Strategi Percepatan Penurunan Angka Stunting di Indonesia

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 merupakan titik awal untuk mencapai sasaran Visi Indonesia 2045 yaitu Indonesia Maju. Untuk itu penguatan proses transformasi ekonomi dalam rangka mencapai tujuan pembangunan tahun 2045 menjadi fokus utama dalam rangka pencapaian infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, Layanan publik, serta kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Tiga strategi pembangunan SDM meliputi; 1).Layanan dasar dan perlindungan sosial, yang terdiri dari: a).Tata kelola kependudukan b).Perlindungan sosial c).Kesehatan, d).Pendidikan, e)Pengentasan kemiskinan, f).Kualitas anak, perempuan dan pemuda. 2).Produktivitas, yang terdiri dari: a)Pendidikan dan pelatihan vokasi, b).Pendidikan tinggi, c).Iptek dan inovasi dan d).Prestasi olahraga. 3).Pembangunan karakter, yang terdiri dari: a).Revolusi mental dan pembinaan ideologi Pancasila, b).Pemajuan dan pelestarian kebudayaan, c).Moderasi beragama dan budaya literasi, e).inovasi dan kreativitas. Dalam RPJMN Tahun 2020-2024, pada daftar proyek prioritas strategis, disebutkan juga salah satu prioritas strategisnya yaitu percepatan penurunan kematian ibu dan stunting.

Kejadian stunting merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia. Menurut data World Health Organization (WHO), pada tahun 2023 diperkirakan sebanyak 22.3% balita mengalami stunting di seluruh dunia, yang mana 52% diantaranya berada di Asia. Menurut Pusat data dan informasi Kemenkes, sepanjang tahun 2021-2022 terjadi penurunan stunting sebesar 2,84%. Selanjutnya pada tahun 2023, laju penurunan prevalensi stunting meningkat 2 kali lipat menjadi 5,64%. Meskipun sudah mengalami penurunan, namun pada tahun 2022 masih terdapat gap antara target (18,44%) dengan pencapaian penurunan prevalensi stunting (21,6%). Rata-rata laju penurunan prevalensi stunting dari tahun 2015 sampai tahun 2019 sebesar 0.8% per tahun. Penentuan target persentase penurunan stunting balita usia dua tahun (baduta) bersumber dari Rencana Strategis (Renstra) BKKBN Tahun 2020-2024. BKKBN melakukan beberapa kali penyesuaian indikasi target dalam perjanjian kinerja tahun 2022-2024. Pada tahun 2022 target sebesar 21%, tahun 2023 target 17% dan untuk tahun 2024 target sebesar 14%. Data BKKBN menunjukkan terjadi penurunan baduta stunting sebesar 10% selama periode 2020-2022, dengan persentase rata-rata penurunan baduta stunting sebesar 3,3% per tahun.

Menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Stunting memberikan beberapa dampak buruk bagi generasi bangsa di masa depan. Kurang gizi menyebabkan lebih dari tiga juta kematian anak pada tahun yang sama, atau sekitar 45% dari semua kematian pada anak balita. Stunting juga berdampak pada terjadi penurunan fungsi kognitif anak stunted sebesar 7% -16% dibandingkan anak yang tidak stunted. Selain itu, anak yang mengalami stunting, ketika dewasa mengalami tekanan darah tinggi, obesitas, dan penyakit kronis terkait termasuk diabetes serta penyakit jantung. Ketika dewasa, anak yang mengalami kondisi stunting berpeluang mendapatkan penghasilan 20 persen lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stunting. Hal ini berpeluang menimbulkan kerugian ekonomi Negara sebesar 2-3 persen dari PDB per tahun.

Perpres Nomor 72 Tahun 2021 juga menyatakan bahwa strategi nasional percepatan penurunan stunting merupakan langkah-langkah berupa 5 (lima) pilar yang berisikan kegiatan untuk percepatan penurunan stunting dalam rangka pencapaian pencapaian target nasional prevalensi stunting yang diukur pada anak berusia di bawah 5 (lima) tahun. Adapun kelima pilar tersebut meliputi: a).peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa; b).peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat; c).peningkatan konvergensi Intervensi Spesifik dan Intervensi Sensitif di kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa; d).peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat; dan e). penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi. Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting bertujuan untuk: a).menurunkan prevalensi stunting; b).meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga; c).menjamin pemenuhan asupan gizi; d).memperbaiki pola asuh; e).meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan; dan f).meningkatkan akses air minum dan sanitasi. Adapun kelompok sasaran pelaksanaan percepatan penurunan stunting meliputi: a).remaja; b). calon pengantin; c). ibu hamil; d). ibu menyusui; dan e). anak berusia 0 (nol) – 59 (lima puluh sembilan) bulan.

