Rantai Nilai Kebijakan Publik
Mengapa kita perlu memahami pentingnya mengubah perspektif kebijakan publik. Sebagian besar yang kita buat baru pada jenjang ‘kebijakan politik’ dan ‘kebijakan pemerintah’, belum pada jenjang kebijakan publik seharusnya.
Salah satu penyakit setiap pemerintah negara berkembang, terutama yang tidak kunjung keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (bawah) atau middle income trap adalah tidak tahu mengapa mereka masuk dalam jebakan tersebut.
Kemudian, para pemangku kepentingan pun berhadapan dengan pernyataan yang membuat frustrasi: mengapa setiap kebijakan yang dibuat tidak mampu membawa keluar dari jebakan itu. Akhirnya, mengapa setiap kebijakan yang dibuat untuk memecahkan masalah, justru memperbesar masalah. Seolah semakin “terbenam dalam kubangan”.
Hanya sedikit negara yang berkategori berkembang di tahun 1950 dan 1960an yang saat ini sudah keluar dari “kubangan”, misalnya Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan. Dari perspektif kebijakan publik, pernyataan itu bukan saja soal ‘mengapa’, melainkan ‘bagaimana bisa?’
Pertama, rahasianya adalah mereka memahami kebijakan publik lebih sebagai fakta manajemen daripada fakta politik. Para aktor kebijakan, mulai dari pimpinan pemerintahan dan birokrasi, politisi, dan akademisi, bersedia menerima pemahaman tersebut. Jika kebijakan publik dipahami sebagai suatu fakta politik, apalagi fakta politik semata, maka kebijakan publik jadi sekadar tawar-menawar antar kekuatan politik.
Akhirnya, mengapa setiap kebijakan yang dibuat untuk memecahkan masalah, justru memperbesar masalah. Seolah semakin “terbenam dalam kubangan”.
Hasilnya adalah kebijakan ”tengah-tengah”, pas-pasan, dan medioker. Sekadar agar para pihak bisa akur. Inilah yang diajarkan oleh teori kebijakan model kelompok (group theory) dan pilihan publik (public choice theory) dan paling banyak dipraktikkan.
Kebijakan publik sebagai manajemen dipahami sebagai sebuah proses berkelanjutan dan berkesinambungan. Pertama sebagai proses suatu kebijakan, mulai perencanaan, perumusan, pelaksanaan, kepemimpinan, hingga pengendalian. Jadi, perencanaan mendukung perumusan; perumusan mendukung pelaksanaan; pelaksanaan mendukung kepemimpinan; dan kepemimpinan mendukung pengendalian.
Kedua, sebagai suatu rangkaian pemajuan kebijakan. Kebijakan yang melanjutkan keberhasilan kebijakan sebelumnya, dan demikian seterusnya. Bukan ”ganti menteri ganti kebijakan”. Bukan pula model kebijakan yang dikritik Presiden Joko Widodo sebagai ”kebijakan pompa bensin Pertamina yang selalu ”dimulai dari nol.”
Arogansi fiksional lex posterior derogat legi priori, yang bersumber dari keinginan setiap pejabat pemerintah untuk memberikan legacy, harus dapat dikendalikan.
Namun demikian, tatkala kebijakan publik dipahami sebagai manajemen, maka agenda terpentingnya adalah memastikan setiap kebijakan yang dibuat nyambung atau resonan dengan kebijakan lain di depannya, di belakangnya, di atasnya, di bawahnya, serta di samping kiri dan kanannya.
Jalinan hubungan tersebut memiliki nilai antara satu sama lain. Inilah yang di dalam manajemen disebut sebagai rantai nilai. Disebut kebijakan resonan, karena kebijakan tersebut dapat menyebabkan ”getaran” terhadap kebijakan yang lain, sehingga keseluruhan ekosistem pun dapat ”bergetar”.
