Kata Pengantar untuk buku BPK tulisan Sdr Nico Adianto, profesional BPK dengan judul Mengawal Tata Kelola & Tujuan Bernegara
Sebagaimana saya ajarkan sejak dua puluh lima (25) tahun terakhir di pelbagai kelas kebijakan publik, bahwa keunggulan negara bangsa lebih ditentukan oleh faktor keunggulan kebijakan publiknya. Faktor lain, seperti kekayaan alam, posisi strategis, jumlah penduduk, dan lainnya tetap penting, namun tidak sepenting kebijakan publik. Karena kebijakan publik adalah faktor determinan, faktor yang menentukan apakah setiap faktor strategis tersebut menjadi aset atau kewajiban (liabilities) bagi bangsa tersebut. Bangsa yang kaya raya dengan sumberdaya alam bisa tetapi menjadi bangsa miskin dan gagal karena kekayaannya diserahkan kepada investor dari negara lain, dan bangsa tersebut hanya menjadi pekerjanya saja, dengan alasan perlu modal besar, teknologi maju, keahlian manajemen, dan seterusnya. Alih-alih mencari “jalan keluar yang cerdas” Pemerintah dari negara tersebut memilih cara yang paling praktis, what works. Bahkan, ada juga Pemerintah dari suatu negara menjadi komprador, atau antek dari Pemerintah dan kekuatan ekonomi negara lain.
Kebijakan publik adalah kosa-kata yang mungkin paling banyak diucapkan, namun paling banyak dimengerti, bahkan termasuk yang mengucapkannya. Kebijakan publik hanya difahami sebagai hukum, kadang disamakan dengan hukum administrasi negara, dan sebagai hukum, maka Pemerintah berprinsip: Pemerintah membuat, rakyat mematuhinya. Kebijakan publik kehilangan publiknya, karena pembuatan kebijakan dilakukan di ruang-ruang tak nampak dari publik. Kehadiran publik dibangun di atas prinsip formalisme, yang penting diajak, perkara didengarkan dan diikuti adalah masalah lain. Itu baru masalah perumusan. Belum lagi implementasinya. Belum lagi pengendaliannya.
Lebih dari lima belas (15) tahun yang lalu, saya mulai mengajar kebijakan publik di Badan Pemeriksa Keuangan. Ada satu hal yang ingin saya bagikan kepada para profesional di BPK: kebijakan publik perlu dikendalikan. Dan, itu adalah tugas BPK. Bagaimana pengendaliannya? Secara eksternal, tugas kelembagaan dari BPK, sesuai UUNo. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan bahwa: “Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Bahwa “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak den kewajiban tersebut”. Bahwa “Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, den pertanggungjawaban”. Dan, bahwa “Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara”.
BPK acapkali “terjebak” pada pemeriksanaan prosedural, sehingga “kehilangan substansi konstitusionalnya”. Pemeriksaan cenderung dilakukan dengan membandingkan “perencanaan pengeluaran” dan “penggunaan sesuai dengan pengeluaran”. Padahal, tugas BPK lebih dari sekedar audit keuangan negara, melainkan audit kebijakan publik negara, karena keuangan adalah bagian penting dari kebijakan publik suatu negara. Tidak begitu keliru, karena dikatakan pada undang-undang tersebut bahwa “Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban Pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”. Tidak lebih.
Uang negara adalah sumberdaya nasional yang harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Pada UUD 1945 pasal 23 (1) disebutkan: “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal ini harusnya diturunkan pada pemahaman bahwa penggunaan uang dengan cara memboroskan adalah satu bentuk kejahatan keuangan, bahkan sebagai korupsi, karena merupakan penyalahgunaan. Ini bukan masalah “mark-up”, namun jika ada kegiatan yang dilakukan hanya untuk “menyerap anggaran”, dengan, misalnya, melakukan rapat di luar pulau diikuti oleh para pejabat di kantor yang sama, adalah kejahatan keuangan negara. Kebijakan untuk tidak membolehkan lembaga negara untuk mengembalikan uangnya, karena setelah merencanakan (katakana) 100 pekerjaan dengan anggaran 100. Setelah 100 pekerjaan selesai dengan baik, dan uang yang dipakai hanya 80, maka lembaga itu yang berhak mendapatkan insentif –tunjangan kinerja. Bukan karena menghabiskan dengan memboroskan, kemudian mendapat insentif. Bagi mereka yang mengembalikan, justru dedenda, dengan diberikan anggaran lebih kecil pada tahun anggaran berkutnya, dan tidak mendapatkan insentif. Padahal seluruh pekerjaannya telah selesai. Kebijakan seperti ini pun sebenarnya melanggar konstitusi.
Buku yang ditulis Saudara Nico Andrianto, seorang profesional PBK, dengan judul Mengawal Tata Kelola & Tujuan Bernegara, menjadi fenomena yang menarik dan penting, karena, tulisan-tulisannya memberikan dimensi bahwa “ada sisi lain yang perlu disimak” dari pertanggungjawaban keuangan negara, lebih dari yang prosedural, ataupun yang tradisional dan konvensional yang dikenal selama ini. Simak saja salah satu catatannya tentang kebijakan membangun LRT di Palembang:
“Light Rail Transit (LRT) Palembang dan kereta bandara Jakarta sepi penumpang, menimbulkan kerugian operasional yang tidak sedikit. Lemahnya studi kelayakan, penentuan rute, dan kurangnya dukungan kelengkapan antarmoda disinyalisasi menjadi penyebabnya”.
Buku ini dapat dijadikan sebagai “langkah awal” untuk melakukan “transfrormasi model berfikir BPK” menuju lembaga yang semakin konstitusional dengan meletakkan pengendalian kebijakan publik sebagai fokusnya.
Kebijakan publik harus dikendalikan, tidak sekedar di-monev belaka. BPK dapat mengendalikan “di ujung akhir”, dengan memberikan pendapat yang mencerminkan kehormatan rakyat yang dijamin di dalam konstitusi. Hanya dengan cara itu dapat dilaksanakan reformasi kebijakan publik Indonesia menuju kebijakan publik yang senyatanya, yang seharusnya, yang setiap kepada bangsa dan konstitusinya. Dengan keberadaan BPK pada saat ini, ini menjadi pekerjaan yang “esktra keras”. Pendapat BPK masih terkesan seperti “lambaian nyiur” di tepi pantai. Nampak tetapi tidak terasa anginnya. Indah, tetapi belum berefek. Bahkan, dahan nyiur itu pun bergerak karena ada angin, dan tidak mampu menciptakan angin, termasuk memperkuat angin pantai.
Saya percaya, buku Saudara Nico Andrianto ini dapat menjadi awal penyemangat BPK untuk mereformasi dirinya menjadi lembaga negara yang semakin konstitusionalis. Lembaga yang mengawal dan menjaga kebijakan-kebijakan publik Indonesia hari ini dan di masa depan. Hanya dengan itu maka “BPK” akan benar-benar menjadi “BPK”.
Jakarta, 3 Januari 2024