Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, dan Auksiliariatif dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Pendahuluan

Pembagian kekuasaan merupakan fondasi utama dari teori ketatanegaraan modern. Montesquieu, melalui karya monumentalnya *De l’Esprit des Lois* (1748), memperkenalkan gagasan trias politica yang membagi kekuasaan negara ke dalam legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun, perkembangan sistem politik dan kebutuhan tata kelola negara modern menunjukkan bahwa pembagian tiga cabang kekuasaan ini tidak lagi memadai. Munculnya lembaga-lembaga baru yang bersifat independen dan penunjang—atau yang dalam literatur Indonesia disebut sebagai lembaga auksiliariat—menjadi fenomena penting dalam dinamika ketatanegaraan kontemporer. Makalah ini bertujuan menganalisis keempat rumpun lembaga negara tersebut dengan menggunakan kerangka teori Wheare, Montesquieu, Friedrich, dan Asshiddiqie, serta menelaah praktik di Indonesia pasca-amandemen UUD 1945.

Kerangka Teori

Teori pembagian kekuasaan memiliki landasan filosofis dan normatif yang kuat. Montesquieu (1748) berpendapat bahwa kebebasan politik hanya dapat terjamin jika kekuasaan negara dibagi menjadi tiga cabang yang saling mengawasi. Wheare (1963) menekankan bahwa konstitusi adalah kerangka kerja yang mendistribusikan kekuasaan, dan oleh karenanya tidak bersifat kaku, melainkan menyesuaikan dengan dinamika sosial. Friedrich (1963) menambahkan dimensi dinamis dari konstitusi sebagai instrumen yang terus berkembang sesuai kebutuhan masyarakat. Di Indonesia, Asshiddiqie (2006) mengembangkan konsep *state auxiliary organs* atau lembaga negara independen yang tidak secara langsung termasuk dalam tiga cabang kekuasaan klasik, namun memiliki fungsi strategis dalam menopang demokrasi, akuntabilitas, dan supremasi hukum.

Evolusi Pembagian Kekuasaan

Seiring berjalannya waktu, praktik ketatanegaraan di berbagai negara menunjukkan pergeseran dari model trias politica menjadi *multi-politica*. Di Amerika Serikat, misalnya, terdapat lembaga independen seperti Federal Reserve yang tidak dapat dipetakan ke dalam cabang klasik. Di Jerman, Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi yang memperluas cakupan yudikatif. Hal serupa terjadi di Afrika Selatan, di mana lembaga independen didirikan untuk menjamin hak-hak konstitusional. Fenomena ini menegaskan pentingnya keberadaan lembaga auksiliariat dalam sistem modern, yang berfungsi sebagai penyeimbang dan penopang demokrasi.

Konteks Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945

Perubahan UUD 1945 antara 1999–2002 membawa dampak besar terhadap struktur ketatanegaraan Indonesia. Sebelumnya, pembagian kekuasaan lebih terpusat pada eksekutif. Namun, setelah amandemen, sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi lebih plural dan kompleks.

1. Legislatif: DPR, DPD, dan MPR sebagai representasi rakyat dan daerah.
2. Eksekutif: Presiden, Wakil Presiden, dan kementerian.
3. Yudikatif: Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial.
4. Auksiliariat: lembaga independen seperti KPU, KPK, BPK, Ombudsman, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan,

Untuk memperjelas posisi lembaga-lembaga negara ini, berikut disajikan tabel ringkas mengenai klasifikasinya:

Kategori LembagaContoh di Indonesia
LegislatifDPR, DPD, MPR
EksekutifPresiden, Wakil Presiden, Kementerian
YudikatifMA, MK, KY
AuksiliariatifKPU, KPK, BPK, Ombudsman, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan

Analisis Kritis

Meskipun kehadiran lembaga auksiliariatif membawa angin segar bagi demokratisasi, ada sejumlah persoalan yang muncul. Pertama, adanya tumpang tindih kewenangan, misalnya antara KPK dan kepolisian. Kedua, potensi intervensi politik yang dapat mengurangi independensi lembaga tersebut. Ketiga, keterbatasan sumber daya dan legitimasi publik yang dapat mempengaruhi efektivitasnya. Namun demikian, secara umum lembaga auksiliariat memperkuat prinsip *checks and balances* dan menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Keberadaan lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, dan auksiliariatif menunjukkan bahwa teori trias politica tidak lagi mencukupi untuk menjelaskan realitas ketatanegaraan modern. Dengan kerangka teori Wheare, Montesquieu, Friedrich, dan Asshiddiqie, dapat disimpulkan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia bergerak menuju model *multi-politica*. Untuk itu, diperlukan penguatan aspek independensi, koordinasi, dan akuntabilitas lembaga auksiliariatif agar fungsinya benar-benar optimal dalam menjaga demokrasi dan negara hukum.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J. (2006). *Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia*. Jakarta: Konstitusi Press.
Friedrich, C. J. (1963). *Man and His Government*. New York: McGraw-Hill.
Montesquieu. (1748). *De l’Esprit des Lois*. Geneva: Barrillot.
Wheare, K. C. (1963). *Modern Constitutions*. Oxford: Oxford University Press.

Avatar photo

Riant Nugroho

Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia

Articles: 52