Etika Digital Bagi Aparatur Sipil Negara
Indonesia sebagai salah satu negara yang mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam penggunaan teknologi digital. Data terbaru yang diterbitkan oleh Datareportal.com pada laporan “Digital 2023 Indonesia” menunjukkan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia terus meningkat secara signifikan, dan diperkirakan akan terus berkembang hingga mencapai 215 juta pengguna pada tahun 2023. Selain peningkatan penggunaan internet, laporan tersebut juga memproyeksikan adopsi teknologi digital lainnya di Indonesia, seperti media sosial yang juga terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Indonesian Digital Report 2023 melaporkan bahwa Indonesia dengan total populasi penduduk sebanyak 276,4 juta jiwa, pada tahun 2023 memiliki perangkat mobile yang terhubung sebanyak 353,8 juta (128% dari total populasi). Dengan pengguna internet sebanyak 212,9 juta (77% dari total populasi) dan pengguna media sosial aktif sebanyak 167 juta (60,4% dari total populasi). Sumber yang sama juga menyatakan bahwa waktu rata-rata setiap hari dalam penggunaan internet adalah selama 7 jam, 42 menit. Sementara rata-rata setiap hari waktu melihat televisi (broadcast, streaming dan video tentang permintaan) selama 2 jam, 53 menit (naik 1,8% atau naik sekitar 3 menit). Dan rata-rata setiap hari waktu menggunakan media sosial melalui perangkat apa pun adalah selama 3 jam, 18 menit. Demikian pula rata-rata setiap hari waktu menghabiskan mendapatkan music adalah 1 jam, 37 menit, dan rata-rata setiap hari waktu bermain game selama 1 jam, 15 menit.
Alasan utama orang di Indonesia menggunakan internet (tahun 2023) adalah untuk menemukan informasi (83,2%), untuk menemukan ide-ide baru dan inspirasi (73,2%) dan untuk berhubungan dengan teman dan keluarga (73,0%). Sementara website yang banyak dikunjungi orang di Indonesia pada (2023) adalah Google.com, Youtube.com, Facebook.com, Instagram.com, Twitter.com dan Whatsapp.com.
Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai salah satu digital natives bisa memanfaatkan teknologi untuk membuka cakrawala berpikir dan memandang teknologi sebagai peluang untuk meningkatkan kompetensi, baik pengetahuan, keterampilan, maupun sikap dan perilaku. Fakta ini tentunya berdampak pada peningkatan pengguna perangkat mobile dan meningkatnya permintaan konten digital, yang dapat menjadi strategi penting bagi tata kelola pemerintahan. Bersamaan dengan perkembangan teknologi yang masif serta digitalisasi informasi, ASN juga dihadapkan pada information overload. Kondisi ini seringkali menyebabkan paradox of plenty, dimana informasi yang ada sangat melimpah namun tidak dimanfaatkan dengan baik atau bahkan disalahgunakan.
Undang-Undang Dasar 1945, pada Pasal 28F menyatakan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa internet dapat digunakan untuk mengembangkan diri pribadi setiap orang. Fenomena ini selanjutnya memunculkan istilah Hak Asasi Digital.
Hak asasi digital merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia universal yang bersifat konkret dan dijamin oleh hukum internasional serta konstitusi negara-negara di dunia. Hak asasi digital dipahami sebagai sekumpulan hak-hak masyarakat untuk mengakses, menggunakan, menciptakan, menyebarluaskan kerja digital, serta untuk mengakses dan menggunakan komputer dan perangkat elektronik lainnya, termasuk jaringan komunikasi, khususnya internet.
Adapun hak akses digital meliputi: 1). Hak untuk mengakses (right to access): adalah kebebasan mengakses Internet seperti ketersediaan infrastruktur, kepemilikan dan control layanan penyedia Internet, kesenjangan digital, kesetaraan akses antar gender, Penapisan dan blokir. 2). Hak untuk berekspresi (right to express): adalah Jaminan atas keberagaman konten, bebas menyatakan pendapat dan penggunaan internet dalam menggerakkan masyarakat sipil. 3). Hak untuk merasa aman (right on safety): bebas dari penyadapan massal dan pemantauan tanpa landasan hukum, perlindungan atas privasi, hingga aman dari serangan secara daring.
