Tantangan Membangun Budaya Organisasi Birokrasi

Upaya menjadikan AKHLAK sebagai budaya organisasi birokrasi adalah baik. Namun, metode, pendekatan, dan kebijakan yang digunakan perlu ditingkatkan lagi agar tidak terulang kegagalan membangun budaya organisasi.

Salah satu kritik terpedas kepada birokrasi adalah tidak berbudaya, atau dalam bahasa awam mungkin dapat disebut ”tidak berperadaban”, bahkan lebih keras lagi ”tidak beradab”. Sejak era pascareformasi, upaya membangun budaya birokrasi menjadi upaya yang sangat serius, terutama semenjak salah satu indikator kinerja utama (key performance indicator) dari keberhasilan reformasi birokrasi adalah menjadi birokrasi dengan budaya organisasi.

Bahkan, Permen PAN-RB No 39/2012 berjudul Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja, sebagai turunan dari UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, Peraturan Presiden No 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014, Peraturan Presiden No 81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi, dan Permen PAN-RB No 1/2007 tentang Pedoman Evaluasi Pelaksanaan Pengembangan Budaya Kerja pada Instansi Pemerintah. Sebelumnya, pada tahun 2002, telah pula ditetapkan Keputusan Menteri PAN-RB No 25/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara. Kemudian saya diberi pedomannya, yang ternyata, ada ”17 pasang” (atau total ada 34) nilai budaya kerja dari aparatur negara.

Pada 27 Juli 2021, Presiden Joko Widodo resmi meluncurkan core value aparatur sipil negara (ASN), yaitu Ber-AKHLAK. Peluncuran core value ini bertujuan untuk menyeragamkan nilai-nilai dasar bagi seluruh ASN di Indonesia sehingga dapat menjadi fondasi budaya kerja ASN yang profesional. Core value Ber-AKHLAK merupakan singkatan dari Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif.

Core value tersebut dapat dipahami sebagai ”budaya organisasi” Sama seperti yang dikembangkan pemerintahan era Presiden Megawati dengan ”17 pasang nilai”-nya. Penetapan budaya organisasi atau core value AKHLAK ini karena ada perbedaan penerjemahan terhadap nilai-nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku ASN yang tertuang pada UU No 5/2014 tentang ASN.

Oleh karena itu, Kemenpan dan RB menetapkan core value baru untuk menciptakan persepsi yang sama atas nilai-nilai dasar ASN. Core value Ber-AKHLAK dijelaskan sebagai penggabungan dan pengerucutan nilai-nilai ASN yang ada di berbagai instansi pemerintahan. Jika sebelumnya kebijakan membangun budaya organisasi birokrasi ditata dengan peraturan menteri dan keputusan menteri, maka pada saat ini cukup ditetapkan berupa Surat Edaran Menpan dan RB Nomor 20 Tahun 2021 tentang Implementasi Core Values dan Employer Branding ASN.

Core value Ber-AKHLAK dijelaskan sebagai penggabungan dan pengerucutan nilai-nilai ASN yang ada di berbagai instansi pemerintahan

Sementara itu, diluncurkan pula nilai dasar antikorupsi yang diakronimkan sebagai ANEKA, yaitu akuntabilitas, nasionalisme, etika publik, komitmen mutu, dan antikorupsi, yang harus diinternalisasikan dan dilaksanakan dalam pelaksanaan tugas keseharian. Penjelasan resminya adalah tatkala ASN terbiasa memberikan pelayanan yang baik dan sesuai prosedur, praktik korupsi akan terhindarkan. Perubahan fundamental pada pola pikir dan sikap mental ini mendorong untuk melakukan tindakan antikorupsi, sebagai kelanjutan dari program Pembangunan Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Unit Pengendali Gratifikasi.

