Abstrak
Transisi energi menuju sistem yang lebih bersih dan berkelanjutan telah menjadi agenda global, termasuk di Indonesia. Namun, peralihan dari dominasi energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia menghadapi berbagai kendala struktural, geografis, geopolitik, dan teknologi. Makalah ini mengkaji dinamika dan hambatan dalam pembangunan bauran energi Indonesia dari sudut pandang institusional dan kebijakan, serta menawarkan strategi keluar dari perangkap bauran energi yang dihadapi negara berkembang. Analisis ini menunjukkan bahwa kebijakan energi nasional tidak dapat hanya didorong oleh target numerik, tetapi harus memperhitungkan kompleksitas kondisi domestik dan tata kelola global.
Kata kunci: bauran energi, transisi energi, PLN, kebijakan publik, EBT, energi fosil, geopolitik energi
1. Pendahuluan
Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam bauran energi nasional: 23% EBT pada 2025 dan Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Namun, capaian per 2024 menunjukkan bahwa porsi EBT dalam bauran energi primer baru mencapai sekitar 13% (ESDM, 2024), jauh dari proyeksi. PLN, sebagai entitas utama dalam sistem kelistrikan, menghadapi tekanan besar untuk memenuhi target transisi ini di tengah kenyataan struktur energi nasional yang masih sangat tergantung pada batu bara dan energi fosil lainnya.
Makalah ini mengusulkan kerangka berpikir baru bahwa Indonesia terjebak dalam “perangkap bauran energi”—yakni kondisi di mana setiap sumber energi menghadapi kendala besar sehingga tidak ada pilihan yang sepenuhnya ideal. Pemahaman atas perangkap ini penting untuk merumuskan strategi kebijakan yang lebih realistis, adaptif, dan kontekstual.
2. Kerangka Teoritis: Transisi Energi dalam Negara Berkembang
Studi tentang transisi energi biasanya mengandalkan pendekatan path dependence (Unruh, 2000), lock-in systems (Geels, 2002), dan multi-level perspective (MLP) terhadap perubahan sistemik. Dalam konteks negara berkembang, faktor seperti keterbatasan fiskal, ketergantungan pada ekspor sumber daya alam, dan regulasi yang tidak stabil menyebabkan proses transisi berjalan tidak linear dan penuh kompromi (Newell et al., 2021).
Dengan demikian, strategi transisi energi di Indonesia tidak bisa disalin dari negara maju, melainkan harus berbasis pada kondisi geografis, sosial-politik, dan struktur ekonominya.
3. Analisis Empiris: Hambatan Struktural dalam Pembangunan Bauran Energi
Energi Surya: Potensi Besar, Efisiensi Terbatas. Indonesia memiliki rata-rata irradiansi yang baik (4–5 kWh/m²/hari), tetapi tidak memiliki kawasan seperti Gurun Gobi di Tiongkok atau Mojave di AS yang cocok untuk proyek solar farm berskala besar. Ketersediaan lahan terbuka rendah, awan dan curah hujan tinggi, serta tingginya biaya integrasi ke grid membuat PLTS sulit menjadi backbone pasokan listrik nasional. Untuk Indonesia, PLTS lebih cocok dikembangkan dalam skema distributed energy, seperti rooftop solar atau floating PV, bukan dalam skala industri masif.
Energi Angin: Tidak Konsisten Secara Geografis. Sebagian besar wilayah Indonesia memiliki kecepatan angin rendah dan fluktuatif. Potensi terbesar hanya terdapat di kawasan terbatas seperti Sidrap (Sulsel) dan Sumba, yang sulit dijadikan basis pembangunan energi skala nasional.
Panas Bumi: Kaya Potensi, Investasi Mahal. Meski cadangan geothermal Indonesia sangat besar (> 23 GW), realisasi pemanfaatannya lambat karena tingginya risiko eksplorasi, biaya awal tinggi, dan konflik penggunaan kawasan hutan konservasi. Proyek-proyek panas bumi memerlukan skema pembiayaan jangka panjang dan kejelasan regulasi yang stabil.