Disamping hak akses digital, juga perlunya beretika dalam ruang digital, karena dalam ruang digital kita akan berinteraksi, dan berkomunikasi dengan berbagai perbedaan kultural. Interaksi antar budaya dapat menciptakan standar baru tentang etika. Dengan media digital, setiap ASN bisa berpartisipasi dalam berbagai hubungan dengan sesama ASN lainnya melintasi geografis dan budaya. Mereka dengan berbagai cara membangun hubungan lebih jauh dan berkolaborasi. Maka dari itu, segala aktivitas digital di ruang digital yang menggunakan media digital memerlukan etika digital.
Etika Digital (Digital Ethics) adalah kemampuan individu dalam menyadari mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital dalam kehidupan sehari-hari; suatu konsep yang berkaitan dengan nilai-nilai, norma-norma, dan tindakan moral yang harus dipatuhi dalam penggunaan teknologi digital. Contoh : Etika Digital, Etika pembuatan Akun, Etika Pembuatan Jaringan Pertemanan, Etika Percakapan dalam Group, Etika Penggunaan Platform Digital. Peran Etika Digital adalah sebagai pedoman bagi ASN dalam melakukan interaksi sosial di dalam platform digital. Adanya etika digital akan membentuk kesadaran, tanggung jawab, integritas. Lemahnya etika digital bisa berdampak pada pelanggaran hak digital warga negara.
Mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), beberapa contoh kasus dan hukum yang mengatur tentang pelanggaran digital di Indonesia antara lain: a). Pencemaran Nama Baik (Pasal 45 Ayat 3); b). Menyebarkan Berita Bohong (Pasal 45A Ayat 1); c). Ujaran Kebencian (Pasal 45A Ayat); d). Mengancam atau Memeras (Pasal 45 Ayat 4); e). Teror Online (Pasal 45B); f). Menyebarkan Video Asusila (Pasal 45 Ayat 1); dan g). Peretasan Akun Media Sosial (Pasal 32 Ayat 1 dan Pasal 48 Ayat 1).
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RB Nomor 83 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemanfaatan Media Sosial Instansi. Etika digital bagi ASN meliputi: 1). Menjunjung tinggi kehormatan instansi pemerintah; 2). Memiliki keahlian, kompetensi, objektivitas, kejujuran, dan integritas; 3). Menjaga rahasia negara dan melaksanakan sumpah jabatan; 4). Menegakkan etika yang berlaku agar tercipta citra dan reputasi instansi pemerintah; 5). Menghormati kode etik pegawai negeri; 6). Menyampaikan dan menerima informasi publik yang benar, tepat, dan akurat; 7). Menghargai, menghormati, dan membina solidaritas serta nama baik instansi dan perorangan; dan 8). Melaksanakan keterbukaan informasi publik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Etika digital tersebut menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1). Kredibel: yakni menjaga kredibilitas sehingga informasi yang disampaikan akurat, berimbang, dan keterwakilan; 2). Integritas: yakni menunjukkan sikap jujur dan menjaga etika; 3). Profesional: yakni memiliki pendidikan, keahlian, dan keterampilan di bidangnya; 4). Responsif: yakni menanggapi masukan dengan cepat dan tepat; 5).terintegrasi: yakni menyelaraskan penggunaan media sosial dengan media komunikasi lainnya, baik yang berbasis internet (on-line) maupun yang tidak berbasis internet (off-line); dan 6). Keterwakilan, yakni pesan yang disampaikan mewakili kepentingan instansi pemerintah, bukan kepentingan pribadi
Selanjutnya dijelaskan terkait dengan kode etik ASN dalam bermedia social, antara lain: 1). Teguh pada ideologi Pancasila; 2). Menjunjung Etika; 3). Menjaga rahasia negara; 4). Tidak menyalahgunakan informasi; 5). Bijaksana menggunakan media sosial; 6). Memastikan kebenaran informasi; 7). Tidak memproduksi dan menyebarluaskan berita palsu yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, pemerasan, pengancaman yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, pada Pasal 11 huruf c, menyatakan bahwa PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan. PNS wajib memiliki Jiwa Korps yakni rasa kesatuan dan persatuan, kebersamaan, kerjasama, tanggungjawab, dedikasi, disiplin, kreativitas, dan rasa memiliki dalam NKRI. Demikian pula, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengingatkan secara tegas agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak menyebarkan ujaran kebencian, intoleransi, permusuhan dan perpecahan maupun terorisme.