Core value yang baru ini diharapkan menjadi semboyan dan semangat yang sama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat agar tidak lagi minta untuk dilayani, tetapi memberikan pelayanan yang prima dalam membantu masyarakat. Penjelasan resmi dari pemerintah adalah bahwa dengan ditetapkannya core value Ber-AKHLAK, hal itu justru akan menguatkan budaya kerja ASN yang profesional dalam melayani masyarakat. Orientasi pelayanan yang berkualitas dan profesional harus dimaknai dengan baik oleh setiap ASN. Tidak sekadar menjadi jargon, tetapi harus diamalkan dan ditujukan untuk kemajuan bangsa. ASN harus bisa mendobrak stigma negatif masyarakat terkait adanya praktik pungli untuk mempercepat proses layanan yang diberikan oleh instansi pemerintahan. Core value dan nilai dasar ini kemudian juga dilengkapi dengan employer branding ASN ”bangga melayani bangsa”.

Tantangan keberhasilan

Pada tahun 2002, bersama para ahli dan praktisi senior budaya organisasi, kami mendirikan sebuah organisasi pengembangan budaya organisasi. Pengalaman menunjukkan bahwa organisasi pemerintah dan perusahaan BUMN, apalagi yang berskala ”raksasa”, adalah organisasi yang paling sulit dibangun budaya organisasinya. Ditambah dengan pengalaman mendampingi, mungkin lebih dari ”selusin” kementerian, ada kesamaan: organisasi pemerintah adalah organisasi dengan budaya organisasi yang terlemah (kalau tidak hendak disebut ”terburuk”) dibandingkan organisasi lain. Setelah itu, menyusul BUMN, terutama yang raksasa, kemudian usaha kecil dan menengah, koperasi, dan yang terkuat adalah swasta nasional yang besar dan swasta multinasional.

Penyebabnya sama, terlalu sering berganti pemimpin puncak, sampai kemudian kami menemukan premis yang menjelaskan hal tersebut. Edgar Schein, guru besar dari Sloan/MIT, dalam Organizational Culture and Leadership (1992), menemukan bahwa antara budaya dan pemimpin seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Pemimpin hadir membangun budaya organisasi, yang dibawa dari nilai-nilai budaya personalnya, menjadi budaya semua orang, dan kemudian budaya itu mengikat semua orang secara ”tidak tampak” untuk bekerja secara terpadu dan harmonis mencapai tujuan organisasi.

Pengalaman menunjukkan, bahwa organisasi pemerintah dan perusahaan BUMN, apalagi yang berskala ”raksasa”, adalah organisasi yang paling sulit dibangun budaya organisasinya.

Sebuah perusahaan swasta besar berkantor pusat di Surabaya, yang menjadi klien kami, memiliki budaya organisasi yang kuat, dan menjadikannya sebagai perusahaan yang ”kebal krisis”. Sama seperti pengalaman menjadi wartawan di Kelompok Kompas Gramedia (KKG), budaya yang ditanamkan adalah jujur dan kerja keras. Itu adalah nilai budaya dari pendiri Kompas, PK Ojong dan Jakob Oetama.

Namun, suatu kali kami mendapat klien sebuah BUMN besar. Selama beberapa bulan kami membangun budaya organisasi bersama pimpinan, pemimpin menengah, dan karyawan biasa. Begitu selesai perumusan nilai budaya, direktur utama diganti oleh pemerintah, dan semua pekerjaan dinyatakan ”selesai” pada saat itu. Beliau menetapkan sendiri nilai budaya untuk organisasi yang dipimpinannya dengan sebuah peraturan. Hasilnya, tidak terbentuk budaya organisasi sebagaimana seharusnya.

Tidak lama kemudian, kami mendapatkan klien BUMN yang ”sangat besar”. Pada saat pertemuan pertama, kami disambut secara ”VVIP”, bertemu dengan CEO. Saya membawa berkas-berkas dalam map yang tampak penting dan serius, dan petugas keamanan (satpam) yang mengantar kami bertanya berbisik: ”Proyek apa, Mas?” ”Budaya organisasi, Pak.” ”Oooo.” Ia diam. Tidak lama kemudian ia bergumam lirih, ”Budaya organisasi, budaya organisasi lagi.” Terkejut, dalam hati.

