Pendahuluan
Kehadiran Independent Power Producers (IPP) telah menjadi fenomena penting dalam industri ketenagalistrikan global. IPP pada dasarnya adalah perusahaan swasta (domestik maupun asing) yang membangun, memiliki, dan mengoperasikan pembangkit listrik untuk kemudian menjual listriknya kepada perusahaan utilitas nasional melalui kontrak jangka panjang. Di berbagai negara berkembang, IPP muncul sebagai solusi atas keterbatasan investasi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan energi (ADB, 2015).
Di Indonesia, IPP menjadi tulang punggung dalam penyediaan listrik sejak 1990-an, khususnya di sektor pembangkit berbahan bakar fosil. Sementara di Tiongkok, IPP juga hadir, tetapi dengan karakteristik berbeda: mereka berperan dalam mendukung transisi energi dan diversifikasi, bukan sebagai pemain dominan yang menggerakkan keseluruhan pembangkitan. Analisis ini akan membandingkan peran IPP di kedua negara, dengan fokus pada aspek regulasi, dukungan pemerintah, orientasi bisnis, dan konsekuensinya terhadap stabilitas sistem ketenagalistrikan.
1. Struktur Ketenagalistrikan
Indonesia menganut sistem single buyer, di mana PLN bertindak sebagai satu-satunya pembeli listrik dari IPP. Skema ini menempatkan PLN sebagai pemegang monopoli transmisi dan distribusi, sekaligus sebagai “off-taker” utama bagi semua pembangkit listrik swasta. Konsekuensinya, PLN harus menanggung beban kontrak jangka panjang, umumnya dengan klausul take or pay, yang seringkali membebani keuangan PLN ketika permintaan listrik tidak tumbuh sesuai prediksi (PwC Indonesia, 2020).
Sebaliknya, Tiongkok memiliki dua perusahaan grid utama, State Grid Corporation of China (SGCC) dan China Southern Power Grid (CSPG), yang berfungsi sebagai pembeli listrik dari berbagai produsen, baik BUMN energi maupun IPP swasta. Namun, kontrol negara tetap dominan: harga listrik ditetapkan pemerintah pusat, dan IPP hanya berperan sebagai penyedia tambahan, khususnya di sektor energi terbarukan. Dengan demikian, struktur di Tiongkok lebih plural, tetapi tetap terkendali secara ketat oleh pemerintah.
2. Peran BUMN vs Swasta
Di Indonesia, PLN masih menguasai transmisi dan distribusi, tetapi porsi pembangkitan listrik oleh IPP telah melebihi 40% kapasitas nasional, terutama di sektor PLTU batubara. Misalnya, proyek 35 GW yang diluncurkan pada era Presiden Joko Widodo sebagian besar digarap oleh IPP, dengan PLN sebagai pembeli tunggal (IESR, 2021).
Sementara itu, di Tiongkok, mayoritas pembangkitan masih didominasi oleh BUMN energi besar seperti Huaneng Group, Datang Group, Huadian Group, dan China Energy Investment Corporation (CEIC). IPP swasta memang ada, tetapi kontribusinya lebih besar pada energi terbarukan (solar, angin, biomassa). Dengan kata lain, peran IPP di Tiongkok lebih sebagai “pelengkap” dalam strategi transisi energi, bukan pemain utama dalam penyediaan listrik nasional.
3. Dukungan Pemerintah
Perbedaan mencolok terlihat dari bentuk dukungan pemerintah. Di Tiongkok, pemerintah pusat memberikan subsidi besar dan insentif fiskal untuk proyek energi terbarukan, termasuk feed-in tariff (FIT) yang menarik bagi investor swasta. Selain itu, bank-bank milik negara memberikan akses kredit murah untuk proyek energi ramah lingkungan (Zhang & Andrews-Speed, 2019).
Di Indonesia, dukungan pemerintah terhadap IPP lebih banyak diarahkan ke sektor batubara. Misalnya, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) batubara dan jaminan kontrak PPA dari PLN yang didukung oleh pemerintah. Sebaliknya, insentif bagi energi terbarukan relatif terbatas dan sering mengalami ketidakpastian regulasi (IESR, 2022). Hal ini membuat IPP lebih tertarik pada proyek PLTU ketimbang proyek EBT.
