Wacana Pilkada DPRD Menguat Menuju 2029 Rakyat Terancam Kehilangan Hak Pilih Langsung

Pembaca, untuk edisi hari ini BU menyajikan isu yang mengemuka di tahun 2025 yang berpotensi mewarnai lanskap negeri kita di tahun 2026.

HAK RAKYAT AKAN DIAMBIL LAGI OLEH ELITE

Meskipun pemilihan umum berikutnya masih jauh, tahun 2029, tapi gelagat perubahan sistem pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) sudah bergulir tahun ini. Semula wacana perubahan itu disuarakan oleh orang per orang tokoh partai politik, termasuk Presiden Prabowo. Wacana ini kian hari menggelinding kian besar, sampai Partai Golkar merumuskan secara resmi wacana itu melalui Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar 20 Desember lalu.

Perubahan sistem itu adalah kepala daerah dipilih oleh DPRD, tidak lagi menggunakan sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Ini perubahan untuk kembali ke sistem yang pernah dijalankan selama sekitar 30 tahun rezim militer Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, sampai pemilu 1999. Sistem pemilihan kepala daerah langsung dilakukan pada Pemilu 2005, 2009, 2014, 2019, dan 2024.

Genderang yang ditabuh Golkar pun mendapat sahutan senada dari Partai Gerindra, PAN juga begitu, Nasdem selaras, PKB seiya sekata. Berhubung semua senada, maka alasannya pun kurang lebih sama. Yaitu, pemilu langsung berbiaya tinggi. Biaya itu dikeluarkan oleh calon kepala daerah untuk “uang mahar” ke parpol untuk diusung, biaya kampanye, biaya “amplop” ke rakyat, dan sebagainya. Biaya lainnya adalah ongkos untuk penyelenggaraan pilkada yang diambil dari APBN.

Ongkos yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah pasti akan ditutup, plus disertai keuntungan, setelah dia terpilih. Bukan rahasia umum pula bahwa ongkos atau biaya sang calon bukan semata dari kantong pribadi, tapi juga dari pinjaman di bank, dan “bandar” yang akan mendapatkan imbalan setelah dia menjabat. Nah, begitu pendapat mereka, itu menjadi biang korupsi kepala daerah. Lihat, semakin banyak kepala daerah yang dibekuk KPK atau Kejagung.

Masih berdasarkan argumentasi para parpol tersebut, pemilihan kepala daerah melalui DPRD selain ngirit ongkos dan menekan potensi korupsi, sistem ini selaras dengan Pancasila, khususnya sila ke-4: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Ini perwujudan demokrasi melalui musyawarah untuk mufakat.

Di pihak seberang, PDIP bersikeras sistem pilkada melalui DPRD itu tidak sesuai dengan asas demokrasi: rakyatlah pemilik suara. Berapa pun ongkosnya, suara itu tidak boleh diwakilkan untuk menentukan pemimpin. Jika DPRD yang memilih, sama artinya hak rakyat satu-satunya diambil alih oleh elite. Partai Demokrat juga bersuara senada. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sekaligus ketum Demokrat, adalah yang mengeluarkan peraturan presiden pengganti undang-undang pada 2004, yang memberlakukan pemilihan kepala daerah secara langsung untuk Pemilu 2005.

Ada 2 kubu yang bertentangan secara diametral, namun tetap harus ada solusi untuk Pemilu 2029. Solusi itu wajib diambil jauh hari supaya semua kontestan pemilu mendatang punya persiapan dalam menentukan sekitar 540 kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) di seluruh Indonesia. Ini artinya, proses revisi UU Pemilu sebagai landasan Pemilu 2029 bakal dimulai tahun 2026.

Mengingat revisi UU Pemilu merupakan proses politik, maka kekuatan politik parpol menjadi faktor determinan. Dari kekuatan di parlemen pusat sebagai pembuat UU, parpol penabuh nada pilkada via DPRD jelas dominan. Angka di DPR berbicara: Golkar menguasai 17,59%, Gerindra 14,83%, Nasdem 11,90%, PKB 11,72%, PAN 8,28%. Total 64,32%. Sementara di pihak seberang: PDIP 18,97%, Demokrat 7,59%, total 26,56%. PKS yang masih bersikap abu-abu 9,14%.

Kekuatan kursi di DPR sudah meyakinkan para parpol pengusung pilkada via DPRD untuk menggolkan kemauan mereka, apalagi sudah selaras dengan Presiden Prabowo yang gemar dengan sentralisme. Namun, rakyat yang akan kehilangan haknya belum tentu sepakat. ()

TRENDING MEDSOS

Kata “DPRD” trending di X, setelah Partai Gerindra mendukung usulan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD karena dinilai lebih efisien dibanding pemilihan langsung. Sekjen Partai Gerindra Sugiono menilai, selama ini pilkada secara langsung memerlukan ongkos politik yang mahal dan sering menimbulkan polarisasi di masyarakat. Warganet di X lantas ramai menyoroti pernyataan Sugiono yang dinilai menuduh rakyat sebagai sumber politik uang dan korupsi. Padahal yang menyebar uang dalam kampanye adalah para politisi yang mencalonkan diri. Banyak calon kurang kompeten, namun memaksakan diri untuk menang dengan cara politik uang. Sumber politik uang adalah para politisi, bukan rakyat.

SUMBER

BRIEF UPDATE
Kerjasama MAKPI dengan BDS Alliance
Selasa, 30 Desember 2025

Avatar photo

Makpi Support

Articles: 818