Pada saat persiapan proyek, saya menemukan bahwa di perusahaan ini tampaknya sudah berkali-kali dilakukan pekerjaan membangun budaya organisasi, dan setiap CEO membawa tim konsultannya sendiri-sendiri. Karena itu, pada saat rapat tim internal, saya mengemukakan agak pesimistis karena kondisi sebelumnya seperti itu. Ganti pemimpin, ganti budaya organisasi. Kami mengajukan model pengembangan budaya organisasi yang unik, tetapi ternyata CEO yang baru lebih senang dengan konsultan internasional. Dikontrak dengan harga yang ekstra mahal, mereka pun gagal membangun budaya organisasi.

Hadirnya upaya pada saat ini membangun budaya organisasi AKHLAK adalah baik dan perlu mendapat dukungan, tetapi sekaligus juga membuktikan bahwa upaya membangun budaya organisasi sebelumnya tidaklah berhasil, apa pun argumen resminya.

Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) Erwan Agus Purwanto, Rabu (18/8/2021), menyampaikan beberapa catatan pelaksanaan reformasi birokrasi. Catatan tersebut disampaikan Agus dalam acara Kick Off Evaluasi Sakip RB Zona Integritas 2021 secara daring.

Tiga masalah

Pada saat berada ”di tengah” organisasi pemerintahan, diskusi dengan tim ”RB” (reformasi birokrasi) dan ”BO” (budaya organisasi), satu hal yang tak terucap di kalangan profesional birokrasi, terutama yang berstatus ”staf” atau yang berjabatan struktural eselon III ke bawah (bahkan ada yang eselon II), yaitu: ”Kami bingung, Pak. Ganti pimpinan pemerintahan, ganti budaya organisasi.”

Pertama, sesuai dengan Kepmenpan dan RB No 25/2002, ada ”17 pasang nilai”, yang pada penilaian saya, ”diingat saja sulit, apalagi dilaksanakan”. Belum lagi metode perumusannya yang cenderung sangat akademik: diskusi kelompok terfokus (FGD) pakar, merumuskan nilai budaya, dan kemudian perintahkan untuk melaksanakan. Jadi, setiap kementerian/lembaga (K/L) ”berinovasi” membangun budaya masing-masing, sesuai dengan gagasan pemimpinnya. Keberagaman budaya antar-organisasi pemerintahan menjadi perhatian pemerintah, dan kemudian dirumuskannya satu nilai yang sama, dengan jumlah yang pas, dan diterapkan untuk semuanya: AKHLAK.

Jadi, secara substansi, sudah tepat menetapkan AKHLAK sebagai budaya organisasi pemerintah, apalagi maknanya memang mudah dipahami dan sesuai dengan ideal birokrasi. Pertanyaannya adalah ”sampai kapan” nilai budaya ini diberlakukan? Pemimpin baru pemerintahan sangat mudah ”tergoda” untuk menanamkan legacy-nya dalam berbagai hal, setidaknya yang paling mudah membuat budaya organisasi sebagai branding mereka atas suatu masa kepemimpinan pada suatu organisasi. Terlebih, jika pemimpin baru ingin berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Prinsip Schein berlaku: budaya dan kepemimpinan adalah dua sisi mata uang yang sama. Terlebih, jika penetapan itu dalam bentuk surat edaran dengan kekuatan hukum yang minimalis.

Kedua, membangun budaya organisasi yang berhasil tidak dibuat dalam bentuk ”peraturan organisasi”, tetapi ”kesepakatan lintas organisasi” untuk menemukan nilai apa yang membuat mereka berhasil sebelumnya dan mendukung keberhasilan ke depan. Budaya organisasi berbeda dengan peraturan organisasi. Pendekatan legal biasanya mengganggu kewajaran dalam menumbuhkan budaya organisasi, karena ketidaksepakatan, terutama jika merasa ada arogansi kekuasaan dalam organisasi, menumpuk bak bara dalam sekam.

