Jakarta, 1 April 2025. Keamanan nasional di era digital semakin menghadapi tantangan yang kompleks. Salah satu ancaman terbesar adalah monopoli dan kartelisasi dalam industri keamanan siber, yang diperburuk oleh dominasi kartel teknologi global. Lebih dari sekedar masalah ekonomi, situasi ini berpotensi mengikis kedaulatan digital Indonesia, menghancurkan etos kerja nasional, dan membuka jalan bagi fenomena “Tech Fascism” yang mengancam keamanan negara.
Industri keamanan siber Indonesia juga menghadapi tantangan eksistensial menyusul tingginya konsentrasi kekuatan pasar. Studi McPartland Review (2025) mengungkapkan bahwa 67% infrastruktur penting di berbagai negara mengandalkan solusi keamanan dari 3 vendor asing yang membentuk organisasi regulasi mandiri (SRO) tertutup. Fenomena ini mereproduksi pola kolonialisme digital dimana kontrol algoritmik dan standar keamanan dikendalikan oleh oligarki teknologi global.
A. Bahaya Kartelisasi SRO dalam Ekosistem Keamanan Siber
Industri keamanan siber yang dikelola oleh Self Regulating Organizationi (SRO) yang monopoli atau kartel membawa risiko besar bagi keamanan nasional. Di bawah kendali SRO yang tidak diawasi secara independen, standar keamanan cenderung ditetapkan untuk kepentingan segelintir perusahaan besar. Hal ini menciptakan ketergantungan berbahaya pada teknologi asing dan membuka celah untuk eksploitasi data strategis negara.
Misalnya, laporan terbaru dari Badan Cyber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan bahwa 70% infrastruktur digital Indonesia mengandalkan solusi keamanan dari lima perusahaan asing. Ketergantungan ini menciptakan risiko sistemik, di mana kegagalan atau manipulasi oleh satu entitas dapat melumpuhkan sistem keamanan nasional secara keseluruhan.
Selain itu, tingginya biaya sertifikasi keamanan, yang sering ditetapkan oleh SRO, menjadi penghalang bagi perusahaan lokal untuk berekspansi. Startup dan UMKM yang memiliki potensi besar untuk berinovasi di sektor keamanandan ketahanan siber justru terpinggirkan karena tidak mampu bersaing dengan raksasa teknologi.
B. Dampak Kartel Teknologi terhadap Etos Kerja Nasional
Kartel teknologi tidak hanya mengendalikan pasar, tetapi juga menghancurkan harapan nasional dan etos kerja. Dengan menguasai infrastruktur digital, platform teknologi global memonopoli akses ke data dan algoritma, sehingga mematikan inovasi lokal.
Fenomena ini terlihat dari banyaknya tenaga kerja Indonesia yang hanya menjadi pengguna teknologi asing bukan kreator. Sistem vendor lock-in yang diterapkan oleh perusahaan teknologi besar membuat 60% lulusan teknologi informasi di Indonesia lebih terampil dalam menggunakan perangkat lunak berlisensi asing daripada mengembangkan solusi lokal.
Tidak hanya itu, kartelisasi teknologi juga menciptakan kesenjangan ekonomi yang signifikan. Sebagian besar keuntungan dari ekonomi digital Indonesia yang diperkirakan mencapai Rp1.000 triliun pada 2025 justru mengalir ke luar negeri. Hal ini menghambat pertumbuhan ekonomi lokal dan memperburuk ketimpangan sosial.
C. Fasisme Teknologi: Ancaman Baru Kedaulatan Digital
Fenomena “Tech Fascism” muncul ketika perusahaan teknologi besar tidak hanya mendominasi pasar, tetapi juga mempengaruhi kebijakan dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Dominasi ini memungkinkan mereka untuk mengontrol data, algoritme, dan bahkan opini publik.
Misalnya, penggunaan algoritma berbasis kecerdasan buatan (AI) oleh perusahaan teknologi global telah memengaruhi perilaku masyarakat melalui manipulasi informasi di media sosial.
Selain itu, pengumpulan data besar-besaran tanpa pengawasan yang memadai membuka peluang penyalahgunaan data untuk kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik dan ekonomi.
Yang lebih mengkhawatirkan, “Tech Fascism” juga berpotensi melemahkan sistem pertahanan negara. Ketergantungan pada teknologi asing dalam sistem keamanan nasional dapat digunakan untuk melemahkan kedaulatan negara, terutama dalam situasi konflik geopolitik.
D. Solusi Integratif: Membangun Tata Kelola Siber yang Berdaulat
Untuk menghadapi ancaman tersebut, Indonesia perlu mengambil langkah strategis untuk membangun kedaulatan digital. Berikut adalah beberapa solusi yang dapat diterapkan:
1. Desentralisasi Tata Kelola Industri Keamanan Siber
Pemerintah harus membentuk ‘Dewan Pengawas Independen’ yang juga mengacu pada UU Anti Monopoli dan Anti Persaingan Usaha untuk mengawasi SRO, dan memastikan bahwa standar keamanan dan keselamatan tidak hanya menguntungkan segelintir orang.
