Kebijakan Kecerdasan Tiruan

Diskusi dengan sejumlah pimpinan perusahaan teknologi digital di Seattle di awal musim semi ini memberikan perspektif yang nampaknya baru untuk membangun kebijakan publik artificial intelligence atau kecerdasan tiruan bukan manusia di Indonesia. Meski setidaknya, sudah ada dua kelompok pemikiran. Pertama, kelompok yang AI-files dan AI-fobia. Istilahnya diambil dari xenofiles, yang kegandrungan luar biasa kepada produk luar negara, terutama dari negara maju, atau dikenal dengan istilah “asing”, biasanya terjadi pada negara berkembang atau terbelakang, mulai dari produk barang, jasa, teknologi, pikiran, ilmu hingga manusianya. Dan, xenofobia, ketidaksenangan, bahkan kebencian kepada asing dan segala produknya. Soekarno membawa Indonesia Merdeka dan menjaganya dengan membawa pemikiran xenophobia kepada bangsa Indonesia. Setelahnya, para pemimpin lebih banyak mengajarkan xenofiles.

AI-files adalah kegandungan yang luar biasa kepada AI. Pada diskusi dengan pimpinan perusahaan teknologi asal Seattle tersebut, dikisahkan, ada klien yang ingin datanya diolah dengan AI, tetapi ia tidak mau datanya diketahui atau dibaca oleh pemilik sistem atau aplikasi dari AI tersebut. Pasalnya, itu adalah data rahasia. Pemilik system AI juga tidak mau diketahui rahasianya, nanti dijiplak oleh pemilik data. Ternyata sudah ada solusinya. Sistem atau aplikasi AI tersebut dibawa dan diletakkan pada sebuah “pot” atau “wadah” AI, dan kemudian data yang hendak diolah dibawa dan diletakkan pada pot yang sama. Keduanya kemudian “bertemu”; data diolah tanpa diketahui isinya oleh pemilik sistem, dan pemilik data tidak dapat mengetahui sistemnya. Kemudian, keluarlah hasilnya, keluar simpulannya.

Pemilik data membayar kepada pemilik AI atas jasa pengolahannya; percaya bahkan tanpa harus tahu apa sistemnya dan bagaimana bekerja. Hanya logika metode kerjanya yang sudah mendapatkan validasi dan verifikasi berupa sertifikasi yang tertinggi dari komunitas sertifikatornya. Ada nasihat keagamaan, “percayalah (kepada Tuhan) tanpa melihat”. Komunitas agama memperkuat melalui validasi dan verifikasi ritual. Untuk Tuhan, hal itu wajar. Namun, untuk produk manusia, menjadi sebuah tantangan baru. Manusia menciptakan dirinya sebagai Tuhan, sebagaimana premis homo deus-nya Yuval Noah Harari (2016). Bahkan, manusia menciptakan buatan, AI, yang menjadi Tuhan bagi manusia sendiri.

Luar biasa. Isu ketidak-percayaan dan keamanan (security) di era digital yang menjadi masalah bagi hampir semua organisasi, termasuk organisasi Negara, “selesai”. Mengapa menjadi masalah? Karena setiap pemilik data, apalagi negara, selalu cemas jika data mereka “ditambang” oleh penyedia jasa pengelolaan data swasta, apalagi swasta asing. Dan, harus diakui, AI tersebut sudah ada dan ditawarkan oleh para industri garda depan teknologi kecerdasan tiruan. Artinya, tidak ada lagi alasan bagi para kritisi dan netizen yang AI-fobia, apalagi xenophobia, untuk menolak Pemerintah menyewa operator manajemen data swasta, terutama swasta asing.

Tantangan kebijakan publiknya adalah: apakah negara membolehkan untuk percaya tanpa bukti, sebagaimana percaya kepada Tuhan? Termasuk hanya dengan verifikasi dan validasi para penyokongnya. Jika, ya, maka dengan segera dilakukan penggelaran kerjasama dengan swasta untuk penyediaan dan pengelolaan data publik nasional. Konsekuensi selanjutnya adalah intensifikasi pendayagunaan AI untuk seluruh sektor, termasuk di sektor ekonomi.

AI dan perekonomian

Pada tahun 1960an, ekonom pemenang Nobel Milton Friedman berkunjung ke salah satu negara berkembang di Asia. Ia melihat proyek Pembangunan jalan yang menggunakan pacul dan sekop. Ditanyakan, mengapa tidak menggunakan mesin. Jawabnya, proyek pemerintah harus menyerap banyak pekerja –proyek “padat karya”. Friedman merespon sinis: “kalau mau makin banyak pekerja, mengapa mereka tidak disuruh memakai alat sendok dan garpu saja”.

Teknologi membuat manusia bekerja semakin efektif dan produktif. Tidak dapat diingkari, mesin menjadi alat bantu terbaik bagi manusia. Namun, AI bukanlah mesin biasa. Hadir dalam bentuk robot dan perangkat cerdas lainnya, maka teknologi mesin di abad 21 bukan lagi membantu manusia pekerja, melainkan menggantikannya.

Amazon menggunakan Proteus, robot pekerja gudang otonom, yang mengangkat, meletakkan, dan memindahkan barang di gudang tanpa campur tangan manusia. Pelabuhan Qingdao disebut sebagai “Pelabuhan Hantu”, karena beroperasi 24 jam dengan teknologi AI/robotika tanpa pekerja manusia di lapangan. Robot tidak pernah lelah, tidak pernah salah, dan tidak pernah mengeluh sakit pinggang dan punggung, seperti manusia. Apalagi mogok atau demo “Hari Buruh”.