Energi Nuklir: Terkunci oleh Geopolitik dan Persepsi Publik. Energi nuklir adalah opsi yang secara teoritis stabil, tetapi secara politis sensitif. Indonesia menghadapi kendala diplomatik dalam memperoleh lisensi dan teknologi dari negara pemilik reaktor karena kekhawatiran proliferasi senjata. Di sisi lain, resistensi publik dan kurangnya infrastruktur keamanan nuklir juga menjadi penghambat.
PLTA: Terganggu oleh Krisis Ekologi. Bendungan besar sebagai sumber PLTA menghadapi tantangan deforestasi, sedimentasi, dan perubahan iklim yang mengubah pola debit air. Selain itu, pembangunan bendungan sering memicu konflik sosial dan ekologi.
Batubara: Sumber Dominan yang Semakin Terbatas. Meskipun masih mendominasi (lebih dari 55% pembangkitan PLN), batubara menghadapi tekanan internasional untuk phase-out, kenaikan harga ekspor yang mendorong produsen menjual ke luar negeri, dan penolakan domestik karena dampak lingkungan dan kesehatan.
4. Paradoks PLN: Dituntut Berubah, Tapi Dibatasi Struktur
PLN adalah operator yang berada di bawah tekanan berbagai rezim. Rezim pertama rezim regulasi lingkungan mendorong EBT. Rezim ke dua, rezim kewajiban pasokan energi menuntut stabilitas dan keandalan. Rejim ke tiga, rezim keterbatasan fiskal dan utang membatasi ruang investasi. Rezim ke empat, rezim keterikatan pada kontrak jangka panjang PLTU membuat transisi energi tidak bisa dilakukan mendadak.
PLN tidak hanya menghadapi masalah teknis, tetapi juga “jebakan kebijakan” yang memaksanya bertahan dalam sistem yang tidak sejalan dengan arah perubahan global.
5. Rekomendasi Strategis
Ada lima rekomendasi yang disarankan. Pertama dekonstruksi target EBT secara adaptif. Revisi target bauran energi nasional agar lebih berbasis pada lokalitas (place-based energy mix) daripada target nasional seragam. Ke dua, diversifikasi teknologi skala menengah dan desentralisasi. Perkuat pengembangan hybrid system (PLTS + baterai + diesel) di kawasan terluar, bukan hanya proyek pembangkit raksasa di Jawa. Ke tiga, reformasi insentif investasi energi bersih. Reposisi subsidi energi agar mendukung infrastruktur penyimpanan (battery storage) dan investasi pada geothermal. Ke empat, diplomasi teknologi energi dan perluasan aliansi. Bangun kerja sama strategis dengan negara pemilik teknologi nuklir atau geothermal yang memiliki sikap lebih terbuka. Ke lima, modernisasi infrastruktur transmisi dan digitalisasi PLN. Investasi besar-besaran pada smart grid, super grid, dan digitalisasi manajemen beban untuk meningkatkan efisiensi sistem.
6. Penutup
Indonesia tidak kekurangan potensi energi, tetapi menghadapi keterbatasan dalam mewujudkan potensi tersebut secara berkelanjutan dan terukur. Perangkap bauran energi merupakan kondisi khas negara berkembang yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan teknologi, melainkan dengan kombinasi antara reformasi kebijakan, keberanian diplomasi, dan inovasi tata kelola. PLN, sebagai ujung tombak sistem kelistrikan nasional, membutuhkan dukungan menyeluruh dari negara untuk keluar dari perangkap ini.
Daftar Pustaka
- ESDM. (2024). Statistik EBTKE 2023. Kementerian ESDM RI.
- Geels, F. W. (2002). Technological transitions as evolutionary reconfiguration processes: a multi-level perspective. Research Policy, 31(8–9).
- Newell, P., Bulkeley, H., & Schroeder, H. (2021). Governing Climate Change: Polycentricity in Action? Cambridge University Press.
- Unruh, G. C. (2000). Understanding carbon lock-in. Energy Policy, 28(12).