Apalagi, pada organisasi pemerintahan, di mana seorang menteri atau kepala hanya bertahan rerata lima tahun, atau kurang. Jika pun ada yang lebih, adalah keluarbiasaan prestasi dari yang bersangkutan. Artinya, setiap anggota organisasi birokrasi melihat pimpinannya selalu sebagai ”pemimpin temporer”. Tidak berbeda dengan BUMN. Tentu saja, berbeda dengan perusahaan swasta, terutama perusahaan keluarga.

Pergantian pemimpin disertai pergantian budaya organisasi merusak budaya organisasi itu sendiri.

Pergantian pemimpin disertai pergantian budaya organisasi merusak budaya organisasi itu sendiri; setiap warga mengalami anomali dan akhirnya alienasi budaya. Mereka menerima dan melaksanakan budaya bukan sebagai nilai, melainkan sebagai aturan yang harus dipatuhi jika ”ingin selamat”. Kerusakan makin berat jika pejabat baru memimpin beberapa waktu, diganti pejabat baru, dengan membawa peraturan baru tentang budaya baru.

Masalah ketiga, hampir semua pegawai pemerintah yang saya kenal adalah pribadi yang profesional, baik, jujur, dan bertanggung jawab. Mereka akan menerima nilai budaya apa saja yang diberikan pemimpin baru, sepanjang identik dengan nilai kebaikan yang mereka miliki pada saat ini dan sebelumnya. Termasuk keyakinan bahwa ”kerja adalah ibadah kepada Tuhan”. Bahwa ”organisasi pemerintah adalah untuk melayani rakyat”. Kerusakan terjadi ketika pemimpin yang baru tidak segan-segan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bahkan membangun budaya korup; tidak segan-segan, misalnya, menyuruh birokrasi lebih melayani partainya daripada rakyat. Budaya organisasi bertemu dengan ”buaya organisasi”.

Benang merah

Pada masa lalu, Indonesia memiliki Korpri dengan budaya kekorpriannya yang kokoh. Akuisisi birokrasi oleh kekuasaan di masa lalu menjadikan pelanjutan budaya Korpri, yang berintikan ”birokrasi adalah pamong praja, dan bukan pangreh praja”, menjadi tabu. Ketidaknetralan PNS menjadi modal kuat untuk menghapuskan budaya organisasi birokrasi yang sudah baik dan kuat.

Upaya saat ini untuk menjadikan AKHLAK sebagai budaya organisasi birokrasi Indonesia adalah baik. Namun, metode, pendekatan, dan kebijakan yang digunakan tampaknya perlu ditingkatkan lagi agar tidak terulang kegagalan membangun budaya organisasi. Karena budaya organisasi adalah dimensi atau perangkat ”terlunak” dari organisasi, yang perlu pendekatan yang sesuai. Membangun budaya organisasi seharusnya ”sekali dan jadi”. Semakin berulang, semakin tinggi tingkat penolakannya. Jika pun patuh, sebatas sebagai ”aturan sementara”, dan bukan ”nilai yang menetap”.

Mengembalikan kesatuan budaya organisasi pemerintahan tampaknya perlu menjadi pertimbangan, karena mereka adalah perekat bangsa, mereka adalah pemersatu bangsa. Jika mereka satu, maka modal pemersatuan tersedia yang baik. Seperti Korpri di masa lalu.

Pertanyannya adalah, ”Bagaimana jika mereka punya budaya yang kuat, menyatu, kompak, dan akhirnya menjadi kartel?” Hemat saya, sepanjang ”kartel” untuk melayani rakyat dengan penuh integritas, tanggung jawab, dan kehormatan, serta tidak berpolitik praktis, akan jauh lebih baik daripada mengalami kebingungan budaya karena melayani kekuasaan yang silih berganti, apalagi jika kekuasaan itu didedikasikan untuk kepentingan pribadi dan golongan semata.

Riant Nugroho, Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI)

 

Artikel ini telah tayang di kompas.id

Makpi Support
Makpi Support
Articles: 281