PISA 2025 menjadi tantangan besar bagi Indonesia karena ada penambahan fokus baru pada antroposen dan bahasa asing. Ini menuntut pendidikan yang lebih aplikatif.
Pada 2025, Tes Penilaian Siswa Internasional atau PISA akan memasuki fase baru yang sangat menentukan. Dalam laman Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD, ada dua model baru yang akan mewarnai tes PISA 2025.
Sebelumnya, PISA biasa digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam tiga domain utama, yaitu matematika, sains, dan membaca. Kini, tes akan dibumbui dengan tantangan yang lebih luas, dengan fokus khusus pada dua isu utama, yaitu pada bidang sains ada unsur menjadi agensi di Era Antroposen dan kemampuan bahasa asing, yaitu bahasa Inggris.
Era Antroposen, sebuah era ketika aktivitas manusia menjadi kekuatan dominan dalam memengaruhi iklim dan ekosistem bumi, memberikan konteks baru bagi tes sains. Di sisi lain, penambahan suplemen tes bahasa asing mencerminkan betapa mendesaknya kemampuan komunikasi lintas negara di dunia yang semakin terhubung.
Namun, dengan perubahan ini, muncul pertanyaan penting: siapkah negara-negara berkembang yang juga menjadi negara partisipan, termasuk Indonesia yang selama ini kerap duduk di papan bawah, menghadapi tantangan ini?
Pemahaman tentang krisis global
Sains, yang pada PISA sebelumnya lebih berfokus pada penguasaan konsep-konsep fisik dan teoretis, kini mendapat fokus baru: pengukuran kemampuan siswa untuk memahami dan memecahkan masalah yang timbul akibat aktivitas manusia, terutama dalam konteks krisis lingkungan.
Ini adalah tantangan yang monumental karena siswa tidak hanya diuji untuk mengetahui fakta, tetapi juga untuk berpikir secara kritis dan menggunakan ilmu pengetahuan dalam menghadapi masalah global yang kompleks, seperti perubahan iklim, deforestasi, dan polusi.
Selama beberapa dekade terakhir, aktivitas manusia telah memengaruhi planet ini dalam cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Menggunakan definisi yang diusulkan oleh ahli geologi, Antroposen merujuk pada periode geologis saat aktivitas manusia telah menjadi kekuatan dominan dalam mengubah atmosfer dan biosfer bumi.
Dalam konteks ini, tes sains PISA 2025 bertujuan untuk menilai sejauh mana siswa dapat mengatasi tantangan yang dihadapi umat manusia dalam mengelola planet yang semakin terancam.
Seperti yang dijelaskan oleh Thomas Lovejoy, ahli ekologi terkemuka dan salah satu yang memopulerkan istilah ”The Anthropocene”, bahwa kita sekarang berada pada masa saat manusia telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada bumi.
Lovejoy (2019) berpendapat bahwa generasi muda yang terdidik dengan baik harus siap menghadapi tantangan ini. Dalam PISA 2025, siswa akan diuji tidak hanya untuk mengingat teori sains, tetapi juga untuk menerapkan pengetahuan ilmiah mereka dalam konteks solusi nyata yang berfokus pada keberlanjutan planet ini.
Kendala di negara berkembang
Namun, tantangan besar terletak pada ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang dalam hal pendidikan sains. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2020 memperkirakan bahwa lebih dari 260 juta anak di seluruh dunia tidak dapat mengakses pendidikan dasar atau menengah.
Ketidaksetaraan ini jelas akan memperburuk kemampuan negara berkembang dalam memenuhi tuntutan PISA 2025. Menurut Klaus Schwab (2020), pendiri Forum Ekonomi Dunia (WEF), perubahan iklim dan kemajuan teknologi akan mengubah cara kita memandang pendidikan.
Bagi negara berkembang, ketimpangan akses terhadap laboratorium sains yang baik, pendidikan yang berbasis pada pemecahan masalah, dan perangkat pembelajaran berbasis teknologi akan menjadi hambatan besar.
Untuk mengejar ketertinggalan ini, negara berkembang harus melakukan reformasi yang lebih mendalam dalam sistem pendidikan mereka, fokus pada peningkatan kurikulum sains yang lebih relevan dengan tantangan global, serta melatih guru-guru untuk mengajarkan sains secara lebih kontekstual dan aplikatif.
Keterampilan komunikasi
Di era globalisasi yang semakin pesat, kemampuan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, menjadi suatu keharusan. Penambahan suplemen tes bahasa asing dalam PISA 2025 merupakan upaya untuk mengukur kemampuan siswa dalam berkomunikasi secara efektif dalam konteks global.
Di laman OECD tertulis akan ada 20 lebih negara yang akan mengikuti tes ini dan bersifat opisonal. Namun, tentu saja pada akhirnya semua negara partisipan akan mengambil bagian sebagaimana tes-tes terdahulu.