Beberapa tantangan yang dihadapi pemerintah dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting antara lain; a).Persentase rumah tangga yang mendapatkan akses air minum yang layak baru mencapai 93% dari target 95%. c).Persentase rumah tangga yang mendapatkan akses sanitasi yang layak mencapai 79% (target 82%). d).Persentase desa/kelurahan yang stop buang air besar sembarangan (57%) dari target 60%. e).Pemasangan alat kontrasepsi pasca persalinan mencapai 52% (target 60%). f).Kehamilan yang tidak diinginkan mencapai 11% dari target 16%, g).Pemasangan alat kontrasepsi pasca persalinan sebesar 52% (target 60%) dan h).Calon PUS periksa Kesehatan baru mencapai 17% dari target 80%.

Kisah sukses beberapa negara menurunkan angka stunting. Pada negara Peru, penurunan angka stunting mencapai 4,25% per tahun, yaitu dari 54% tahun 2000 menjadi 37% pada tahun 2004 (khusus baduta di daratan Amazone). Upaya yang dilakukan pemerintah Peru antara lain; 1). Fokus pada keluarga miskin, 2). Skema insentif financial (Juntos) yang dikirim ke ibu agar membawa anaknya ke fasilitas Kesehatan, 3), Program Water, Sanitation and Hygiene (WASH) dan 4). Dukungan psikososial tumbuh kembang baduta. Selanjutnya negara Maharastra mengalami penurunan stunting sebesar 3% per tahun, yaitu dari 44% tahun 2005 menjadi 22,8% tahun 2012. Upaya yang dilakukan antara lain; 1). Advokasi pentingnya 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), 2). Ada ‘think tank’ yang menyiapkan saran kebijakan berbasis bukti kepada pemerintah, 3). Menciptakan platform konvergensi antar departemen.

Negara Bolivia mengalami penurunan stunting mencapai 2,5% per tahun, dari 18,54% tahun 2008 menjadi 13,5% di tahun 2011. Upaya yang dilakukan pemerintah Bolivia antara lain; 1).Promosi ASI eksklusif dan MPASI yang terfortifikasi, 2).Program WASH, 3).Pertanian keluarga untuk pemenuhan kebutuhan protein dan sayuran. Demikian pula negara Korea Selatan, angka stuntingnya mengalami penurunan sebesar 1,78% per tahun, dari 28% di tahun 2012 menjadi 19,14 di tahun 2017. Upaya yang dilakukan pemerintah antara lain; 1).Skrining kasus dan rujukan dini kasus malnutrisi serta perawatan giri di fasilitas (Ready To Use Therapeutic Food/RUTF), 2).Outreach pemberian vitamin A, obat cacing dan taburia untuk seluruh ibu yang memiliki bari usia 6-23 tahun dua kali per tahun.

Memang dibutuhkan komitmen pemerintah dan pemangku kepentingan agar kebijakan percepatan penurunan stunting bisa berjalan dengan efektif. Oleh karena itu, kedepan diperlukan kebijakan terkait metode pengukuran data agar hasilnya bisa terintegrasi secara nasional. Beberapa sumber data tersebut meliputi Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), Aplikasi elektronik-penataan dan Pelaporan Gizi berbasis Masyarakat (e-PPGBM) dan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) yang dilaksanakan oleh BRIN dan BPS. Selanjutnya, diperlukan juga evaluasi secara periodik dan menyeluruh keterkaitan antara kebijakan nasional dan kebijakan daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota, Desa), peta jalan dan rencana aksi perlu berbasis potensi dan problem lokal serta pengawasan implementasi kebijakan bersifat generik dan parsial. Berikutnya diperlukan kebijakan yang mampu mendorong partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan media sosial untuk kegiatan edukasi pola hidup sehat, social engineering dan introduksi inovasi terkait.

Oleh: Dr. Made Agus Sugianto
Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Badung
Email: [email protected]

Avatar photo

Makpi Support

Articles: 498