Kamus daring Universitas Cambridge menjelaskan bahwa konsep rantai nilai atau value chain bermakna bahwa setiap komponen dalam rantai saling memberikan nilai. Bagi Perusahaan, rantai nilai bersifat berurutan. Mulai dari inventori, produksi, hingga pemasaran, atau dipahami secara sempit sebagai rantai pasok atau supply chain.
Bagi kebijakan publik juga bisa berurutan, misalnya kebijakan pertambangan dengan kebijakan turunannya berupa kebijakan hilirisasi pertambangan. Namun, hal yang tidak banyak disadari adalah rantai nilai antar kebijakan publik.
Sebagai contoh, rantai nilai yang dimulai dari kebijakan pemindahan ibu kota baru dengan produksi baja di dalam negeri, proyek properti oleh pengusaha nasional, penyerapan tenaga kerja di kawasan, lingkungan hidup, hingga Jakarta yang ditinggalkan hendak jadi apa.
Jadi, pertanyaannya, apakah setiap kebijakan yang kita buat memberikan nilai kepada kebijakan lain secara simultan dan berkelanjutan, atau justru menjadi penghalang.
Kebijakan dengan rantai nilai yang lebih rumit adalah kebijakan omnibus law. Ini dikarenakan rantainya begitu kompleks dan berkenaan dengan foward-backward-linkage.
Jadi, pertanyaannya, apakah setiap kebijakan yang kita buat memberikan nilai kepada kebijakan lain secara simultan dan berkelanjutan, atau justru menjadi penghalang. Apakah kebijakan dibuat sekadar untuk berputar-putar di tempat atau justru menjadi juggernaut, truk besar yang melaju kencang kemudian menabrak dan menghancurkan kendaraan atau siapa pun di depannya.
Sejumlah kebijakan penting di Indonesia yang sebaiknya memiliki rantai nilai andal adalah kebijakan omnibus law Cipta Kerja, kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara, kebijakan Merdeka Belajar, dan kebijakan restrukturisasi BUMN. Namun, juga tidak terkecuali bagi kebijakan yang belakangan menjadi riuh, yaitu investasi di Rempang, Kepulauan Riau.
Keterhubungan
Rantai nilai membuat suatu kebijakan dalam jalinan keterhubungan dengan kebijakan lanjutan dan yang berkaitan, dapat menciptakan nilai baru, atau value creation. Sebaliknya, jika tidak mampu, yang terjadi adalah value destruction. Kebijakan yang menciptakan kerusakan pada kehidupan bersama, termasuk di dalamnya kejadian korupsi.
Pada umumnya, negara berkembang yang berhasil maju memiliki kebijakan-kebijakan publik dengan rantai nilai yang baik dan berkualitas. Bukan sekadar ada, apalagi seadanya, atau diada-adakan.
Korea Selatan misalnya, menciptakan kebijakan yang mendukung industri kreatif seni dan perfilman dengan nilai yang dikreasikan sejak dari industri film (Drama Korea/drakor), musik (K-Pop), hingga fashion dan kosmetik. Semua hadir dalam value creation yang dikenali sebagai Korean wave atau Hallyu.
Untuk menjadi negara penentu di Asia Tenggara, Singapura membuat kebijakan investasi, perpajakan, hukum, hingga keuangan terhubung dalam rantai nilai. Hal itu membuat investor ke Asia Tenggara memilih untuk melalui Singapura sebagai hub.
Sepanjang Januari hingga Juni 2023, investasi Singapura menempati posisi pertama di Indonesia sebesar 7,7 miliar dollar AS. Investasi tersebut sebenarnya berasal dari investor berbagai negara, termasuk yang berasal dari Indonesia. Mereka membuat perusahaan di Singapura, menaruh uang di Singapura, dan menjadikannya sebagai basis bisnis mereka.