4. Skema Harga dan Regulasi
Di Indonesia, harga listrik dari IPP ditentukan melalui negosiasi kontrak jangka panjang dengan PLN, yang kemudian disetujui oleh Kementerian ESDM dan DPR. Skema ini relatif rigid, sehingga ketika harga energi primer berubah atau permintaan tidak sesuai proyeksi, PLN tetap harus membayar sesuai kontrak. Dampaknya terlihat dalam tingginya utang PLN, yang pada 2024 mencapai Rp 711,2 triliun (Kementerian BUMN, 2024).
Di Tiongkok, harga listrik dari IPP, khususnya energi terbarukan, ditentukan pemerintah melalui feed-in tariff atau mekanisme pasar terbatas. Meski kontrol harga ketat, pemerintah memberikan kepastian pendapatan melalui subsidi langsung. Artinya, risiko keuangan IPP di Tiongkok lebih rendah karena ditopang oleh kebijakan fiskal negara, bukan dibebankan ke utilitas nasional semata.
5. Orientasi Bisnis dan Implikasi Sistem
Orientasi IPP di Indonesia masih sangat bergantung pada keamanan pasokan energi berbasis batubara. Hal ini memang membantu menjaga ketersediaan listrik dalam jangka pendek, tetapi menimbulkan risiko keuangan jangka panjang bagi PLN serta memperlambat transisi energi.
Sebaliknya, di Tiongkok, IPP didorong untuk masuk ke sektor energi bersih. Pemerintah menggunakan IPP sebagai instrumen mempercepat pencapaian target karbon netral 2060. Akibatnya, peran IPP lebih sinkron dengan strategi nasional dekarbonisasi, sementara beban PSO ditanggung pemerintah, bukan ditimpakan ke SGCC/CSPG.
6. Analisis Perbandingan
Tabel berikut merangkum perbedaan utama peran IPP di Tiongkok dan Indonesia:
Aspek | Tiongkok | Indonesia |
Struktur | Multi-grid (SGCC & CSPG) sebagai off-taker | Single buyer (PLN) |
Porsi IPP | ± 45–50%, fokus di EBT | > 40%, dominan di PLTU batubara |
Dukungan Pemerintah | Subsidi, feed-in tariff, kredit murah, insentif EBT | DMO batubara, jaminan PPA, insentif EBT terbatas |
Skema Harga | FIT + subsidi fiskal | Kontrak jangka panjang (PPA) |
Orientasi | Dekarbonisasi, transisi energi | Keamanan pasokan (batubara) |
Risiko Keuangan | Ditanggung pemerintah (subsidi) | Ditanggung PLN (utang besar) |
Kesimpulan
Perbandingan ini menunjukkan bahwa peran IPP di Tiongkok dan Indonesia sangat berbeda secara struktural maupun orientatif. Di Tiongkok, IPP dipakai sebagai instrumen transisi energi dengan dukungan penuh pemerintah, sehingga risikonya relatif kecil. Sebaliknya, di Indonesia, IPP justru menjadi penopang utama pasokan listrik berbasis batubara, dengan risiko keuangan lebih banyak ditanggung PLN.
Perbedaan ini lahir dari pilihan kebijakan negara: Tiongkok memosisikan IPP sebagai katalis inovasi dan dekarbonisasi, sementara Indonesia masih memosisikan IPP sebagai solusi jangka pendek atas keterbatasan investasi publik. Jika Indonesia ingin mengikuti jejak Tiongkok, maka perlu ada pergeseran dukungan pemerintah dari batubara ke energi terbarukan, serta reformasi skema kontrak IPP agar tidak terus membebani keuangan PLN.
Referensi
Asian Development Bank (ADB). (2015). The Role of Independent Power Producers in Power Sector Development.
PwC Indonesia. (2020). Power in Indonesia: Investment and Taxation Guide.
Institute for Essential Services Reform (IESR). (2021, 2022). Indonesia Energy Transition Outlook.
Zhang, S., & Andrews-Speed, P. (2019). State versus Market in China’s Renewable Energy Sector.
Kementerian BUMN RI. (2024). Laporan Kinerja PLN.