Kondisi ”over regulated” dalam birokrasi telah menyebabkan ”red tape” yang jadi ancaman bagi peningkatan daya saing Indonesia dan upaya membentuk pemerintahan bersih dan melayani. Perlu reformasi birokrasi ”red tape”.
Birokrasi Weberian, yang juga dikenal sebagai Administrasi Publik Tradisional, masih mendominasi model pengaturan dan pengelolaan organisasi publik sampai periode 1980-an. Bahkan, di Indonesia, birokrasi ini secara struktural dan kultural masih jadi karakter utama hingga kini.
Ide dasar dan prinsip birokrasi Weberian adalah semua masyarakat harus dilayani secara sama (equality). Ini berimplikasi pada standardisasi prosedur dan peraturan perundangan, dan ini yang mengakibatkan birokrasi Weberian dianggap gagal karena menyebabkan struktur birokrasi terlalu besar, mengutamakan peraturan, dan prosedur yang berlebihan.
Praktik birokrasi Weberian ini menimbulkan red tape, yaitu banyaknya peraturan dan prosedur yang eksis sebagai bentuk kepatuhan, tetapi tidak memiliki kebermanfaatan fungsi (efficacy) bagi birokrasi dan masyarakat itu sendiri. Itu sebabnya Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan selalu menekankan pentingnya agar peraturan dipangkas dan struktur birokrasi disederhanakan.
Praktik birokrasi Weberian ini menimbulkan red tape, yaitu banyaknya peraturan dan prosedur yang eksis sebagai bentuk kepatuhan, tetapi tidak memiliki kebermanfaatan fungsi ( efficacy) bagi birokrasi dan masyarakat itu sendiri.
Dampak ”red tape”
Dari berbagai studi terungkap, birokrasi red tape memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kinerja pemerintahan, baik secara organisasional maupun individual (George dkk, 2021). Hasil penelitian ini juga menunjukkan, gejala birokrasi red tape terjadi secara global dan tak bergantung pada tradisi birokrasi suatu negara.
Bahkan pembaruan birokrasi dengan model New Public Management (NPM) yang ada saat ini juga menumbuhkan red tape baru berupa banyaknya prosedur dalam perencanaan dan pengukuran kinerja pemerintahan, seperti adanya rencana kinerja, indikator, selain dashboard monitoring dan evaluasi.
Gerakan NPM mencoba untuk mengurangi red tape di birokrasi dengan mengimplementasikan praktik manajemen sektor privat atau bahkan melakukan kemitraan pemerintah-swasta untuk penyediaan pelayanan publik (Osborn dan Gaebler, 1992, Pollit dan Bouckaert, 2017). Berbagai upaya ini bahkan menimbulkan kombinasi multilayer kompleksitas red tape model Weberian dan red tape model NPM.
Red tape bagaimanapun hingga kini tetap eksis dan jadi ancaman utama bagi birokrasi Indonesia saat ini. Red tape dalam budaya birokrasi yang korup akan semakin berdampak negatif dalam pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan. Hasil survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sejak 2003 hingga kini tak mengalami perubahan signifikan. Tahun 2021 skor 38, naik 1 poin dibandingkan dengan 2020 dengan skor 37 (dari kisaran 0-100).
Birokrasi red tape dalam budaya birokrasi yang korup tak hanya menyebabkan regulasi yang banyak (over regulated) dan prosedur pemerintahan yang berbelit-belit, tak transparan, dan tidak jelas, tetapi juga membuka kesempatan bagi aparat birokrasi memperkaya diri dan merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Itu sebabnya proses perizinan usaha (investasi) dalam kemudahan berusaha di Indonesia tak bisa diperbaiki secara mudah karena melibatkan regulasi yang banyak dan budaya birokrasi yang korup. Demikian juga perizinan non-usaha (pelayanan administratif masyarakat izin mendirikan bangunan, tanah, dan lain-lain), dipandang masyarakat masih sangat sulit diperoleh dari birokrasi.
Red tape birokrasi pada akhirnya menyebabkan biaya pelayanan publik yang mahal. Ujung- ujungnya, birokrasi hanya melayani diri sendiri dan justru menjadi sumber masalah dalam pemerintahan.
Di samping biaya yang mahal, birokrasi red tape juga menyebabkan hilangnya kreativitas dan inovasi para pegawai ASN. Para birokrat hanya melihat peraturan perundang-undangan dalam bekerja, bukan berfokus pada memberikan pelayanan yang terbaik. Budaya ini yang kita sebut rule based, satu sikap mental birokrat yang selalu mengedepankan peraturan meski peraturan itu sejatinya tak memiliki kebermanfaatan bagi warga negara.