Kehadiran AI, terutama dalam bentuk tekonologi robotika yang terkini dan ke depan, mengganti pekerjaan manusia lebih cepat daripada yang dapat dibayangkan dan diyakinkan oleh banyak penganjurnya. Pada Januari 2010, The Washington Post melaporkan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, perekonomian Amerika tidak menciptakan lapangan kerja baru. Hari-hari ini mana pertumbuhan ekonomi berbasis industri yang ditopang teknologi “selalu berhasil memberikan keberhasilan”, seperti yang diajarkan pada ekonom, tidak berlaku lagi.

Pekerjaan-pekerjaan yang justru tercipta adalah pekerjaan “kasar”. Martin Ford dalam The Rise of the Robots (2015) menemukenali bahwa pada sepuluh tahun terakhir di Amerika terjadi penurunan upah pekerja, karena 50% dari pekerja lulusan perguruan tinggi justru mendapatkan pekerjaan di tempat yang tidak memerlukan pendidikan tinggi. Sejumlah kecil manusia mengelola perusahaan dengan kekayaan raksasa teknologi seperti Amazon, Google (Alphabet), Microsoft, dan Facebook (Meta). Dan, semua perusahaan besar, termasuk manufaktur, sedang berpacu menuju ke sana.

Tantangan adalah, apakah Negara melalui kebijakan publiknya mendukungnya atau tidak. Jika mendukungnya, dengan segera Indonesia menjadi bagian dari rantai supply-chain dunia, dengan harga pengangguran, terutama pengangguran berpendidikan tinggi. Menolaknya, Negara akan ketinggalan. Meskipun dengan mengadopsi, juga tetap ketinggalan. Karena perkembangan kapital dan modal meningkatkan kesenjangan antara negara berkembang dan negara maju. Perkembangan teknologi mempercepat kesenjangan. Perkembangan AI memastikan kesenjangan tidak terkejar. Untuk membangun modal, teknologi, dan AI Indonesia sudah terlambat 25-50 tahun dibanding India, China, dan Korea.

Paradoks

Pada awalnya, industri membuat produk dengan mempekerjakan manusia, di mana manusia yang bekerja memperoleh upah untuk membeli (mengonsumsi) produk tersebut. AI menggantikan pekerja manusia dalam hitungan yang semakin eksponensial. Pada tahap transisi, masih ada manusia yang bekerja untuk membeli produk yang dibuat oleh industri dengan AI dan robotika. Pada tahap akhir, dimungkinkan industri mempekerjakan AI-robotika tanpa manusia, namun pembelinya tetap manusia. Karena mesin tidak perlu makan, membeli pakaian, atau minum vitamin. Pada fase awal, Masyarakat memiliki daya beli yang kuat, karena bekerja; kemudian berkurang, dan akhirnya melemah. Industry kehilangan pembeli. Dan prosesnya berjalan sangat lambat, dan makin cepat setelah diaplikasikannya AGI (artificial general intelligence), meninggalkan ANI (artificial narrow intelligence), dan mencapai kulminasi pada tahap ASI (artificial super intelligence) yang melampaui kemampuan berfikir manusia.

Kehadiran teknologi AI menghadirkan paradoks, perekonomian kehilangan masyarakat dengan daya belinya. Solusinya adalah, pemerintah menjadi pembeli produk tersebut untuk didistribusikan kepada masyarakat, dengan konsekuensi masyarakat yang dibiayai oleh negara. Pekerjaan masih ada, namun terkelompokkan menjadi dua ekstrem: pekerjaan dengan kecerdasan ekstra tinggi dan pekerjaan kasar dengan skalabilitas ekonomi yang rendah untuk dikerjakan AI/robotika –kecuali yang dibeli dan dibiayai negara, misalnya AI/robotika penyapu jalan, pembersih WC umum, pembagi makanan untuk orang miskin, penyelia pengangguran, dan sejenisnya.

Simpulan

AI adalah ruang bagi kebijakan publik yang intraktabel, yang sejak awal memang tidak mudah, baik untuk dibuat, apalagi dilaksanakan, dan dikendalikan. Kebijakan AI-files, menjadikan AI sebagai “Tuhan” bukan kebijakan yang baik. Kebijakan AI-fobia, menentang AI, adalah kesalahan, karena AI adalah kebutuhan terkini dan ke depan. Sayangnya, tidak ada jalan tengah. Kebijakan dihela oleh vendor adalah kesembronoan. Membiarkan AI berkembang tanpa kebijakan juga merupakan kesembronoan lain yang tidak kalah buruk.

Hari ini sebagian besar pembuat kebijakan di tingkat nasional dan daerah masih gamang di satu sisi, di sisi lain takut untuk dianggap ketinggalan zaman sehingga cenderung AI-files. Pemerintahan pada masa akhir periode ke dua Presiden Jokowi bertemu dengan realitas beserta paradoks AI dan intraktabilitasnya. Padahal, keberhasilan dan kegagalan menetapkan kebijakan, atau setidaknya menyiapkan pondasi pemikiran kebijakan yang tepat, menentukan bagaimana Indonesia ke depan, bukan saja di pemerintahan 2024 – 2029, namun seterusnya. Tidak terkecuali kebijakan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) hingga Pusat Data Nasional (PDN), serta kebijakan ke-AI-an di setiap sektor.

Oleh: Riant Nugroho
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia, Pengajar Pasca Sarjana FISIP Unjani

Makpi Support
Makpi Support
Articles: 348