Belakangan ini, publik dikejutkan oleh kabar bahwa pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat telah menyepakati transfer data pribadi warga Indonesia ke AS dalam kerangka perjanjian perdagangan timbal balik. Banyak yang menyoroti sisi politis dan keamanan dari kesepakatan ini. Namun satu hal yang luput dari perhatian adalah: jenis data apa sebenarnya yang paling diincar?
Sebagai negara dengan populasi besar dan keragaman genetik yang luar biasa, Indonesia bukan hanya kaya secara biologis, tapi juga secara bio-digital. Di era industri 5.0, kekayaan ini tersimpan bukan di tambang emas atau cadangan minyak, melainkan di dalam tubuh manusia: data genomik.
Genom = “Tambang Data” Dunia Baru
Genom adalah cetak biru biologis manusia. Dari data inilah bisa dikembangkan vaksin, terapi penyakit genetik, hingga obat-obatan yang disesuaikan secara personal (personalized medicine). Tak heran, negara-negara besar seperti Amerika Serikat berlomba-lomba mengakses data genomik dari negara lain sebagai bahan baku industri bioteknologi mereka.
Indonesia memiliki populasi yang sangat beragam secara genetik. Kombinasi antara garis keturunan Asia, Melanesia, dan Austronesia menjadikan data genomik warga Indonesia sangat bernilai untuk riset global. Jika data ini bisa diakses secara bebas, perusahaan farmasi global akan sangat diuntungkan. Mereka bisa mengembangkan produk berbasis data warga Indonesia, tanpa harus menanamkan investasi besar atau membayar royalti.
Ancaman Bio-Kolonialisme Baru
Kita memang telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Namun, UU ini belum secara eksplisit mengatur data genomik sebagai kategori data strategis nasional. Akibatnya, ketika terjadi kesepakatan perdagangan internasional yang membuka peluang transfer data, bio-data strategis seperti ini bisa ikut “terjual” tanpa pengamanan yang memadai.
Lebih parah lagi, Amerika Serikat memiliki regulasi bernama CLOUD Act, yang memungkinkan pemerintahnya mengakses data siapa pun yang tersimpan di server perusahaan AS, tanpa harus meminta izin dari negara asal data. Artinya, meskipun kita melarang, secara teknis data itu tetap bisa diakses jika sudah berada di bawah kendali sistem hukum AS.
Jika ini dibiarkan, maka kita akan memasuki fase baru dari kolonialisme—bio-kolonialisme, di mana warga negara Indonesia tidak lagi dieksploitasi lewat sumber daya alam, tetapi lewat informasi biologisnya sendiri.
Agenda
Pertama, pemerintah perlu menetapkan data genomik, biometrik, dan kesehatan sebagai data strategis bangsa, seperti halnya data pertahanan atau keuangan negara. Kedua, sebelum kebijakan transfer data diterapkan, harus ada moratorium untuk jenis data ini, setidaknya sampai Otoritas PDP terbentuk dan infrastruktur proteksi data nasional memadai.
Ketiga, Indonesia harus berani menegosiasikan klausul larangan transfer data biologis dalam setiap perjanjian dagang digital. Data genomik warga Indonesia tidak boleh berpindah yurisdiksi tanpa persetujuan hukum dan politik nasional.
Agenda Indonesia adalah menjaga kedaulatan biologis untuk menyelamatkan masa depan. Mengapa? Karena di masa depan, negara yang menguasai bio-data akan menguasai pasar kesehatan dunia. Jika kita tidak hati-hati, Indonesia hanya akan menjadi penyedia bahan mentah data—sementara nilai tambahnya dinikmati di luar negeri. Kita akan kehilangan hak atas tubuh kita sendiri, secara digital dan biologis.