Orientasi pada peraturan yang berlebihan ini menyebabkan hilangnya diskresi dan otonomi para pegawai, hanya melakukan sesuatu atas perintah atasan, rendahnya partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dalam pembuatan kebijakan dan keputusan, hilangnya semangat dan motivasi berkinerja. Tak heran Indeks Daya Saing Global Indonesia adalah peringkat ke-11 dari 14 negara di Asia, pada posisi ke-37 secara global pada tahun 2021, di atas India dan Filipina.
Demikian pula tingkat efektivitas pemerintahan dengan nilai 0,37 pada 2020. Bandingkan dengan Singapura 2,34, Malaysia 1,0, dan Korea Selatan 1,42 (kisaran nilai: minus 2,5 terendah dan 2,5 tertinggi).
Masing-masing instansi bekerja secara mentalitas silo dan berfokus pada hegemoni regulasinya sendiri.
Nilai ini memang meningkat cukup signifikan daripada 2010 dengan nilai minus 0,21 dan 2016 dengan nilai 0,01. Dalam percentile ranking, efektivitas pemerintahan Indonesia adalah 65,38 persen pada 2020, naik dari tahun sebelumnya 60,01. Indeks ini mencerminkan kualitas PNS dan kualitas pelayanan publik.
Dampak akhir dari birokrasi red tape dalam kinerja pemerintahan adalah budaya yang mementingkan diri sendiri daripada melayani masyarakat, lemahnya kemampuan untuk mencapai visi, misi, dan tujuan pemerintah, tak responsif dan tak inovatif untuk melaksanakan mandat pimpinan politik, baik dari presiden, maupun para menteri dan kepala daerah.
Dampak lainnya, sulitnya birokrasi bekerja secara kolaboratif dengan instansi pemerintah lainnya untuk mencapai hasil pembangunan bersama. Masing-masing instansi bekerja secara mentalitas silo dan berfokus pada hegemoni regulasinya sendiri.
Digitalisasi, deregulasi, dan debirokratisasi
Untuk membongkar birokrasi red tape, tak bisa lagi dilakukan dengan pendekatan analog, step by step, dan linier.
Waktu yang dibutuhkan akan sangat lama, sementara perubahan masyarakat dan lingkungan strategis saat ini dan tahun-tahun mendatang sangat disruptif. Hal utama untuk melakukan perubahan cepat dan melompat (quantum leap reform) adalah dengan melakukan transformasi digital, suatu perubahan memaksa yang terjadi secara bersamaan dengan menggunakan kemajuan teknologi digital, diikuti berbagai perubahan lain (the rest follow).
Transformasi digital birokrasi Indonesia akan memaksa berbagai perubahan peraturan perundang-undangan, perubahan struktur organisasi dan proses bisnis pemerintahan, perubahan budaya dan sikap mental, serta perubahan kompetensi para pegawai ASN.
Kondisi over regulated dalam birokrasi telah menyebabkan red tape yang menjadi ancaman bagi peningkatan daya saing Indonesia dan upaya membentuk pemerintahan yang bersih dan melayani.
Meskipun saat ini Mahkamah Konstitusi telah memutuskan membatalkan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja karena ketiadaan dasar hukum metode omnibus law dan lemahnya meaningful participation dalam proses pembentukannya, metode ini dapat diperbaiki dan menjadi dasar untuk melakukan berbagai deregulasi dan reregulasi dalam pemerintahan secara bersamaan dan terintegrasi.
Kondisi over regulated dalam birokrasi telah menyebabkan red tape yang menjadi ancaman bagi peningkatan daya saing Indonesia dan upaya membentuk pemerintahan yang bersih dan melayani. Transformasi digital, deregulasi, dan debirokratisasi adalah satu paket kebijakan yang diperlukan untuk membongkar dan mereformasi birokrasi red tape.
Karena itu, diperlukan suatu UU Pemerintahan Digital, yang akan menjadi semacam omnibus law untuk memaksa perubahan berbagai peraturan perundang-undangan dan hambatan struktural lainnya yang tak sesuai dengan filosofi dan elemen dasar birokrasi digital.
Pengaturan dasar dalam UU ini, misalnya, berkaitan dengan integrasi data antar-instansi pemerintah, penataan proses bisnis dalam instansi dan lintas instansi, berbagai infrastruktur dan aplikasi bersama yang dipergunakan secara nasional, kolaborasi dan kerja virtual, peningkatan kapasitas SDM, dan keterlibatan masyarakat.
Dengan demikian, akan terjadi perubahan pola kerja birokrasi dari hierarki dan otoritas menjadi jaringan dan kolaborasi (McDonald III dkk, 2022). Struktur organisasi birokrasi akan didesain lebih flat dan agile berbasis kinerja. Pelayanan publik kian cepat, transparan, akuntabel, dan inovatif dengan sistem informasi berbasis teknologi, dan tentunya birokrasi red tape akan roboh dengan sendirinya. Semoga.
Eko PrasojoSekretaris Eksekutif Komite Pengarah RB Nasional, Guru Besar FIA UI
Artikel ini telah tayang di harian kompas.id