Pelajaran ini memberi sinyal kepada pembuat kebijakan di Indonesia. Keunggulan negara ditentukan oleh keberhasilan membuat kebijakan-kebijakannya berada pada suatu rantai nilai. Sebaliknya, sebagian (kalau tidak hendak dikatakan sebagian besar) kegagalan kebijakan terjadi karena tidak cukup memperhatikan prinsip rantai nilai ini. Penyebab utamanya, pemahaman kebijakan publik kita berhenti pada pemahaman sebagai fakta politik. Bahkan, sekadar fakta hukum, atau fakta administrasi alias birokrasi, belum masuk ke fakta manajemen.
Krisis kebijakan yang terjadi di Indonesia pasca reformasi, atau selama sekitar 25 tahun (1998–2023), adalah akibat kegagalan membangun ekosistem kebijakan publik dalam suatu rantai nilai.
Krisis kebijakan yang terjadi di Indonesia pasca reformasi, atau selama sekitar 25 tahun (1998–2023), adalah akibat kegagalan membangun ekosistem kebijakan publik dalam suatu rantai nilai. Bukan saja satu kebijakan tak terhubung kebijakan lain, tetapi kebijakan satu menabrak lainnya. Bahkan, bisa jadi “semua menabrak semua”. Kondisi ini disebut sebagai ekosistem kebijakan yang chaos.
Bukan berarti Orde Baru lebih baik. Akan tetapi, sejak era reformasi hingga hari ini, ada kebutuhan nyata bahwa setiap kebijakan harus mampu hadir dalam suatu rantai nilai. Kemewahan bagi orde baru, karena tidak berada pada zaman seperti hari ini.
Belajar kembali
Krisis yang terjadi di Indonesia hari ini, dan banyak negara berkembangnya, adalah krisis kebijakan. Sebenarnya agak ironis, karena kebijakan (publik) adalah kosakata yang paling banyak diucapkan, mulai dari pimpinan pemerintahan dan jajarannya, elit politik, dan akar rumputnya, hingga wartawan dan masyarakat awam.
Malangnya, kebijakan publik menjadi kosakata yang paling tidak dipahami secara mumpuni. Pendidikan dan pelatihan kebijakan publik dipaksa berhenti di tingkat teknis, analisis kuantitatif statistikal dan ekonometrikal, hingga penggunaan metode data science berdasarkan mahadata (big data).
Kecanggihan metode tidakselalu menjawab kebutuhan, malah kadang menyusahkan. Digitalisasi proses kebijakan publik, terutama pada pembuatannya, juga seolah ada pada kondisi intoksikasi digital.
Bahkan, konsep evidence based policy pun dapat menjadi salah satu penyebab kejadian logical fallacy dalam pembuatan kebijakan publik. Hal itu dikarenakan pembuat kebijakan dengan sah dapat menggunakan model cherry picking, memilih buah ceri yang paling merah dan paling gemuk, seperti yang diinginkan, atau memilih alasan kebijakan yang paling menguntungkannya, daripada yang seharusnya.
Tanpa harus saling menyalahkan, kita, para pengajar, praktisi, dan pembelajar, perlu belajar kembali hakikat kebijakan publik. Sebagian besar yang kita buat hari ini baru pada jenjang ‘kebijakan politik’ dan ‘kebijakan pemerintah’, belum pada jenjang kebijakan publik yang seharusnya. Khususnya, dalam arti kebijakan untuk membaikkan dan menghebatkan publik, yaitu bangsa atau masyarakat Indonesia.
Kita perlu memahami perlunya mengubah perspektif tentang kebijakan publik, dari semata-mata realitas politik, hukum, atau administrasi, ke realitas manajemen. Konsekuensinya, kita perlu belajar membangun ekosistem kebijakan publik yang sambung-menyambung satu sama lain, dan selanjutnya hadir sebagai rantai nilai atau value chain. Dengan itu, niscaya, harapan Indonesia gemilang pada tahun 2045, dapat dicapai dengan baik. Kalau perlu, dicapai lebih cepat lagi.
Riant NugrohoKetua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia, Pengajar Program Pasca Sarjana FISIP Universitas Jenderal Achmad Yani
Artikel ini telah tayang di harian kompas.id