Global
Reli pasar global tampak kehilangan momentumnya, dengan indeks S&P 500 dan Nasdaq masing-masing melemah 0,2% dan 0,8%, sementara Dow Jones justru menguat 0,4%. Perdagangan berlangsung volatil seiring meningkatnya kekhawatiran terhadap eskalasi ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Selain kebijakan pembatasan ekspor rare earth dan penerapan biaya pelabuhan tambahan untuk kapal AS, Tiongkok juga menjatuhkan sanksi terhadap lima anak perusahaan pembuat kapal asal Korea Selatan, Hanwha Ocean. Kementerian Perdagangan Tiongkok menuduh perusahaan-perusahaan tersebut membantu investigasi pemerintah AS terhadap sektor maritim, logistik, dan industri perkapalan Tiongkok. Sementara itu, Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer menyebut bahwa waktu penerapan tarif 100% yang diumumkan Presiden Donald Trump terhadap Tiongkok akan “bergantung pada langkah yang diambil oleh Tiongkok.” Dalam unggahan di media sosial, Trump juga mengancam akan mengganggu perdagangan minyak goreng dengan Tiongkok sebagai bentuk pembalasan atas penolakan Tiongkok membeli kedelai dari AS. Di sisi lain, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menilai kebijakan ekspor rare earth yang dilakukan Tiongkok merupakan upaya untuk “melemahkan ekonomi global.” Langkah tersebut mendorong Uni Eropa untuk berkoordinasi dengan AS dan negara-negara G7, dengan fokus pada upaya diversifikasi rantai pasok global, sebagaimana disampaikan oleh Komisioner Perdagangan Eropa Maros Sefcovic. Ketidakpastian yang berlarut di sektor perdagangan global dinilai dapat menekan prospek pertumbuhan ekonomi dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) menaikkan proyeksi pertumbuhan global tahun 2025 menjadi 3,2% dari 3,0% dalam laporan Juli, meski tetap lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 3,3% pada tahun 2024. Dalam laporan Oktober, IMF menekankan bahwa “risiko pertumbuhan global masih cenderung ke sisi negatif.” Lembaga tersebut memperingatkan bahwa ketidakpastian berkepanjangan, meningkatnya proteksionisme, serta gangguan pasokan tenaga kerja dapat menekan pertumbuhan ekonomi global. Selain itu, kerentanan fiskal, potensi koreksi pasar keuangan, dan pelemahan kelembagaan juga dapat mengancam stabilitas sistem keuangan. Untuk tahun 2026, proyeksi pertumbuhan global dipertahankan di 3,1%.
Fokus hari ini
Agenda ekonomi Asia hari ini relatif terbatas, dengan fokus utama pada rilis data PPI dan CPI Tiongkok untuk bulan September. Konsensus memperkirakan keduanya masih berada di wilayah kontraksi, masing-masing sebesar -2,3% dan -0,2%. Selain itu, Jepang akan merilis data produksi industri bulan Agustus, sementara India dijadwalkan menerbitkan data perdagangan bulan September. Dari kawasan Eropa, Uni Eropa juga akan merilis data produksi industri Agustus hari ini.
Indonesia
Defisit anggaran negara tercatat sebesar IDR371 triliun atau 1,56% terhadap PDB hingga akhir September, melebar dari defisit 1,35% pada akhir Agustus. Pendapatan negara menurun 7,2% YoY menjadi IDR1.863,3 triliun atau 65,0% dari target anggaran, terutama akibat turunnya penerimaan pajak sebesar 4,4% serta penurunan penerimaan bukan pajak (PNBP) sebesar 19,8%. Belanja negara juga tercatat menurun 0,8% YoY menjadi IDR2.234,8 triliun atau 63,4% dari target. Menurut laporan Reuters, pemerintah berencana memperpanjang insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian properti senilai hingga IDR5 miliar selama satu tahun hingga akhir 2027. Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat sekaligus mendorong kinerja sektor properti domestik.
Disclaimer ON