Perjalanan Panjang Pemikiran Ekonomi: Dari Merkantilisme hingga Era Digital

Pendahuluan

Perkembangan teori-teori ekonomi bukan sekadar sejarah ide, tetapi juga refleksi atas dinamika sosial, politik, dan teknologi manusia sepanjang berabad-abad. Setiap teori lahir sebagai jawaban atas pertanyaan besar: bagaimana masyarakat mengelola sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas? Dari kekuasaan absolut raja pada masa merkantilisme hingga algoritme kecerdasan buatan yang menggerakkan ekonomi digital saat ini, pemikiran ekonomi terus berevolusi, membentuk dan dibentuk oleh realitas zamannya.

Abad 16–18: Dari Merkantilisme ke Ekonomi Klasik dan Liberalis

Pada abad ke-16, dunia ekonomi masih dipandang dari kacamata merkantilisme: negara dianggap sebagai aktor utama yang berperan mengatur perdagangan, memungut pajak, dan menumpuk emas sebagai simbol kekuatan. Kekayaan dipandang identik dengan kekuasaan politik, dan peran rakyat cenderung diabaikan.

Namun, abad ke-18 menandai sebuah pergeseran. Ekonomi fisiokrat yang dipelopori François Quesnay menegaskan bahwa tanah dan pertanian adalah sumber kekayaan sejati. Lalu, Adam Smith melalui karya monumentalnya The Wealth of Nations (1776) menekankan pentingnya kebebasan pasar dan pembagian kerja. Smith percaya, ‘jika perusahaan makmur, maka bangsa pun akan sejahtera.’ Pemikirannya inilah yang kemudian dikenal sebagai ekonomi klasik, yang menekankan efisiensi tenaga kerja, produktivitas, dan kesejahteraan kolektif.

Selain fisiokrat dan klasik, abad ke-18 juga melahirkan aliran ekonomi liberalis. Berakar dari pemikiran laissez-faire (“biarkan berjalan”), liberalisme ekonomi menekankan bahwa mekanisme pasar bebas adalah cara terbaik untuk mengalokasikan sumber daya. Dalam pandangan ini, pemerintah tidak perlu terlalu ikut campur dalam kegiatan ekonomi, kecuali menjaga keamanan, hak milik, dan hukum. Liberalisme ekonomi mendapat dorongan kuat dari revolusi industri yang membutuhkan kebebasan berinovasi, serta dari filsafat politik yang menekankan kebebasan individu. Pandangan ini sejalan dengan ide kapitalisme awal, di mana tenaga kerja dan modal dipertukarkan di pasar tanpa intervensi berlebih dari negara.

Abad 19: Kapitalisme, Sosialisme, dan Neoklasik

Ketika revolusi industri melahirkan pabrik-pabrik dan memperluas kelas pekerja, muncul kritik keras terhadap kapitalisme. Karl Marx melalui Das Kapital (1867) menyoroti bagaimana pemilik modal mengeksploitasi tenaga kerja demi akumulasi keuntungan. Ia mengusulkan sosialisme sebagai jalan keluar dari ketimpangan struktural.

Di sisi lain, lahir pula ekonomi neoklasik (sekitar 1871) yang menekankan analisis perilaku konsumen. Fokus bergeser dari produksi menuju kepuasan individu. Pemikir seperti William Stanley Jevons, Carl Menger, dan Léon Walras menekankan teori utilitas marjinal—bahwa nilai barang ditentukan oleh kegunaannya bagi konsumen, bukan semata oleh biaya produksinya.

Abad 20: Intervensi Negara, Monetarisme, dan Rasionalitas

Krisis ekonomi global 1930-an menandai kebangkitan ekonomi Keynesian. John Maynard Keynes menolak pandangan pasar akan selalu menyeimbangkan diri. Menurutnya, peran negara melalui kebijakan fiskal sangat penting untuk menstabilkan perekonomian, mencegah pengangguran massal, dan menjaga daya beli masyarakat.

Pasca Perang Dunia II, teori ekonomi berkembang lebih teknis. Ekonomi harapan rasional (John Muth, 1960) menekankan bahwa pelaku ekonomi membuat keputusan berdasarkan ekspektasi yang rasional, bukan sekadar insting. Ekonomi monetaris (Milton Friedman, 1970) menekankan pentingnya pengendalian jumlah uang beredar ketimbang belanja pemerintah. Di sisi lain, arus neo-liberal pada 1980-an menuntut privatisasi, deregulasi, dan peran minimal negara dalam pasar.

Abad 21: Ekonomi Perilaku, Digital, dan Tantangan Global

Memasuki abad ke-21, teori ekonomi semakin plural. Ekonomi perilaku yang dipopulerkan Richard Thaler menunjukkan bahwa manusia tidak selalu bertindak rasional, melainkan sering dipengaruhi bias psikologis. Dengan demikian, kebijakan publik harus mempertimbangkan aspek psikologi, bukan hanya model matematis.

Pada saat yang sama, ekonomi digital mendominasi. Platform daring, transaksi elektronik, dan mata uang kripto mengubah struktur pasar global. Menurut Krugman dan Wells (2020), pasar digital bukan sekadar arena baru, tetapi juga mesin utama yang menggerakkan perekonomian modern. Fenomena ini diperkuat oleh globalisasi, perubahan iklim, serta isu ketidakadilan global yang menantang teori-teori lama.

Penutup

Linimasa pemikiran ekonomi menunjukkan bahwa teori bukanlah dogma, melainkan jawaban sementara terhadap tantangan zamannya. Dari merkantilisme hingga digitalisasi, setiap aliran memberi sumbangan dalam memahami bagaimana manusia mengelola sumber daya. Namun, tantangan masa depan—seperti kecerdasan buatan, keberlanjutan lingkungan, dan kesenjangan global—akan terus menuntut lahirnya teori-teori ekonomi baru.

Dengan demikian, mempelajari sejarah pemikiran ekonomi tidak hanya berarti memahami masa lalu, tetapi juga mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang semakin kompleks.

Rujukan Umum

Drukcer, Peter F., (1981), Menuju Teori Ekonomi Masa Depan

Smith, A. (1776/2005). The Wealth of Nations. Modern Library.

Marx, K. (1867/1990). Capital: Volume I. Penguin Classics.

Keynes, J. M. (1936/2007). The General Theory of Employment, Interest and Money. Palgrave Macmillan.

Heilbroner, R. L. (1999). The Worldly Philosophers: The Lives, Times and Ideas of the Great Economic Thinkers. Simon & Schuster.

Krugman, P., & Wells, R. (2020). Economics. Worth Publishers.

Thaler, R. H. (2015). Misbehaving: The Making of Behavioral Economics. W. W. Norton & Company.

Avatar photo

Riant Nugroho

Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia

Articles: 49