Ketika AI Mengubah Cara Kita Berpikir: Sebuah Refleksi dan Peringatan

Jakarta, 2 Juni 2025. Minggu pagi yang cerah kemarin pada sebuah kafe di Jakarta. Saya memperhatikan sepasang kekasih yang duduk berhadapan, namun alih-alih berbincang, keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing. “Eh, coba deh tanya AI ini bagus nggak caption buat foto kita,” kata si perempuan. Pemandangan ini mungkin terasa familiar bagi banyak dari kita. Tanpa sadar, AI telah mengubah cara kita berinteraksi, berpikir, dan bahkan cara kita mengekspresikan perasaan.

Teknologi AI memang telah membawa revolusi besar dalam kehidupan kita. Dari ChatGPT yang membantu menulis, Midjourney yang menciptakan karya seni, hingga asisten virtual yang mengatur jadwal kita. Namun, di balik kemudahan ini, ada fenomena mengkhawatirkan yang perlu kita waspadai: kita mulai “berperilaku seperti mesin”.

Ketika Manusia Mulai “Berpikir” Seperti AI

Pernahkah Anda menyadari bagaimana cara berpikir kita mulai berubah? Dulu, ketika menghadapi masalah, kita akan merenungkannya, berdiskusi dengan teman, atau mencari solusi kreatif. Sekarang, refleks pertama kebanyakan orang adalah “googling” atau bertanya pada ChatGPT. Kita mulai kehilangan proses berpikir yang mendalam dan personal.

Di banyak perkantoran Indonesia, baik pemerintahan maupun swasta, banyak pekerja kreatif yang dulunya bangga dengan originalitas ide mereka, kini lebih sering meminta AI untuk “memberikan ide”. Presentasi yang dahulu penuh dengan sentuhan personal, kini terasa seragam karena menggunakan template yang dihasilkan AI. Bahkan, dalam menulis pesan pribadi pun, banyak yang lebih memilih untuk “meminta bantuan” AI.

Fenomena FOMO AI di Indonesia: Sebuah Peringatan

“Masa sih belum pakai AI? Ketinggalan zaman banget!” Kalimat ini sering terdengar dalam percakapan sehari-hari. FOMO (Fear of Missing Out) terhadap AI telah menciptakan tekanan sosial yang membuat orang merasa harus menggunakan AI dalam segala aspek kehidupan, bahkan ketika tidak diperlukan.

Di Indonesia, fenomena ini semakin mengkhawatirkan. Startup-startup berlomba mengklaim produk mereka “AI-powered” tanpa benar-benar memahami implikasinya. Profesional muda merasa tertekan untuk menggunakan tools AI agar terlihat “up-to-date”. Bahkan content creator lokal mulai kehilangan keunikan mereka karena terlalu mengandalkan AI untuk menghasilkan konten.

Tanda-tanda Bahaya yang Perlu Diwaspadai

Beberapa perubahan perilaku yang mulai terlihat di masyarakat kita:

1. Ketergantungan pada Jawaban Instan

Orang mulai kehilangan kesabaran dalam proses pembelajaran. Semua harus serba cepat dan instan, mirip seperti cara kerja AI.

2. Hilangnya Nuansa Emosional

Komunikasi menjadi lebih “terstruktur” dan “efisien”, tapi kehilangan kehangatan dan sentuhan personal.

3. Berkurangnya Kreativitas Asli

Banyak orang lebih memilih untuk “mengoptimalisasi” ide yang sudah ada daripada menciptakan sesuatu yang benar-benar baru.

4. Pola Pikir Algoritmik

Kita mulai melihat masalah hanya dari sudut pandang “input-process-output”, kehilangan kompleksitas dan nuansa manusiawi dalam pengambilan keputusan.

Langkah-langkah Pencegahan yang Bisa Dilakukan

  1. Mengembalikan Keseimbangan Digital
    1. Tetapkan waktu “ofline” setiap hari
    1. Latih kembali kemampuan berpikir mandiri
    1. Prioritaskan interaksi manusia langsung

2. Penggunaan AI yang Bijaksana

  • Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti
    • Pertahankan proses kreatif personal
    • Evaluasi kebutuhan real sebelum mengadopsi teknologi baru

3. Membangun Kesadaran Kolektif

  • Diskusikan dampak AI dalam komunitas
    • Berbagi pengalaman dan pembelajaran
    • Dukung gerakan “digital wellbeing”

Penutup: Menemukan Keseimbangan

Tidak ada yang salah dengan mengadopsi teknologi AI. Yang perlu kita waspadai adalah ketika teknologi ini mulai mengubah esensi kemanusiaan kita. Mari ingat bahwa yang membuat kita manusia adalah kemampuan untuk berempati, berpikir kreatif, dan mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai moral dan etika.

Bagi kita di Indonesia, dengan kekayaan budaya dan nilai- nilai kearifan lokal, sudah seharusnya kita bisa memanfaatkan AI sambil tetap mempertahankan identitas dan keunikan kita sebagai manusia. Jangan biarkan kecemasan akan ketinggalan zaman membuat kita kehilangan sisi manusiawi kita.

Seperti kata pepatah, “Teknologi seharusnya mendekatkan yang jauh, bukan menjauhkan yang dekat.” Mari gunakan AI dengan bijak, agar teknologi tetap menjadi alat yang membantu kita menjadi manusia yang lebih baik, bukan sebaliknya.

Avatar photo

Ardi Sutedja K

Pemerhati dan praktisi keamanan siber dengan pengalaman 30 tahun, pendiri sekaligus ketua ICSF, aktif di industri nasional dan internasional.

Articles: 3