhanan dan religi. Saya pribadi berharap apabila pandemi berakhir perilaku penuh kehati-hatian ini tetap lestari. Memperhatikan kehalalan (dibolehkan syariat agama) dalam segala aktivitas termasuk aktivitas berwisata dapat menjadi karakter industri pariwisata di masa depan.

Tentu saja dengan tidak disalah-artikan. Wisata Halal bukan berarti di objek wisata tersebut semuanya Halal, semua hal dibolehkan. Sama dengan istilah Wilayah Bebas Korupsi atau Bebas Pungli yang menjadi tagline di beberapa instansi pemerintah. Tidak dimaknai di kantor tersebut bebas melakukan korupsi atau bebas meminta pungli.**

Catatan Kaki

[i] https://birokratmenulis.org/wisata-halal-bagian-1-fenomena-di-negara-berpenduduk-non-muslim/
[ii] https://birokratmenulis.org/wisata-halal-bagian-2-peluang-indonesia-dan-tantangan-pandemi/

Sumber foto dan infografik : www.crescentrating.com

Referensi

Muslim Travel, Tourism & Halal Food Market Research, Reports and Publication. https://www.crescentrating.com/halal-muslim-travel-market-reports.html

Penulis
Satya Laksana
Perencana Ahli Muda

Makpi Support
Makpi Support
Articles: 304