Tes ini bukan hanya menguji kemampuan membaca dalam bahasa Inggris, tetapi juga kemampuan berbicara dan mendengarkan. Kemampuan yang sangat diperlukan dalam dunia yang semakin terhubung melalui teknologi dan komunikasi internasional.
“Untuk mengejar ketertinggalan ini, negara berkembang harus melakukan reformasi yang lebih mendalam dalam sistem pendidikan mereka.”
Menurut David Crystal (2003), ahli linguistik terkenal, bahasa adalah alat utama untuk berkomunikasi dalam masyarakat global. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, menjadi sangat penting.
Crystal berpendapat bahwa, di dunia yang semakin interkoneksi, kemampuan untuk berkomunikasi lintas bahasa bukan hanya penting untuk pendidikan, melainkan juga untuk ekonomi dan diplomasi global.
Namun, meski bahasa Inggris kini menjadi bahasa global, banyak negara berkembang yang menghadapi kesulitan besar dalam mengembangkan kemampuan berbahasa asing di kalangan siswa mereka. Di banyak negara berkembang, kualitas pengajaran bahasa Inggris masih kurang memadai dan siswa sering kali tidak memiliki kesempatan untuk berlatih berbicara dalam bahasa Inggris di luar ruang kelas.
Menurut Bank Dunia, negara berkembang memiliki pengajar bahasa Inggris yang kurang terlatih, serta infrastruktur yang tidak memadai untuk mendukung pembelajaran bahasa asing secara efektif. Mark Bray (2019), ahli pendidikan internasional dari Hong Kong University, mencatat bahwa masalah dasar penguasaan bahasa asing terutama terkait dengan kurangnya latihan komunikasi dalam bahasa asing tersebut.
PISA 2025 akan memaksa Indonesia untuk menghadapi dua tantangan utama. Pertama, perubahan model soal pada bidang sains yang memasukkan model agensi antroposen yang lebih relevan dengan masalah global. Kedua, peningkatan kualitas pengajaran bahasa Inggris untuk menghadapi tuntutan dunia yang semakin terhubung.
Selama lebih dari dua dekade, pada tes PISA peringkat Indonesia belum bisa dikatakan membanggakan, bahkan sering kali mengenaskan karena belum mampu keluar dari papan bawah. Meski pada 2022 ada sedikit peningkatan, peringkat itu merosot tajam di skor.
Untuk itu, ada beberapa upaya yang harus dilakukan dengan segera. Pertama, tentu saja meningkatkan infrastruktur pendidikan. Pendidikan sains dan bahasa yang berkualitas membutuhkan infrastruktur yang baik. Indonesia harus berinvestasi dalam penyediaan perangkat teknologi yang memadai, pelatihan guru, dan akses yang lebih luas terhadap pembelajaran berbasis teknologi.
Kedua, fokus pada pendidikan yang relevan dengan tantangan global. Sains harus diajarkan dalam konteks yang lebih relevan, mengingat tantangan besar yang dihadapi umat manusia, seperti perubahan iklim dan teknologi yang berkembang pesat. Indonesia juga harus membangun kurikulum yang tidak hanya mengutamakan pengetahuan, tetapi juga keterampilan untuk memecahkan masalah dunia nyata.
Terakhir, meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Inggris. Pendidikan bahasa Inggris harus lebih dari sekadar pengajaran tata bahasa. Indonesia berada di peringkat ke-79 dari 113 negara dalam hal kemampuan berbahasa Inggris, berdasarkan Indeks Kemahiran Bahasa Inggris EF 2023 dan berada di urutan ke-5 ASEAN.
Kurikulum di sekolah harus fokus pada pengajaran bahasa yang mendorong keterampilan berbicara dan mendengarkan, serta menyediakan lebih banyak kesempatan bagi siswa untuk berlatih dalam konteks komunikasi sehari-hari.
Siapkah Indonesia?
PISA 2025 adalah sebuah tantangan besar bagi negara berkembang dan Indonesia, tetapi juga sebuah peluang untuk memperbaiki dan memperbarui sistem pendidikan. Dengan penambahan fokus baru pada antroposen dan suplemen bahasa, tes ini menuntut pendidikan yang lebih aplikatif dan relevan dengan dunia nyata.
Indonesia harus bergerak cepat untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam sains dan bahasa Inggris agar dapat bersaing di dunia yang semakin kompleks dan terhubung. Jika berhasil, PISA 2025 akan menjadi tonggak penting dalam transformasi pendidikan global, yang membuka peluang lebih besar bagi siswa kita dalam era baru ini.
Waode Nurmuaemin, Doktor Manajemen Pendidikan; Peneliti Pendidikan pada Yayasan Leibniz Sulawesi Tenggara