2. Mendorong Inovasi Lokal
Pemerintah perlu memberikan insentif kepada perusahaan lokal, termasuk melalui pemberian insentif pajak untuk pengembangan solusi keamanan dan ketahanan siber. Selain itu, investasi sumber daya manusia melalui pendidikan dan penelitian teknologi harus ditingkatkan untuk menciptakan talenta digital yang profesionalisme, berintegritas dan berkarakter.
3. Peraturan ketat terhadap kartel teknologi dan sejenisnya
Pemerintah harus mampu dan mampu menerapkan regulasi dan sanksi yang ketat untuk mencegah monopoli dan kartel di sektor teknologi yang semuanya sekarang sangat terhubung. Ini juga termasuk penerapan ‘pajak digital’ yang adil dan transparan dalam pengelolaan data dan informasi.
4. Diplomasi Digital sebagai Sarana dan Strategi untuk “Counter Attack”
Diplomasi Digital adalah kunci dalam menghadapi tantangan tersebut. Melalui diplomasi digital, Indonesia dapat membangun aliansi strategis dengan negara lain untuk memperkuat kedaulatan digital dan mengurangi ketergantungan pada teknologi asing.
Diplomasi Digital bukan hanya negosiasi teknologi, tetapi sarana strategis untuk:
Membangun Aliansi Global: Indonesia harus dapat meningkatkan perannya dalam “Cyber Non-Aligned Movement”, yang merupakan koalisi dari 45 negara Global Selatan dan di Forum G20 untuk membantu Indonesia memperkuat sistem pertahanan sibernya dan mengurangi risiko dan ancaman serangan siber, serta mempercepat pertukaran teknologi dan harga lisensi yang adil.
Memperkuat Kolaborasi Regional: Inisiatif ASEAN Digital Shield bertujuan untuk mengembangkan infrastruktur penting keamanan bersama dan ketahanan siber, mengurangi ketergantungan pada vendor NATO hingga 50%.
Pertukaran Talenta Digital: Program pertukaran talenta digital dengan negara-negara mitra, seperti ASEAN dan sekitarnya, dapat meningkatkan kapasitas sumber daya manusia Indonesia di bidang teknologi dan keamanan siber
Promosi Standar Lokal: Melalui keterlibatan dalam forum Global South, ASEAN, G20 dan lainnya, Indonesia dapat memperjuangkan pengakuan internasional atas sertifikasi profesi dan produk keamanan dan ketahanan siber buatan dalam negeri.
5. Undang-Undang Anti-Monopoli Teknologi Keamanan Siber
Perlu ada pemikiran dan kesepakatan bersama untuk dapat mengatur pembatasan kepemilikan silang dan mewajibkan konten lokal atau TKDN setidaknya 65% untuk proyek keamanan dan ketahanan siber nasional.
6. Peningkatan Literasi Digital Masyarakat
Masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan praktis yang mudah dipahami tentang pentingnya kedaulatan digtal dan risiko dari dominasi teknologi asing dalam rangka membangun budaya resiko (risk culture).
Kesimpulan : Menjaga Marwah Digital Nusantara
Sebagaimana peringatan Bung Hatta dalam Kedaulatan di Angkasa (1953), penguasaan teknologi adalah syarat mutlak kemandirian bangsa. Di era dimana 63% perang modern menggunakan siber sebagai senjata utama (Global Cybersecurity Index, 2025), Indonesia harus bersikap tegas terhadap praktik kartelisasi dan hegemoni digital.
Era digital membawa peluang besar bagi Indonesia, tetapi juga tantangan yang tidak bisa diabaikan. Monopoli dan kartelisasi di industri keamanan siber, serta dominasi “Tech Fascism,” adalah ancaman nyata yang harus segera ditangani.
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus mampu mengambil kendali atas masa depan digitalnya sendiri. Dengan membangun kedaulatan digital yang kuat, kita tidak hanya melindungi keamanan nasional, tetapi juga memastikan bahwa teknologi menjadi alat untuk memajukan bangsa, bukan alat untuk menguasainya.
*Artikel opini ini disusun berdasarkan data dari BSSN, Komdigi, OECD, INDEF dan berbagai studi terbaru tentang keamanan siber dan ekonomi digital.
*Disclaimer: Artikel opini ini adalah hasil analisis independen dan tidak mencerminkan kepentingan komersial atau politik.
Penulis : Ardi Sutedja K
Pemerhati dan praktisi keamanan dan ketahanan siber yang telah berpengalaman dan bergiat lebih dari 30 tahun di dalam industri keamanan dan ketahanan siber baik di dalam maupun luar negeri. Beliau juga adalah ketua dan salah satu pendiri perkumpulan profesi terdaftar, Indonesia Cyber Security Forum (ICSF). Email: [email protected]