Ujaran kebencian (hate speech) menurut KBBI adalah ujaran yang menyerukan kebencian terhadap orang atau kelompok tertentu. Ujaran kebencian juga bisa diartikan sebagai tindakan komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain. Ada 6 larangan kebencian yang diatur pada UU ITE, antara lain; 1). Berpendapat lewat medsos dengan muatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah; 2). Berpendapat lewat medsos yang mengandung ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, antar golongan; 3). Menyebarluaskan ujaran kebencian (seperti point 1 dan 2) melalui medsos (share, broadcast, upload, retweet, repost instagram); 4). Berkegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina Bhinneka Tunggal Ika, NKRi, dan Pemerintah; 5). Mengikuti dan menghadiri kegiatan yang mengarah ada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, NKRl, dan Pemerintah; dan 6). Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju Pendapat (pada poin 1 dan 2) dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, and comment di medsos.
Terkait dengan hal tersebut, dalam bermedia sosial harus tetap sopan saat mengirim pesan dan tidak memposting hal-hal yang negatif serta berkomentar dengan kata kasar. Etiket penting dalam berinternet meliputi: a). Review: mengecek kata-kata agar tidak salah ketik dan sesuai ejaan yang benar; b). Caps:berhati-hati saat memakai huruf kapital; c). Honesty: tidak berkata bohong; d). Beyourself: jadi diri sendiri; e). Flames: hindari sesuatu yang berisi ancaman, ujaran kebencian, menghina atau hal negatif lainnya; f). Spam:tidak mengirim sesuatu secara berulang kali; g). Messages: menulis pesan dengan bahasa yang sopan; h). Reply:mengirim respons pada kondisi yang tepat; i). Secure sites: gunakan situs yang aman; dan j). Discretion: bijak melakukan apapun di internet.
Selanjutnya yang juga tidak kalah penting dalam berinternet adalah perlindungan data pribadi. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi, data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya. Data pribadi merupakan data tentang seseorang, baik yang teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui sistem elektronik dan/atau non elektronik. Data pribadi terdiri atas data umum (nama lengkap, agama, jenis kelamin, kewarganegaraan, status perkawinan, dan kombinasi antar data) dan data spesifik (data genetika, catatan kejahatan, data anak, biometrik, data keuangan, pandangan politik).
Beberapa tips menjaga data pribadi di era digital: 1). Perkuat kata sandi gunakan kata sandi yang kuat untuk akun pribadi, buat kombinasi antara angka, huruf kapital dan simbol serta lakukan penggantian kata sandi secara berkala; 2). Perbarui perangkat lunak gunakan perangkat lunak yang memiliki dukungan pembaruan versi (update support) dari pengembang. Lakukan pembaruan berkala untuk menghilangkan cacat fungsi (bug) pada perangkat lunak; 3). Cermati setiap tautan, lebih berhati-hati ketika membuka tautan ke situs yang tidak dikenal yang dikirimkan melalui pesan pribadi seperti SMS, e-mail, whatsapp, ataupun kanal lainnya; dan 4). Waspadai koneksi internet publik karena seseorang dapat memantau aktivitas online serta menyisipkan malware pada jaringan WiFi.
Perlindungan data pribadi dalam era digital bukan hanya masalah hukum semata, melainkan juga membutuhkan keterlibatan multi-stakeholder secara aktif dalam menjaga privasi individu dan memastikan penggunaan teknologi yang bertanggung jawab dan aman bagi semua pihak.
Penulis:
Dr. Made Agus Sugianto
Analis Kebijakan Bidang Ekonomi Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Badung.